Menko Polhukam Mahfud MD dianggap menjadi pemicu gaduh kerumunan massa pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab. Itu setelah polemik yang ada berbuntut panjang dengan dicopotnya dua Kapolda serta dipanggilnya sejumlah Kepala Daerah oleh Kepolisian. Lalu, apakah kegaduhan dan polemik yang meluas akan mengancam jabatan Mahfud?
Mohammad Mahfud MD, tampaknya ingin menunjukkan dirinya memiliki ketegasan meskipun menjadi sipil pertama yang mengampu jabatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Ketegasan itu, Mahfud tunjukkan pada awal pekan ini saat memberikan semacam ultimatum dalam menanggapi serangkaian kerumunan massa pada agenda pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Ultimatum Mahfud pun tak main-main. Aparat hingga kepala daerah diperingatkan dengan tegas untuk tak ragu menindak jika terjadi kerumunan, bukan justru mengakomodir atau turut dalam kerumunan.
Bahkan frasa “aparat keamanan” sampai disebut tiga kali oleh Mahfud, yang seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya memiliki taji meskipun berlatar belakang non militer atau kepolisian.
Namun demikian, pernyataan tegas dari Medan Merdeka Barat berbuntut panjang. Sejumlah kepala daerah, mulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, hingga Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil dipanggil untuk dimintai keterangan oleh pihak Kepolisian. Dua Kapolda dan Kapolres yang turut dimutasi dari jabatannya pun dianggap berkaitan dengan hal ini.
Buntut panjang tak hanya di level pemerintah dan aparat, kegaduhan pun muncul di sejumlah kalangan masyarakat. Timbul pro-kontra karena menganggap ketegasan pemerintah “telat” dan tak adil. Kerumunan massa kampanye Pilkada 2020 yang jejak digital berupa foto maupun videonya viral, menjadi alibinya.
Beriringan dengan polemik yang mengemuka, saran agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencopot Menko Polhukam Mahfud MD, juga muncul. Mahfud dituding melakukan pembiaran sejak awal dan memantik kegaduhan dengan ultimatumnya yang jamak disebut kurang proporsional.
Pakar politik dan hukum dari Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam, menilai jika Mahfud layak disingkirkan dari Kabinet Indonesia Maju lantaran menjadi orang pertama yang memberi lampu hijau HRS saat menghadirkan kerumunan massa penjemput di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Saiful menilai jika aparat dianggap melakukan kesalahan, maka yang harus bertanggungjawab adalah Kapolri dan bahkan Menko Polhukam.
Sementara pengamat politik Rocky Gerung menilai bahwa Mahfud MD menjadi biang kerok di balik polemik kerumunan massa ini karena tidak dapat melakukan koordinasi dengan baik padahal memiliki kewenangan relevan.
Lalu, mengapa narasi minor yang berkembang seolah berbalik kepada Mahfud? Serta mengapa muncul preseden bahwa eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu dinilai tidak menjalankan tugasnya sebagai Menko Polhukam dengan baik?
Strategi yang Keliru?
Sebuah risalah kemiliteran tertua di dunia karya Sun Tzu, The Art of War, kiranya dapat menjadi perspektif dan refleksi tersendiri untuk menjawab persoalan yang tengah tersorot pada Mahfud MD belakangan ini.
Dalam bagian 知己知彼 (Zhī Jǐ Zhī Bǐ) atau The Importance of Knowing Yourself and The Enemy, disebutkan bahwa “Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Sebaliknya, Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran”.
Hal tersebut mungkin relevan tidak hanya pada konteks polemik kerumunan massa setelah kepulangan HRS serta efek lanjutannya yang muncul, tetapi dapat pula menggambarkan secara umum sosok Mahfud MD sebagai Menko Polhukam.
Pada konteks HRS, misalnya, Mahfud seolah underestimate sejak awal sebelum HRS pulang dengan menyebut kepulangan HRS biasa saja dan justru hanya fokus pada potensi perusuh. Ini persis seperti yang disebut Saiful Anam sebelumnya, bahwa tampaknya sikap tersebut menjadi lampu hijau awal atas berbagai dinamika yang terjadi saat ini.
Pada konteks ini, Mahfud agaknya gagal mengenali, membaca dan menerjemahkan situasi Polhukam dengan baik, yakni potensi kerumunan massa HRS plus dampaknya, yang membuat akhirnya dia terkesan “kalah dalam pertempuran” dan justru dianggap membuat gaduh dengan ultimatumnya.
Sementara dalam jabatannya sebagai Menko Polhukam secara umum pun mungkin juga demikian. Setelah menjabat sebagai menteri, Mahfud seolah jadi tidak mengenal dirinya sendiri dalam artian jamak terkesan berbeda, baik dari sisi idealisme dan sebagainya. Yang kembali, bisa saja mempengaruhi kinerjanya itu sendiri.
