Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mungkin jadi salah satu pejabat paling sensasional saat ini karena perjuangannya mengungkap kasus korupsi besar. Perjuangan semacam ini mengingatkan apa yang dilakukan negarawan Romawi, Marcus Tullius Cicero. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Cicero dan merefleksikannya pada perjuangan Mahfud?
“Kita tidak dilahirkan di dunia ini untuk diri kita sendiri” – Marcus Tullius Cicero, negarawan Romawi
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, baru saja resmi membentuk Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang (Satgas TPPU) untuk mengusut dugaan transaksi mencurigaan RP349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Yang menjadi salah satu sorotan publik adalah, satgas yang didirikan pada tanggal 3 Mei 2023 itu tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam penugasannya. Meskipun ada penjelasannya sendiri, contohnya seperti KPK sebagai lembaga independen yang tidak mungkin berada di bawah seorang pejabat seperti Mahfud, hal ini tetap menarik perhatian publik.
Secara keseluruhan, pembentukkan satgas ini seolah semakin memperkuat momentum Mahfud sebagai barisan terdepan dalam pemberantasan korupsi para pejabat Indonesia. Yap, sejak beberapa bulan terakhir banyak kalangan publik yang melihat Mahfud sebagai harapan terkuat untuk menjawab persoalan korupsi pejabat yang sudah mengakar di negara kita.
“Akhirnya ada pejabat yang benar-benar berjuang melawan koruptor,” begitulah kira-kira mayoritas komentar para warganet yang memenuhi postingan @pinterpolitik setiap kali ada pembahasan tentang korupsi dan Mahfud.
Nah, kalau kita coba simak, yang menariknya pesona yang kini terbangun di seputar karakter Mahfud hampir menyerupai sosok negarawan Republik Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero.
Untuk kalian yang mungkin kurang familiar dengan Cicero, ia adalah salah satu negarawan paling terkenal dari era Republik Romawi, yang juga kerap dipandang sebagai seorang filsuf. Cicero mencuat dari tokoh-tokoh Romawi lain saat itu karena kegigihannya mempertahankan idealisme di senat Romawi ketika mereka sedang mengalami proses transisi politik yang sangat penting dalam sejarah, yakni peralihan menjadi sistem Kekaisaran.
Tidak jauh berbeda dengan Mahfud, Cicero ketika masa jayanya dulu juga berjibaku dengan entitas politik kuat yang memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Seakan menambah keserupaan, Mahfud dan Cicero pun sesama memiliki latar belakang hukum.
Lantas, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari perjuangan dan karir politik Cicero dan merefleksikannya pada apa yang sedang dilakukan Mahfud pada politik Indonesia?
Beban Seorang Pengacara-Politisi?
Perjuangan politik terbesar Cicero mungkin adalah ketika dirinya berhadapan dengan kaki tangan Julius Caesar, Mark Antony. Kala itu, Antony menjadi perwakilan politik kubu Caesar yang disebut Populares (orang yang pro-reformasi kepemilikan tanah dan menentang oligarki), dan Cicero menjadi penyalur suara paling berani dari kubu Optimates (kelompok aristokrat konservatif yang ingin pertahankan republik).
Meskipun secara sekilas kubu Populares terlihat lebih “baik”, faktanya kubu tersebut hanya menggunakan kampanye-kampanye mereka untuk menarik dukungan masyarakat. Mereka mungkin menentang oligarki, tapi jika Republik Romawi saat itu tidak memiliki oligarki yang kuat, maka kekuatan negara hanya akan terfokus pada sosok yang “membebaskan” rakyat, yakni sang diktator, Caesar.
Nah, walaupun mendapat dukungan publik yang relatif kecil dibanding kubu Populares, para pengamat sejarah selalu melihat Cicero sebagai sosok yang mampu mempertahankan senat Romawi sehingga tidak sepenuhnya didominasi oleh keputusan Caesar melalui Antony. Dengan pamornya sebagai salah satu pengacara paling elite di Roma, Cicero mampu secara lihai memainkan kepentingan kedua kubu hingga keseimbangan politik di ruang senat bisa terjaga. Setidaknya sampai perang sipil meletus.
Kalau kata Kaisar Pertama Romawi, Octavian, ketika menobatkan Cicero sebagai pahlawan Romawi, ia menilai sang sosok lawyer tersebut mampu mempertahankan perjuangannya karena rasa cintanya pada Republik, dan ambisi kuat untuk tidak membiarkan negaranya jatuh ke tangan diktator.
Dan mungkin saja, ambisi kuat dari seorang lawyer tersebut-lah yang menjadi irisan kesamaan perjuangan dan pencapaian politik antara Cicero dan Mahfud.
Paul L. Hain and James E. Piereson dalam artikelnya Lawyers and Politics Revisited: Structural Advantages of Lawyer-Politicians, menilai bahwa dari beberapa riset yang mereka lakukan, seorang politisi yang memiliki latar belakang sebagai pengacara umumnya memiliki pencapaian yang lebih sukses dalam karir politiknya dibanding politisi lain yang hanya mengandalkan latar belakang politiknya saja.
