Di tengah penerapan PPKM Darurat, menariknya Menko Polhukam Mahfud MD membuat cuitan di Twitter pribadinya terkait pengalaman menonton sinetron Ikatan Cinta. Berbagai pihak mengkritik Mahfud karena dinilai tidak menunjukkan sense of crisis. Namun apakah ada makna lain yang dapat dilihat dari cuitan tersebut?
Ada sebuah gestur politik menarik yang ditunjukkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 1 Juli kemarin. Ya, apalagi kalau bukan penghargaan yang diberikannya kepada sinetron Ikatan Cinta.
“Ini produk industri kreatif yang sangat diminati masyarakat Indonesia. Di tengah situasi pandemi, ada tayangan yang mayoritas masyarakat menonton secara kontinyu setiap hari. Ini sesuatu yang extra ordinary,” begitu ungkap Airlangga.
Selain menyebut dirinya juga menonton, tidak lupa, Ketua Umum Partai Golkar ini juga memuji pencapaian ekonomi sinetron yang dinikmati oleh 43 persen penduduk Indonesia ini. Tegasnya, di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Ikatan Cinta justru mampu tetap menciptakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan keuntungan.
Bayangkan saja, pada sembilan bulan awal tahun 2020, Ikatan Cinta diketahui meraup pendapatan Rp 5,96 triliun. Meskipun ini menyusut 4,94 persen dari 2019 yang sebesar Rp 6,27 triliun.
Selaku Menko Perekonomian, sekiranya wajar apabila Airlangga memberi penghargaan atas pencapain ekonomi tersebut. Namun, mungkinkah ini hanya soal capaian ekonomi?
Alex Taylor dalam tulisannya What are famous politicians’ favourite TV shows and why do they tell us? memberikan penjelasan menarik. Ternyata, tidak hanya Airlangga, berbagai politisi dunia juga memiliki kebiasaan untuk memberitahu publik acara TV ataupun tim kesukaan mereka.
Taylor menulis poin menarik. Dengan padatnya jadwal para politisi, ia ragu mereka memiliki banyak waktu untuk duduk di depan TV dan menikmati acara favoritnya. Mengutip Esther Webber, para politisi tersebut kemungkinan hendak memberikan kesan bahwa mereka sama seperti kita.
Mereka sama seperti kita yang menonton sinetron, Netflix, ataupun pertandingan olahraga di akhir pekan sambil makan popcorn dan minum segelas Coca-cola. Jika benar demikian, itu jelas merupakan taktik politik.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
Pada kasus Airlangga, selaku sosok yang digadang-gadang maju di Pilpres 2024, itu mudah disimpulkan sebagai langkah untuk meraup simpati. Sinetron yang dinikmati oleh 40 persen lebih penduduk, jelas merupakan statistik yang luar biasa.
Nah, selain Airlangga, baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh. Mahfud Md juga mendapatkan perhatian karena sinetron Ikatan Cinta. Bayangkan saja, di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu justru berbagi pengalamannya menonton Ikatan Cinta melalui Twitter pribadinya.
“PPKM memberi kesempatan kepada saya nonton serial sinetron Ikatan Cinta. Asyik juga sih, meski agak muter-muter,” begitu cuitnya pada 15 Juli.
Jelas saja, di tengah peningkatan kasus Covid-19 dan masalah ekonomi, berbagai pihak menilai Mahfud tidak menunjukkan sense of crisis yang kerap ditekankan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, berbeda dengan Airlangga yang terang-terangan menunjukkan keinginan untuk maju di Pilpres 2024, sekiranya agak sulit membayangkan Mahfud tengah melakukan langkah politik serupa. Lantas, kira-kira pesan politik apa yang dapat ditarik dari cuitan tersebut?
Tidak Dilibatkan?
Sama seperti poin yang disebutkan Taylor sebelumnya, rasa-rasanya agak sulit membayangkan pejabat setinggi Mahfud memiliki waktu luang yang banyak untuk menonton sinetron Ikatan Cinta secara intens. Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) ini bahkan memberi komentar soal pengetahuan hukum sang penulis cerita.
“Tapi pemahaman hukum penulis cerita kurang pas. Sarah yang mengaku dan minta dihukum karena membunuh Roy langsung ditahan. Padahal pengakuan dalam hukum pidana itu bukan bukti yang kuat,” begitu cuitnya.
Menariknya, tidak seperti berbagai pihak yang menilai Mahfud tidak menunjukkan sense of crisis, pengamat politik Rocky Gerung justru melihat hal yang berbeda. Menurutnya, Mahfud justru tengah curhat atas situasinya di kabinet.
“Itu pertanda, kalau saya coba bayangkan, Pak Mahfud sebetulnya mau curhat bahwa dia gak pernah diajak lagi oleh Pak Jokowi untuk bahas situasi,” begitu pernyataan Rocky pada 16 Juli.