Bukan “Habitat” Mahfud?
Selain itu, predikat sebagai sipil pertama dalam jabatan Menko Polhukam tampaknya juga menjadi variabel dengan signifikansi tersendiri. Hal ini sempat disinggung oleh pemerhati masalah pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Ia menyebut bahwa jabatan Menko Polhukam memang sebaiknya diisi oleh sosok yang memiliki pengaruh di militer ataupun kepolisian.
Dalam Civil Supremacy over the Military: Its Nature and Limits, Kenneth W. Kemp dan Charles Hudlin menjabarkan bahwa salah satu prinsip supremasi sipil atas negara berangkat dari paradigma bahwa fungsi militer adalah untuk melindungi negara, bukan memerintahnya. Pandangan ini sendiri memang menjadi indikator utama evaluasi terhadap hubungan sipil dan militer di sebuah negara.
Namun pandangan Kemp dan Hudlin tampak tak sepenuhnya relevan dengan kondisi di Indonesia dengan kultur politik dan pemerintahannya. Di awal Reformasi misalnya, Presiden BJ. Habibie menunjuk Juwono Sudarsono sebagai sipil pertama sejak lima puluh tahun yang menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) dan kemudian juga digantikan oleh sipil lain, yang menariknya adalah Mahfud MD.
Kendati begitu, Angel Rabasa dan John Haseman dalam The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power, menyebut dobrakan itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan simbolis dan langkah itu sebagian besar merupakan “kosmetik politik” yang terjadi di Indonesia. Khususnya jika berbicara mengenai kultur rantai komando, hingga aspek psikologis yang telah tertanam dalam atas peran militer sesungguhnya dalam politik dan tata kelola pemerintahan.
Relevansi konkretnya dengan Mahfud MD dinilai terlihat pada awal pekan ini saat dirinya melakukan rapat dengan unsur TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Anehnya, Kapolri justru tidak hadir karena dipanggil oleh Presiden Jokowi ke Istana, yang pada akhirnya berujung pada adanya pencopotan dua Kapolda.
Pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam menyebut bahwa bisa jadi hal itu merupakan bagian dari ketidakpercayaan Presiden Jokowi kepada Mahfud MD dalam penanganan koordinasi masalah hukum dan politik pasca kembalinya Habib Rizieq Shihab.
Dengan kata lain, Menko Polhukam memang kemungkinan bukanlah habitat yang ideal bagi sosok Mahfud MD.
Lantas dengan asumsi itu, apakah Mahfud akan segera didepak oleh Jokowi dari kabinet?
Tetap Aman?
Dalam merespons polemik kerumunan massa dan kaitannya dengan Mahfud MD, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menyebut jika Presiden Jokowi tak akan rugi bila mencopot Mahfud MD. Sebab, pemerintah punya tanggung jawab besar terhadap pencegahan aktivitas yang berimbas pada potensi pandemi Covid-19, termasuk dampak sosial politik yang mengemuka.
Akan tetapi, Elaine C. Kamarck dan James Wallner dalam sebuah paper berjudul Anticipating Trouble: Congressional Primaries and Incumbent Behavior, menyebut bahwa para petahana hanya merasa tidak aman dengan ancaman utama mereka, dibandingkan fokus pada hal lain.
Karakteristik petahana tersebut yang agaknya mungkin juga akan dilakukan Presiden Jokowi pada konteks Mahfud MD. Eks Wali Kota Solo dinilai memiliki segudang persoalan lain saat ini dibandingkan urgensi membongkar pasang kabinet. Akan berbeda misalnya dengan urgensi pencopotan Tedjo Edhie Wibowo pada periode pertama di mana Presiden masih membutuhkan kepercayaan lebih dari publik.
Apalagi Mahfud, yang merupakan Menko Polhukam sipil pertama mungkin saja justru membuat Presiden Jokowi menjadi lebih “fleksibel”. Salah satunya dengan BIN yang tak lagi di bawah kewenangan Menko Polhukam dan diejawantahkan dengan Perpres Nomor 73 Tahun 2020 pada Juli lalu.
Selain itu, Mahfud MD secara personal juga dinilai memiliki hubungan istimewa dengan Presiden Jokowi. Sejak sempat berseberangan saat Pilpres 2014, Mahfud dinilai menjadi referensi kepercayaan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta dalam persoalan politik dan hukum.
Dengan kata lain, reshuffle atau mencopot Mahfud mungkin tidak akan lebih menguntungkan atau tak akan lebih strategis, dibandingkan fokus pada berbagai tantangan dan “ancaman” bagi pemerintah yg nyata di depan mata saat ini.
Kendati begitu, probabilitas lain yang mungkin saja terjadi tak sepenuhnya tertutup. Apalagi reshuffle kabinet merupakan hal yang lumrah saja dalam dinamika pemerintahan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.