HomeNalar PolitikMahfud Sakit Hati, Jokowi Hati-hati

Mahfud Sakit Hati, Jokowi Hati-hati

“The human heart is the first home of democracy,” Terry Tempest Williams


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]iapa pun tahu rasanya sakit hati. Hari-hari penuh derai air mata, perasaan dikhianati dan dipermalukan kerapkali membuat seseorang merasa putus asa. Tidak hanya itu, rasa sakit hati juga bisa membuat seseorang melakukan sesuatu yang tidak terduga.

Perasaan sakit hati itu boleh jadi kini tengah dirasakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Bagaimana tidak, sudah diminta mempersiapkan diri untuk menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi), namanya digantikan dengan Ma’ruf di detik-detik terakhir jelang deklarasi.

Banyak orang menebak-nebak apa yang akan terjadi saat Mahfud sakit hati. Kubu koalisi Jokowi jelas berharap mantan Menteri Pertahanan itu tetap bisa bergabung di kubu mereka. Di sisi yang lain, kubu lawannya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, tentu bisa mendapat manfaat jika Mahfud berlabuh di sisi mereka.

Mahfud disebut-sebut bisa menjadi pembeda pada gelaran Pilpres 2019 nanti. Dengan adanya indikasi Mahfud sakit hati, ke mana ia akan berlabuh pada 2019 nanti? Apa dampak yang mungkin timbul jika ia benar-benar hengkang sepenuhnya dari kubu Jokowi?

Sakit Hati dan Politik

Semua orang mengagumi kebesaran hati dan kelegawaan Mahfud MD. Saat ia diumumkan tidak akan mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019, ia berusaha berbesar hati dan menerima keputusan tersebut. Meski begitu, sebagai seorang manusia, sangat wajar jika jauh di lubuk hatinya, Mahfud sakit hati.

Dalam sebuah panggung politik nasional, orang seperti Mahfud seperti tengah  dipermainkan dan dipermalukan. Ia diminta bersiap-siap, menjahit pakaian terbaik, datang ke lokasi pengumuman, hanya  untuk menerima kabar bahwa nama Ma’ruf Amin yang dipilih menjadi cawapres Jokowi.

Rasa sakit hati saat dipermalukan atau humiliation ini tidak bisa dianggap remeh. Menurut Paul Saurette, humiliation telah dilihat sebagai elemen krusial dalam banyak tradisi pemikiran sosial dan juga politik.

Menurut St. Benedict sebagaimana dikutip oleh Saurette, humiliation merupakan hal yang penting karena dianggap sebagai process of becoming. Ada proses bagaimana seseorang meninggalkan sesuatu yang dianggap secara moral tidak baik untuk mengejar sesuatu yang lebih baik.

Pentingnya sakit hati dalam politik ini disoroti juga oleh Parker J. Palmer dalam esainya The Politics of the Brokenhearted. Sekilas, rasa sakit hati kerapkali dianggap sebagai hal yang terlalu sentimental untuk urusan politik. Padahal mendiagnosis, membahas, dan memanipulasi rasa sakit hati secara implisit kerap muncul dalam politik.

Secara spesifik, banyak hal yang berbau sakit hati mampu menambah perolehan suara dalam pemilihan. Memanfaatkan sumber sakit hati kerapkali efektif mendulang suara terlepas dari sakit hati tersebut riil atau imajiner.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Potensi politik rasa dizalimi dan sakit hati ini nampak misalnya pada kasus Pilpres 2004. Banyak orang menyebut bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi korban karena dizalimi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kala itu, SBY harus terusir dari kabinet karena kebijakan Megawati.

Publik kemudian melihat ada rasa sakit hati dan dizalimi pada SBY. Hal ini nyatanya berbuah positif baginya. Pada Pilpres 2004, ia justru berhasil mengalahkan Megawati yang melakukan tindakan zalim kepadanya.

Berdasarkan kondisi tersebut, perkara sakit hati tidak bisa dianggap remeh dalam politik. Ada potensi elektoral cukup besar jika isu ini bisa terkelola dengan baik.

Ke Mana Berlabuh?

Sejauh ini, Mahfud masih belum mampu memberikan jawaban pasti akan berpihak ke mana ia di Pilpres 2019. Ia sendiri menyebut tidak akan meninggalkan Jokowi. Mantan anggota DPR tersebut menyebut diri sebagai anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), saat ini ia tentu akan banyak bekerja dan berkoordinasi dengan Jokowi secara formal.

Mahfud sejauh ini sudah menyatakan aktivitasnya di BPIP justru menyebabkan ia tidak bisa menjadi Ketua Tim Sukses Jokowi. Ia menyebut bahwa BPIP adalah penyelenggara negara, sehingga ia harus menjaga netralitasnya sebagai penyelenggara negara tersebut.

