Site icon PinterPolitik.com

Mahfud Tak Bisa Veto Prabowo?

Mahfud Tak Bisa Veto Prabowo?

Jokowi mengumumkan penunjukkan Mahfud MD sebagai Menkopolhukam periode 2019-2024. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari/foc)

Jokowi memutuskan bahwa dalam kabinet barunya menteri koordinator (Menko) akan diberikan hak veto untuk membatalkan kebijakan dan peraturan menteri yang dinilai bertentangan dengan visi presiden. Veto ini pun dapat dilakukan Menko dengan ataupun tanpa persetujuan dirinya. Lalu, apa sebenarnya alasan di balik pemberian hak ini? Mungkinkah Mahfud MD yang menjabat sebagai Menko Polhukam bisa memveto kebijakan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan?


PinterPolitik.com 

Pada dasarnya Menko memiliki tugas yang sama dengan menteri pada umumnya, yaitu membantu presiden dalam menjalankan visi-misinya.

Perbedaan terletak pada fungsi utamanya, yaitu memastikan kementerian-kementerian di bawah koordinasinya menjalankan visi-misi presiden serta mencegah terjadinya tumpang tindih kebijakan atau peraturan antarkementerian.

Di Indonesia, jabatan Menko sendiri bukanlah hal yang baru. Jabatan ini sudah muncul sejak masa Orde Baru.

Namun, pada masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) beberapa pihak juga mempertanyakan adanya jabatan Menko karena, sebelum ada hak veto, Menko dinilai powerless alias tidak memiliki kekuatan karena tidak dapat mempengaruhi kebijakan atau aturan kementerian di bawahnya.

Saat ini dalam kabinet barunya Jokowi memiliki empat Menko.

Ada Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) serta Airlangga Hartanto sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian)

Kemudian Muhadjir effendi sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), serta Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Kemaritiman dan Investasi).

Antisipasi Menteri “Bandel”

Selain untuk memastikan dijalankannya visi-misi presiden, ada beberapa alasan lain mengapa Jokowi memberikan hak veto kepada menko-menkonya.

Jika menggunakan pemikiran Timothy Sisk dari University of Denver, Jokowi memang tengah melakukan power sharing secara lebih besar, terutama dengan para Menko-nya.

Alasan yang paling umum adalah untuk memperbaiki koordinasi antara menko dan menteri.

Selain mengumumkan adanya hak veto, pada rapat perdana kabinet, Jokowi juga menyinggung adanya menteri yang selama lima tahun tidak menghadari rapat dengan mantan Menko Perekonomian Darmin Nasution.

Jokowi sendiri tidak menyebutkan menteri siapa yang ia maksud. Namun, seminggu sebelumnya Darmin mengatakan bahwa mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono adalah dua sosok yang paling jarang menghadiri rapat.

Namun, Darmin menambahkan bahwa untuk kasus Basuki, ia memaklumi karena sang menteri sering turun ke lapangan menemani Jokowi.

Keluhan yang sama pernah diungkapkan oleh Wapres Jusuf Kalla (JK).

JK pernah menyindir adanya menteri di bawah Kemenko Maritim yang tidak menghadiri rapat koordinasi.

Padahal, lanjut JK, rapat koordinasi sangatlah penting karena tugas dan program tiap kementerian saling berhubungan antara satu sama lain.

Selain masalah rapat, dalam beberapa kesempatan, hubungan Menko-Menteri menunjukkan ketidakharmonisan.

Kasus yang paling banyak menarik perhatian publik adalah seringnya terjadi perbedaan kebijakan antara Luhut sebagai Menko Kemaritiman dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Ambil contoh ketika Luhut mengkritik kebijakan Susi untuk menenggelamkan kapal pencuri ikan hingga pelarangan penggunaan cantrang bagi nelayan.

Alasan berikutnya adalah untuk mengantisipasi adanya kepentingan lain di balik munculnya kebijakan atau peraturan menteri.

Jokowi nampak memperhatikan isu ini dengan menegaskan bahwa dalam kabinetnya, tidak ada visi misi menteri. Yang ada hanyalah visi misi presiden dan wapres.

Adapun kepentingan lain yang saat idisoroti publik adalah kepentingan partai politik (parpol), mengingat sebagian menteri dalam Kabinet Indonesia Maju merupakan kader partai.

Pun Jokowi memperbolehkan rangkap jabatan bagi menteri-menterinya yang saat ini juga memiliki jabatan di organisasi parpol, termasuk jabatan ketua parpol.

Ya, adanya kader parpol yang menduduki jabatan menteri memang selalu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Bukan tanpa alasan, kekhawatiran ini bersumber dari perbedaan antara kepentingan parpol, yang cenderung mengutamakan pada partai dan konstituennya, dengan kepentingan publik yang berfokus pada seluruh masyarakat.

Kekhawatiran ini diutarakan banyak pihak, salah satunya oleh Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Syamsuddin, seharusnya menteri yang ditunjuk Jokowi tidak boleh rangkap jabatan dengan mempertahankan jabatan kepartaiannya, apalagi jabatan sebagai ketua umum.

