Site icon PinterPolitik.com

Majapahit Adalah Karangan Mohammad Yamin?

majapahit adalah karangan mohammad yamin

Penyair Indonesia yang sekaligus menjabat Menteri Kehakiman pada 1951, Mohammad Yamin (kiri) dan karakter Gajah Mada yang ada dalam gim Civilization V. (Ilustrasi: A43)

Tanpa disadari banyak orang, dasar ke-Indonesia-an banyak mengacu kepada Kerajaan Majapahit. Mengapa identitas negara-bangsa Indonesia didasarkan pada sejarah kerajaan Jawa satu ini?


PinterPolitik.com

“Dia juga Jong Sumatranen Bond toh? Dia disebut Gajah Mada. Kalau pidato, suaranya besar” – Kwee Thiam Hong, anggota Jong Sumatranen Bond

Tahun itu adalah tahun 1945. Saat itu, trending topic internasional yang ramai dibicarakan adalah Perang Dunia II yang membara di Eropa dan Pasifik sejak tahun 1939.

Namun, trending topic yang sedang ramai di Ranryō Higashi Indo (Wilayah Pendudukan Jepang di Hindia Belanda) adalah persiapan kemerdekaan. Jika di masa sekarang orang lebih banyak membahas sosok Aldi Taher, orang-orang di Hindia Belanda pada tahun 1945 lebih banyak membahas soal bentuk dan dasar negara masa depan.

Orang-orang ini akhirnya berkumpul dalam sebuah grup yang berisikan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan sebuah negara-bangsa yang di kemudian hari disebut dengan nama Indonesia. Grup yang diberi nama  Dokuritsu Junbi Chōsakai – atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Ini aktif mengadakan berbagai pertemuan untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia. 

Salah satu yang paling bersemangat dalam aktivitas grup ini adalah seorang sastrawan yang bernama Mohammad Yamin. Ini terlihat dari bagaimana Yamin begitu aktif berbicara dan mengekspresikan berbagai gagasannya.

Salah satunya motto nasional Indonesia di masa kini, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Motto ini ternyata berasal syair Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang sastrawan Jawa dari abad ke-14 di era Majapahit.

Kala itu, Yamin terinspirasi dari artikel Verspreide Geschriften yang ditulis oleh Johan Hendrik Casper Kern. Frasa inilah yang akhirnya dibawa Yamin pada sidang-sidang BPUPKI yang dihelat pada 29 Mei-1 Juni 1945.

Nah, menariknya, gagasan khas Majapahit yang dibawa oleh Yamin dalam konsep negara-bangsa Indonesia bukanlah hanya motto yang kini ada di lambang Garuda Pancasila, melainkan juga gagasan ke-Indonesia-an yang didasarkan pada wilayah Majapahit pada masa silam.

Sosok Mahapatih Majapahit Gajah Mada, misalnya, merupakan penggambaran yang dibuat oleh Yamin. Ini berangkat juga dari pengalaman Yamin saat mendatangi situs sejarah Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.

Di sana, Yamin menemukan terakota pasukan Majapahit – yang mana kemudian dijadikan basis bagaimana rupa Gajah Mada. Yamin juga menulis soal Gajah Mada dalam bukunya yang berjudul Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit pada tahun 1945.

Bukan rahasia lagi bahwa Yamin – bersama Soekarno – selalu memimpikan kebesaran Indonesia layaknya Kerajaan Majapahit di masa lampau. Namun, mengapa Majapahit? 

Padahal, Majapahit adalah sebuah kerajaan Jawa. Mengapa bukan kerajaan-kerajaan lain – atau bahkan membangun identitas kebangsaan yang baru? Mengapa Yamin merasa perlu mengaitkan Indonesia dengan kejayaan kerajaan masa lampau?

Yamin dan Obsesinya ke Majapahit

Bagi yang suka bermain game yang bertajuk Civilization V dan Civilization VI, ada satu playable country yang menarik, yakni Indonesia. Indonesia dalam dua game ini diwakili oleh satu kerajaan pra-kolonial, yakni Kerajaan Majapahit.

Penggunaan Majapahit sebagai representasi utama atas budaya Asia Tenggara maritim – dan Indonesia secara khusus – pun tidak lepas dari berbagai kritik. Salah satunya datang dari lulusan University of Bonn yang bernama Laurentius Alvin dalam tulisannya yang berjudul Playing Indonesia: The (anti)-Case for Majapahit.

Dalam tulisan itu, Alvin menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat semacam pembelokan sejarah soal Majapahit. Gajah Mada, misalnya, selama ini dianggap sebagai sosok pemersatu Nusantara.