Meski demikian, sebagai disebut di atas, rasa humiliation dapat membuat orang berpikir dan merefleksikan diri dalam mengambil keputusan. Ada keinginan untuk mencari sesuatu yang secara moral lebih bisa diterima oleh dirinya. Bisa saja, selama proses pencarian alasan saat didera perasaan tersebut Mahfud berubah pikiran dan membuat keputusan yang berbeda.

Di satu sisi, ia bisa mengambil posisi netral dan tidak mengekspresikan pilihan politiknya di depan publik. Ia tidak perlu menunjukkan keberpihakannya kepada kubu manapun dan berpegang teguh pada netralitasnya sebagai penyelenggara negara. Sekilas, opsi ini tergolong langkah yang paling aman karena memiliki konsekuensi paling minim.

Secara khusus, di posisi ini, ia bisa menjaga sebuah asa. PSI, partai pendatang baru di Pemilu 2019 menggadang-gadang nama Mahfud untuk menjadi capres di tahun 2024. Dampak elektoral  sakit hati seperti yang diungkapkan oleh Palmer bisa saja memberi berkah padanya jika ia melaju sebagai capres di 2024.

Mahfud sakit hati

Di sisi yang lain, ada satu opsi lain yang bisa diambil Mahfud: berlabuh ke tim sukses Prabowo. Hal ini pernah ia lakukan di Pilpres 2014. Tidak ada cara paling mudah untuk membalas dan melampiaskan rasa sakit hati selain bergabung dengan kubu kompetitor orang  yang mengecewakannya.

Keputusan “membalas dendam” seperti itu sudah pernah dilakukan oleh Mahfud sebelumnya. Di tahun 2014, ia juga sempat dirumorkan akan menjadi cawapres Jokowi. Meski begitu, PKB sebagai partai yang diisukan akan menawarkan namanya sebagai cawapres justru berbalik arah. Keputusan tersebut akhirnya membuat Mahfud menyeberang dan menjadi ketua tim sukses pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Berdampak Elektoral

Menarik untuk ditunggu apa langkah yang akan diambil saat Mahfud sakit hati. Bagaimanapun, perasaan tersebut menyimpan bom waktu bagi Jokowi dan lingkar koalisinya. Mantan Ketua MK tersebut memiliki potensi besar untuk memecah atau bahkan mengurangi perolehan suara Jokowi.

Jika memutuskan tidak lagi mendukung Jokowi, suara Mahfud bisa memiliki dampak bagi pilihan politik masyarakat. Hal ini terkait dengan tulisan Palmer yang menyebut bahwa rasa sakit hati dapat memiliki dampak dalam sebuah pemilihan.

Sikap Mahfud misalnya bisa mempengaruhi suara golongan NU dari kelompok tertentu. Secara spesifik, para pengagum dan loyalis Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa saja berpaling dari kubu Jokowi. Padahal, dipilihnya Ma’ruf Amin diharapkan bisa membulatkan suara ormas tersebut untuk Jokowi.

Hal serupa akan berlaku bagi kelompok masyarakat yang bersimpati kepada Mahfud. Kondisi ini terjadi terutama pasca curhatnya di acara sebuah stasiun televisi swasta. Publik tampak menyambut baik sikap blak-blakan Mahfud di depan sorot kamera. Kejujuran dan kebesaran hati Mahfud dianggap sebagai hal yang menunjukkan kenegarawanan.

Jokowi bisa mendapatkan kerugian karena telah menyakiti hati Mahfud. Jokowi dan partai-partainya terlanjur dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas derita yang dihadapi mantan Ketua MK tersebut. Orang-orang yang bersimpati padanya bisa mengambil sikap untuk memprotes sikap Jokowi yang mengkhianati Mahfud.

Pendukung-pendukung Mahfud bisa saja memilih untuk golput sebagai bentuk protes keras kepada Jokowi. Mereka jelas sulit untuk bisa menerima sikap Jokowi yang mengkhianati orang dengan kebesaran hati seperti Mahfud. Langkah seperti ini jelas bisa menggembosi perolehan suara Jokowi secara signifikan.

Malapetaka lebih besar bisa saja terjadi jika Mahfud memutuskan untuk bergabung dengan kubu Prabowo. Para pendukung dan orang yang bersimpati pada Mahfud bisa saja mengikuti sikap junjungan mereka.

Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting bagi Jokowi untuk bisa menenangkan Mahfud. Bagaimanapun, ia telah membuat Mahfud sakit hati. Idealnya, tentu ia harus bisa membujuk Mahfud bergabung dengan tim suksesnya. Tetapi, kadang tidak semua hal bisa berjalan sesuai yang diharapkan, sehingga menarik untuk dilihat bagaimana kelanjutan kisah sakit hati ini. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...