Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan di tahun 2021 nanti akan ada polisi siber untuk melawan serangan siber yang dinilai sudah tidak dapat ditolerir. Apakah wacana itu memperburuk demokrasi atau justru menjadi jawaban atas permasalahan demokrasi saat ini?
“Ketika internet kali pertama menjadi sarana komunikasi massa pada 1990-an, banyak pengamat (termasuk saya) percaya hal itu akan menjadi kekuatan penting untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi” – Francis Fukuyama, dalam Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian
Dalam wawancaranya bersama Kompas pada 26 Desember kemarin, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyebutkan pemerintah memutuskan untuk mengaktifkan polisi siber di 2021.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini, kebijakan tersebut bertolak dari fenomena masyarakat yang mudah menyebar ancaman melalui media sosial. Selain itu, Mahfud juga menyinggung perihal adanya kelompok masyarakat yang selalu menghantam pemerintah, terlepas dari pemerintah benar atau salah.
Dalam pengamatannya, kelompok masyarakat penghantam tersebut memang telah ada sejak lama. Namun perkembangan media sosial membuat mereka lebih leluasa dan masif melakukan hantaman. Pun begitu pada masalah hoaks atau berita bohong. Sudah saatnya pemerintah tegas menangani fenomena akut semacam itu.
Menimbang pada fenomena yang disebutkan Mahfud memang menjadi masalah di tengah era media massa saat ini, berbagai pihak telah menunjukkan dukungannya terhadap kebijakan tersebut.
Namun, beda halnya dengan pengamat politik Rocky Gerung. Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan Mahfud telah memproyeksikan bahwa akan ada banyak kejahatan siber sehingga menyiapkan langkah penjegahan. Tegasnya, kebijakan polisi siber ini seperti langkah menakut-nakuti masyarakat.
Baca Juga: Singgung Medsos, Jokowi Sentil Mahfud?
Senada dengan Rocky, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti bahkan menilai diaktifkannya polisi siber justru dapat mengancam kebebasan sipil, khususnya terkait kebebasan berekspresi yang telah dilindungi konsitusi.
Lantas, apakah kebijakan polisi siber adalah ancaman demokrasi atau justru menjadi jawaban atas situasi demokrasi saat ini?
Kenapa Demokrasi Dapat Menyebar?
Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy menyebutkan antara tahun 1970 dan 2010 terjadi peningkatan demokratisasi dari 35 menjadi 120 negara, yang mana itu adalah 60 persen dari jumlah negara di dunia.
Fenomena tersebut membuat Fukuyama mengajukan pertanyaan penting, yakni mengapa demokrasi baru menyebar dengan signifikan di akhir abad ke-20? Mengapa tidak menyebar 400 tahun sebelumnya?
Sebagaimana diketahui, ide tentang demokrasi sudah dilacak baunya sejak era Yunani Kuno. Mengutip Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, Fukuyama menyebut ide tentang kesetaraan manusia yang menjadi gagasan demokrasi modern bahkan telah ada sejak 800 tahun yang lalu. Namun, mengapa ide tersebut baru menyebar dan berkembang pesat saat ini?
Sayangnya, Tocqueville tidak memberi penjelasan atas pertanyaan tersebut selain menyebut penyebaran yang terjadi karena kehendak Tuhan (act of God). Di sini, Fukuyama memberikan spekulasi menarik. Perkembangan pesat demokrasi di akhir abad ke-20 yang disebut Samuel Huntington sebagai “gelombang demokratisasi ketiga” kemungkinan disebabkan karena berkembangnya komunikasi massa.
Seperti yang diketahui, itu adalah masa berkembangnya komunikasi massa seperti radio, televisi, dan internet yang membuat berita-berita politik dapat melampaui batas-batas waktu dan tempat. Dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama juga menyebut pada tahun 1990-an, berbagai pengamat percaya bahwa internet menjadi kekuatan penting untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi.
Bukti atas kekuatan internet misalnya terlihat dari peristiwa Arab Spring pada Januari 2011, di mana tersebarnya ide demokrasi melalui media sosial berhasil menurunkan pemimpin otoriter Tunisia, Zine al-Abidine Ben Ali dan menjadi pemicu gerakan serupa di Mesir, Yaman, Libya, dan Bahrain.
Gerakan Black Lives Matter juga disebut mungkin tidak akan muncul apabila tidak ada gawai yang memungkinkan setiap orang membuat video dan menyebarkannya.