Hal ini karena para pengacara-politisi didukung beberapa keunggulan personal. Pertama, jelas adalah modal keahlian mereka dalam bidang hukum. Dengan memahami seluk beluk bagaimana hukum bekerja, Hain dan Piereson menilai seorang pengacara bisa lebih efektif menggunakan hukum sebagai alat politik untuk mencapai tujuannya.
Kedua, pengacara-politisi dinilai lebih mampu mempertahankan idealisme berpikirnya karena mereka melihat bahwa apa yang diperjuangkannya bisa diwujudkan. Sebagai akibatnya, ambisi mereka tentu masih bisa digoyahkan, akan tetapi cenderung lebih kuat dari orang-orang lain yang tidak tahu bagaimana caranya memperjuangkan kepentingan mereka.
Ketiga, koneksi. Seorang pengacara dituntut memiliki koneksi dengan orang-orang kuat agar bisa memudahkan mereka mendapatkan keunggulan dalam suatu kasus. Kalaupun sang pengacara sudah tidak lagi bekerja sebagai pengacara, koneksi yang terjalin bisa sangat membantunya di dunia politik. Taruhlah jika mereka butuh bantuan mendapat perlindungan, maka hal itu bisa diwujudkan. Hal ini tentu jadi modal kuat juga bagi Mahfud sebagai eks-Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari sini, kita bisa menduga bahwa meskipun Mahfud saat ini masih perlu memperjuangkan ambisi politiknya untuk memberantas korupsi di Indonesia, mungkin sudah jadi sifat alamiah seorang pengacara/hakim untuk menjadi politisi yang mampu stand-out dibanding politisi lainnya. Kalau Mahfud tetap bisa on-fire, bukan tidak mungkin ia sanggup menjadi Cicero-nya Indonesia.
Namun, kita pun perlu pertanyakan, tentu perjuangan Cicero bukan hanya tentang hal-hal baiknya saja, tapi juga ada beberapa hal kelam yang tidak boleh kita lupakan. Bagaimana kira-kira Mahfud bisa belajar dari akhir hidup Cicero?
Mahfud Perlu Belajar dari Cicero?
Cicero mungkin memang bisa dikatakan sebagai politisi yang paling berani menantang Caesar dan Antony, tapi, pada akhirnya keberanian itu dibayar dengan harga yang sangat mahal, yakni nyawa Cicero itu sendiri.
Ada sebuah cerita menarik yang diungkapkan para sejarawan dan dramawan Inggris, William Shakespeare tentang masa akhir Cicero. Dalam suatu perdebatan sengit di ruang senat Roma, Antony diketahui sangat geram dengan kekukuhan Cicero yang tidak mau mendukung salah satu agenda politik Antony. Saking geramnya, Antony sampai mengancam bahwa kalau Cicero berani macam-macam, ia akan memotong tangan Cicero dan menancapkannya di pintu senat Roma.
Dan benar saja, ketika perang sipil akhirnya meletus antara para pendukung Caesar dan pendukung oligarki, Cicero menjadi salah satu politisi yang dipersekusi di kota Roma. Setelah dirinya dibunuh, Antony memerintahkan algojonya untuk juga memotong tangan Cicero dan menancapkan mereka ke pintu senat Roma, menepati janji kesumatnya pada Cicero.
Dari sini, mungkin kita bisa ambil pelajaran penting untuk Mahfud yang sedang berjuang. Sosok yang berani dan bisa membuka tabir kerahasiaan para elite memang sangat dibutuhkan masyarakat, tapi tentunya setiap aksi juga akan melahirkan konsekuensi. Oleh karena itu, langkah yang sangat hati-hati dan penuh pertimbangan harus dilakukan oleh mereka yang sedang berusaha mengguncang “kandang serigala”.
Karena seperti kata adagium Latin kuno: manusia adalah serigala bagi sesamanya. Jika ada sesuatu yang benar-benar harus dipertahankan, seorang manusia, apalagi koruptor ,akan berani melakukan apapun untuk menjaga eksistensinya.
Kita bisa saksikan sendiri di media bagaimana ketika Mahfud hadiri sejumlah rapat di DPR dalam beberapa bulan terakhir, ia juga kerap mendapatkan beberapa ancaman. Meskipun kita tidak bisa menentukan apakah ancaman-ancaman itu adalah indikasi sesuatu yang lebih serius atau tidak, Mahfud tetaplah harus berpikir berkali-kali sebelum melakukan serangan.
Pada akhirnya, upaya untuk merubuhkan “menara” korupsi Indonesia yang begitu kokoh jelas perlu kita dukung, siapapun orangnya. Semoga saja Mahfud tidak berhenti di sini dan terus melanjutkan perjuangannya, mungkin kalau perlu sampai ke Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). (D74)