Menurut mantan ghostwriter Gus Dur ini, pandemi Covid-19 yang merupakan persoalan keamanan dan politik seharusnya diberikan kepada Mahfud. Namun, seperti yang diketahui, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang justru ditunjuk sebagai komando.
Baca Juga: Luhut, Panglima “Perang” Covid-19?
Tidak hanya Rocky, politikus Partai Demokrat Syahrial Nasution juga mengungkapkan hal serupa. Dengan lebih lugas, Syahrial menuturkan, “menurut saya, Pak Mahfud sebaiknya protes kepada Presiden. Apabila sudah tidak dibutuhkan lagi, sebaiknya mundur dari jabatan.”
Sama dengan Rocky, Syahrial juga membandingkan Mahfud dengan Luhut yang justru tengah sibuk memimpin PPKM Darurat.
Mahfud Kurang Cocok?
Terkait persoalan ini, ada komentar menarik dari pengamat keamanan dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Menurutnya, jabatan Menko Polhukam sebaiknya diisi oleh sosok yang memiliki pengaruh di militer.
Fahmi mencontohkan kasus Wiranto yang menjadi Menko Polhukam sebelumnya. Menurutnya, karena pengaruhnya di militer, Wiranto berhasil meredam potensi konflik antara TNI dan Kepolisian ketika isu adanya 5.000 senjata ilegal untuk Kepolisian bergulir pada 2017 lalu.
Ada pula kasus perselisihan KPK dengan Polri yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Menko Polhukam Marsekal TNI Djoko Suyanto sebagai penengah pada 2012 lalu. Kasus ini juga dikenal sebagai cicak vs buaya.
Entah kebetulan atau tidak, baru-baru ini, politisi Partai Gerindra Arief Poyuono juga menyinggung nama Wiranto. Bahkan tegasnya, jika Wiranto masih menjadi Menko Polhukam, situasinya mungkin tidak seperti saat ini.
Persoalan ini juga dapat dilihat pada kasus Tiongkok. Minnie Chan dalam tulisannya How China’s Military Took a Frontline Role in the Coronavirus Crisis, menyebutkan, untuk menanggulangi gejolak sosial akibat lockdown, Presiden Tiongkok Xi Jinping yang menjadi panglima tertinggi militer mengerahkan ribuan personel militer untuk mengamankan kondisi.
Ini misalnya terlihat dengan dikirimnya 1.400 personel ke Huoshenshan pada 4 Februari 2020, dua hari setelah rumah sakit selesai dibangun. Ketika jumlah kasus Covid-19 naik menjadi lebih dari 60.000 pada pertengahan Februari, Xi memerintahkan 2.600 pasukan tambahan ke dua rumah sakit di kota Wuhan untuk membantu merawat 1.600 pasien yang ada.
Pengerahan pasukan dan pengendalian kondisi semacam itu jelas mudah bagi Xi yang mendapatkan gelar “lingdao hexin” atau “pemimpin inti”. Dalam sejarah Tiongkok, hanya Mao Zedong, Deng Xiaoping, dan Jiang Zemin yang pernah mendapatkannya.
Bahkan, berbagai pihak menyebut jabatan presiden sebenarnya hanyalah formalitas bagi Xi. Ini karena kekuatan utama Xi adalah dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan komandan militer.
Pada kasus Luhut yang memimpin PPKM Darurat, sebagai sosok senior militer yang dinilai memiliki pengaruh besar, tidak mengejutkan sebenarnya mengapa mantan Duta Besar RI untuk Singapura itu yang ditunjuk menjadi komando.
Kita dapat melihat sendiri, sejak awal penerapan PPKM Darurat berbagai aparat, baik TNI, Polri, dan Satpol PP telah dikerahkan. Mobil barakuda dan panser bahkan disiagakan di titik penyekatan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Kuatnya pengaruh Luhut juga terlihat ketika mencuatnya narasi Prabowo Subianto akan masuk ke kabinet untuk menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Saat itu muncul usulan agar Luhut dijadikan sebagai Menko Polhukam agar dapat “mengontrol” Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?
Usulan itu tentunya bertolak dari posisi Luhut yang merupakan senior Prabowo di militer. Selain itu, Luhut sendiri juga mengakui bahwa dirinya memiliki hubungan yang dekat dan baik dengan mantan Danjen Kopassus tersebut.
Well, pada akhirnya tentu harus digarisbawahi bahwa simpulan Mahfud tidak begitu dilibatkan dalam PPKM Darurat adalah interpretasi semata.
Seperti pernyataan Wakil Ketua Komisi II Fraksi PKB Luqman Hakim, tidak ada salahnya Mahfud menonton Ikatan Cinta karena itu tidak mengurangi waktunya untuk menjalankan tugas sebagai Menko Polhukam.
“Tidak usah lebay lah!,” ujarnya. (R53)