Baca Juga: Jokowi Terjebak Post-Fact UU Ciptaker?
Meskipun Fukuyama menyebut internet dan perkembangan komunikasi massa berperan besar dalam penyebaran ide demokrasi, pertanyaan mengapa demokrasi baru menyebar di akhir abad ke-20 sebenarnya belum benar-benar terjawab.
Menjadi Bumerang
Menariknya, kendati internet menjadi kekuatan penting untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi, dalam tulisannya The Emergence of a Post-Fact World, Fukuyama justru menyibak sisi kelam dari teknologi komunikasi tersebut. Dosen senior Stanford University ini menyebut saat ini adalah era Post-Fact.
Menurut Fukuyama, akselerasi cepat informasi saat ini justru menciptakan masalah akut tersendiri, yakni sulitnya menentukan informasi yang benar. Di negara-negara otoriter seperti Rusia, pemerintah bahkan melakukan manipulasi fakta dengan membanjiri media sosial dengan informasi yang mereka inginkan.
Di negara demokrasi sebesar Amerika Serikat (AS), penyebaran informasi negatif bahkan menjadi strategi lumrah dan masif dilakukan saat kampanye. Imbasnya fatal, karena itu dapat membodohi seseorang dan membuatnya tergiring memilih kandidat tertentu.
Dalam laporan berjudul Report of the Working Group on Platform Scale, Fukuyama dan rekan-rekannya bahkan secara spesifik menyebut Google, Facebook, Twitter, Amazon dan Apple sebagai platform digital yang dapat mengancam demokrasi karena mengakibatkan kerugian sosial dan kerugian politik.
Kerugian sosial terkait hilangnya privasi, monopoli data dan pasar ekonomi. Sementara kerugian politik, terkait digital platform yang dapat menjadi alat politik untuk mengarahkan masyarakat pada isu atau pilihan politik tertentu. Yang terakhir adalah masalah fundamental yang dilihat Fukuyama dalam digital platform.
Penegasan yang lebih serius ditulis Fukuyama dalam Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian. Dalam buku terbarunya itu, media sosial bahkan disebut telah mengakibatkan pembusukan demokrasi karena menjadi sarana atas politik identitas dan memperdalam polarisasi politik.
Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?
Konteks tersebut mirip dengan penegasan Mahfud bahwa media sosial telah membuat pihak tertentu leluasa melempar konten-konten yang kurang bertanggungjawab. Lantas, apakah polisi siber adalah jawabannya?
Batasan Toleransi?
Di sini, sangat menarik menilik pernyataan Mahfud yang menyebut terlalu toleran juga berbahaya. Entah mengutip filsuf Karl Popper atau tidak, pernyataan tersebut adalah apa yang disebut sebagai “paradoks toleransi”.
Tesis paradoks toleransi adalah, jika toleransi di tengah masyarakat tanpa batas, maka kemampuannya untuk bertoleransi pada akhirnya direbut atau dihancurkan oleh mereka yang intoleran. Menurut Karl Popper, untuk mempertahankan masyarakat yang toleran, maka masyarakat harus tidak toleran terhadap intoleransi.
Dengan kata lain, toleran terhadap kelompok yang menyebar hoaks, ancaman, ataupun yang berusaha menghancurkan marwah pemerintah pada dasarnya adalah mereka yang tidak layak untuk diberikan toleransi.
Terkait yang terakhir, masalah marwah pemerintah tersebut menjadi jantung pembahasan Fukuyama dalam berbagai bukunya, misalnya dalam Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Di dalamnya, Fukuyama melihat begitu penting kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Itu tidak hanya menjaga stabilitas politik, melainkan juga dapat meningkatkan produksi ekonomi.
Oleh karenanya, memerangi kelompok masyarakat yang terus menghantam pemerintah secara membabi buta guna menghancurkan marwah dan kepercayaan masyarakat terhadapnya sekiranya merupakan usaha yang dapat dibenarkan.
Di sini, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa kebijakan polisi siber yang disebutkan Mahfud harus dipandang positif. Akan tetapi, jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa menetapkan batas-batas yang jelas terkait konten yang melanggar, ataupun bermain tebang pilih, maka kebijakan positif itu akan menjadi bumerang bagi demokrasi.
Kita lihat saja bagaimana kelanjutan kebijakan tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)