Syamsuddin berpendapat bahwa jika rangkap jabatan terjadi, menteri tersebut mengalami konflik kepentingan dan loyalitas ganda antara kepentingan partai dengan kepentingan publik.

Hal senada juga diutarakan oleh anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosas yang menyoroti banyaknya menteri dengan latar belakang parpol di kabinet baru Jokowi.

Ia kemudian memperingatkan agar tidak ada kepentingan parpol dalam pengelolaan anggaran.

Empat Tangan Kanan

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa saat ini Jokowi memiliki empat Menko yang ia perkuat melalui pemberian hak veto.

Kemudian yang jadi pertanyaan adalah apakah keempat Menko ini akan menjalankan tugas veto-nya? Apalagi ketika keempat Menko ini juga memiliki pertalian dengan partai ataupun kelompok tertentu.

Lalu, seperti apa loyalitas keempat Menko ini terhadap Jokowi?

Sejak bergabung menjadi tim kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, Luhut sering disebut sebagai sosok yang memiliki pengaruh kuat, loyal, dan paling dipercaya oleh Jokowi.

Kepercayaan ini juga terbukti dengan Jokowi yang kembali memberikan jabatan Menko kepada Luhut yang bahkan ditambah lagi tanggung jawabnya dengan digabungnya urusan kemaritiman dengan investasi.

Hal yang sama juga berlaku bagi Mahfud.

Dalam pemerintahan Jokowi-JK, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjadi anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Kemudian dalam agenda-agenda besar seperti debat Pilpres dan rencana penerbitan Perppu KPK, Jokowi juga meminta masukan dari Mahfud.

Kedekatan antar keduanya juga ditengarai menjadi alasan Jokowi yang dikabarkan memilih Mahfud sebagai cawapresnya pada Pilpres kemarin. Pun meskipun gagal mencalonkan diri, selama Pilpres, Mahfud terlihat tetap mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Kemudian, sebelum ditunjuk sebagai Menko Perekonomian, sejak tahun 2016 Jokowi sudah mempercayai Airlangga untuk menempati kursi Menteri Perindustrian.­

Kemudian Jokowi juga dinilai memiliki pengaruh besar dalam terpilihnya Airlangga sebagai Ketum Golkar, maupun ketika Bambang Soesatyo (Bamsoet) mencoba merebut kursi ketua Airlangga.

Tidak berhenti di situ, sama seperti Mahfud, Airlangga juga pernah masuk dalam bursa cawapres Jokowi.

Terakhir Menko PMK Muhadjir Effendy yang sebelumnya dipercayai Jokowi mengepalai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Loyalitas Muhadjir kepada Jokowi juga dapat berasal dari statusnya yang saat ini merupakan satu-satunya perwakilan Muhammadiyah dalam kabinet pemerintah.

Kondisi ini bisa jadi membuat Muhadjir, ataupun Muhammadiyah, akan bekerja sesuai keinginan Jokowi karena jika tidak, Muhammadiyah dapat kehilang satu-satunya wakil mereka.

Dengan relasi di atas, keputusan Jokowi untuk memberikan hak veto nampaknya juga didasari oleh kepercayaannya terhadap loyalitas keempat Menko-nya.

Terakhir, pemerintah mengatakan bahwa hak veto Menko ini akan diatur dalam peraturan presiden (Perpres).

Perpres inilah yang nantinya akan menentukan apakah hak veto Menko efektif untuk menjaga agar menteri-menteri tidak keluar dari visi-misi Jokowi.

Ketidakefektifan dapat terjadi jika dalam Perpres nanti tidak ada hukuman yang akan dikenakan kepada menteri atau kementerian terkait, seperti pemotongan anggaran hingga pemecatan.

Ketiadaan hukuman ini bisa jadi membuat menteri yang pernah terkena veto kembali mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang bermasalah.

Adanya aturan hukuman ini juga diperlukan untuk mengikat Jokowi itu sendiri agar benar-benar mengeluarkan sanksi kepada menteri atau kementeriannya yang bermasalah.

Hal ini berkaca pada kasus di kabinet lamanya di mana ada beberapa menteri seperti Rini Soemarno dan Ignasius Jonan yang performa dan kebijakannya dinilai buruk oleh banyak pihak, namun keduanya tetap dipertahankan hingga akhir kabinet.

Publik juga akan menantikan apakah Mahfud MD katakanlah, akan berani memveto kebijakan Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, mengingat secara garis koordinasi, Menteri Pertahanan berada di bawah Menko Polhukam.

Yang jelas, tanpa aturan yang mengikat, katakanlah seperti Perpres atau bahkan Peraturan Pemerintah (PP), hak veto ini tak akan mungkin bisa mengikat dan berjalan dengan semestinya.

Kita nantikan saja seperti apa aturan veto dalam Perpres nanti dan apakah keempat Menko Jokowi bisa menjadi “penjaga gawang” visi-misi Jokowi untuk lima tahun ke depan.(F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version