Namun, pada dasarnya, ekspansi Majapahit yang ditekankan oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa bisa dilihat dari sisi yang berbeda. Daripada dilihat sebagai upaya unifikasi, ini juga bisa dilihat sebagai imperialisme kawasan kepulauan Asia Tenggara.

Selain itu, penggunaan sejarah Majapahit sebagai kisah lahirnya identitas nasional ke-Indonesia-an juga kerap dijadikan salah satu justifikasi bagi tokoh-tokoh separatis. Hal inipun juga dijelaskan oleh Michael Wood dalam bukunya yang berjudul Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and Counterviews – yang mana menyebut Majapahit sebagai agresor asal Jawa.

Bahkan, menariknya lagi, sejumlah sejarawan dan arkeolog menjelaskan bahwa wilayah Majapahit tidaklah seperti wilayah Indonesia di masa sekarang – justru jauh lebih kecil.

Penjelasan seperti ini salah satunya datang dari Hasan Djafar dalam tulisan Mahandis Y. Thamrin yang berjudul Nusantara Bukanlah Wilayah Majapahit. Menurut Hasan, kerajaan-kerajaan pada era itu di Nusantara justru saling setara dengan Majapahit – yakni merdeka dan tidak membayar upeti apapun kepada Majapahit karena fakta sejarah itu tidak tercatat dalam kitab Nagarakartagama.

Namun, bila kisah-kisah kejayaan Majapahit belum jelas kepastian sejarahnya dan terlalu berorientasi ke identitas Jawa, mengapa Yamin – dan juga Soekarno – kerap mengaitkan identitas ke-Indonesia-an dengan kerajaan satu ini? Mungkinkah ada alasan politik di baliknya?

Mengapa Yamin Perlu Kisah Majapahit?

Yamin mungkin sadar bahwa, sebagai negara besar yang baru lahir, Indonesia memiliki perasaan inferior bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Belanda dan Jepang.

Bahkan, kala itu, ada narasi bahwa Indonesia masih membutuhkan Belanda bila ingin merdeka dengan keadaan yang stabil. Atas alasan itulah Belanda akhirnya kembali datang ke Indonesia usai Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II. 

Mengaitkan Indonesia modern kepada kejayaan masa lalu seperti Majapahit bukan tidak mungkin memang dibutuhkan untuk menjadi inspirasi bagi identitas ke-Indonesia-an,

Seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul “Jokowi Bukan Presiden Pendongeng?”, kisah dan narasi selalu memiliki kekuatan politik. Inipun berlaku dalam politik antarnegara.

Salah satu alasan Kekaisaran Jepang ikut serta dalam Perang Dunia II, misalnya, adalah karena narasi kebangkitan Asia. Jepang merasa bahwa Barat terlalu dominan di kawasan Asia – yang mana seharusnya menjadi milik orang-orang Asia sendiri.

Tidak hanya Jepang, Tiongkok pun demikian. Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping, misalnya, mengungkit kejayaan Tiongkok sebagai Kerajaan Tengah (Middle Kingdom) di masa lampau. Kisah inilah juga yang dijadikan dasar oleh Xi agar Tiongkok bisa menjadi pemain global di abad ke-21 ini.

Boleh jadi, atas alasan kekuatan narasi inilah, Yamin merasa perlu Indonesia kontemporer mengaitkan identitas negara-bangsanya kepada sejarah Majapahit – meskipun belum tentu Majapahit menjadi pemersatu sesungguhnya di masa lampau.

Seperti yang dijelaskan oleh Kees Van Dijk dalam bukunya yang berjudul The Netherland Indies and the Great War, 1914-1918, ras pribumi – utamanya orang-orang Jawa – kerap digambarkan sebagai ras yang lebih inferior dibandingkan ras Tionghoa, Jepang, hingga Eropa pada era kolonial.

Kompleks inferioritas bukan tidak mungkin membuat orang-orang di Indonesia pada awal masa kemerdekaan merasa tidak percaya diri akan negara-bangsanya sendiri. Padahal, ancaman bisa saja muncul dari negara-negara asing di tengah hilangnya kekuasaan Kekaisaran Jepang di Nusantara kala itu.

Ya, boleh jadi, dengan perasaan inferior ini, Yamin dan Soekarno merasa perlu menggunakan kisah-kisah besar seperti Majapahit agar identitas ke-Indonesia-an bisa memiliki dasar yang kuat dalam menghadapi negara-negara lain. Perlukah Indonesia yang sekarang mencari “Gajah Mada” barunya juga agar bisa menginspirasi Indonesia di masa kini? (A43)


Exit mobile version