Baik kubu Jokowi maupun Prabowo mengaku sama-sama memasukkan nama Mahfud MD dalam radar cawapresnya.
PinterPolitik.com
“Orang yang bijaksana adalah mereka yang tidak berduka cita akan hal-hal yang ia tidak miliki dan merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki.” ~ Democritus
[dropcap]K[/dropcap]etika banyak politikus berlomba-lomba mempromosikan diri agar dapat menjadi calon wakil presiden (cawapres), baik bagi Jokowi maupun Prabowo, Prof. Dr. Mahfud MD., SH malah menyatakan dirinya tak ingin ikut dalam perlombaan tersebut. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang aktif ngetweet ini memilih mengalir saja seperti air.
Padahal, namanya masuk dalam daftar cawapres yang diperhitungkan oleh kedua kubu yang berseberangan itu. Sebagai seorang negarawan yang cukup lama malang melintang baik di pemerintahan, legislatif, maupun yudikatif, Mahfud memang memiliki kualitas yang mampu memenuhi semua kriteria seorang cawapres.
Permasalahannya, tak mudah bagi Jokowi – bahkan juga Prabowo, untuk langsung meminang mantan Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di era Gus Dur ini. Ada banyak pertimbangan yang harus dilewati, salah satunya persetujuan para partai koalisi pengusung keduanya. Akankah mereka legowo memberikan kursi cawapres kepada sosok yang kini lebih memilih non partisan tersebut?
Suka dengan tulisan dari dosen sejarah UIN Padang ini. Permainan politik cantik ala Gus Dur yang dulu, yang mungkin akan dijalankan Cak Imin tahun 2019.
Ini hanya prediksi, letak kebenaran bisa ya bisa tidak.
Mahfud MD dan Hasrat Cak Imin jadi Cawapres https://t.co/BKx4ZhhmSy— Muhammad Mas’udi Rahman (@uudmasud) March 24, 2018
Apalagi, nyaris semua partai politik besar berharap agar kursi kosong tersebut bisa jatuh ke ketua umum, atau minimal ke kader mereka. Contoh saja PKB, sebagai partai NU terbesar, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang begitu berharap dipilih Jokowi sebagai cawapres, tentu tak akan rela peluangnya begitu saja hilang oleh kadernya sendiri.
Di sisi lain, Prabowo dalam hal ini Gerindra, seakan juga terikat kuat dengan keinginan mitra koalisinya, PKS. Partai Islam ini tentu sangat ingin mendapatkan kursi cawapres, bila memang tidak mungkin mengajukan calon presiden (capres). Sejauh ini, baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saja yang memberikan lampu hijau pada Mahfud MD untuk mendampingi Jokowi.
Kalau memang tidak mungkin terpilih, lalu mengapa namanya bisa masuk dalam daftar dua kubu tersebut? Dan pertimbangan apa yang memungkinkan bagi kedua kubu, untuk dapat menjadikan Mahfud MD sebagai cawapres mereka?
Sosok Negarawan Agamis
Manusia bisa mempercayai yang tidak mungkin, tetapi tidak pernah bisa mempercayai yang mustahil. ~ Oscar Wilde
Di usianya yang akan menginjak 61 tahun, pada 13 Mei mendatang, pria yang terlahir dengan nama Muhammad Mahfud ini, memang cukup matang pengalaman untuk menjadi seorang wapres. Bila dilihat dari perjalanan karirnya, pria yang menambahkan nama bapaknya – Mahmodin – dengan inisial MD di belakang namanya itu, bisa dibilang tak diragukan lagi.
Selain berbekal gelar sarjana dan doktoral dalam bidang hukum tata negara, Mahfud juga memiliki gelar master untuk bidang studi politik. Sebab baginya, hukum dan politik adalah bidang yang kerap bersinggungan. Ketertarikan dengan politik sendiri, sebenarnya sudah terlihat dari bagaimana ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan, baik di Senat, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Namun penerima gelar Guru Besar termuda (di usia 41 tahun) ini, mengaku tak menyangka kalau karirnya sebagai dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta akan mengantarnya menjadi menteri di era Presiden ke empat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Padahal kedekatannya dengan Bapak Tionghoa Indonesia ini sendiri, hanya karena sering mengundangnya berbicara di unversitas tersebut.
Sebagai putra kelahiran Sampang, Madura, Mahfud tumbuh besar di lingkungan dan keluarga beraliran Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat kuat. Tak heran kalau keluaran pesantren ini mudah dekat dengan cucu pendiri NU tersebut. Namun kepandaiannya lah yang sebenarnya membuat Gus Dur terpincut, sehingga menempatkannya sebagai Menteri Pertahanan (tahun 2000) dan Menteri Kehakiman dan HAM (tahun 2000-2001).
Bahkan setelah dilengserkan dari kursi kepresidenan pun, Gus Dur tetap memaksa Mahfud untuk terus mendampinginya sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) periode 2002-2005, di partai besutannya tersebut. Jabatannya di partai NU terbesar ini pula yang membawanya ke kursi legislatif, baik di Komisi III maupun Komisi I, dari 2004 hingga 2008.
Meski begitu, Mahfud mengaku lebih menikmati perannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (periode 2008-2013), dibandingkan saat duduk sebagai menteri maupun anggota DPR. Ia merasa, jabatannya di MK memberikan keleluasaan dalam mengejawantahkan pemikiran dan pengetahuan, tanpa harus terkekang dengan berbagai kepentingan politik maupun partai politik.
Kini setelah sudah tidak lagi berkecimpung di lingkungan legislatif maupun yudikatif, Mahfud yang kembali menjadi dosen, masih memiliki jabatan yang berkaitan dengan kerja eksekutif. Juni 2017 lalu, Presiden Jokowi memilihnya menjadi anggota dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP).
Mahfud juga menjadi sosok yang paling sering dimintai pendapat oleh Jokowi, terutama untuk isu-isu yang berkaitan dengan hukum dan undang-undang. Salah satunya, terkait bagaimana seharusnya Jokowi bersikap atas disahkannya UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) lalu. Kepercayaan Jokowi pada Mahfud ini pula yang membuat Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Romi) yakin, Mahfud mampu melengkapi Jokowi.
Terbaik Bagi Semua?
“Kepandaian tanpa ambisi, ibarat burung tanpa sayap.” ~ Salvador Dali
Sebagai negarawan yang memiliki track record mumpuni dan bersih, potensi Mahfud memang telah dilirik sejak lama. Bahkan pada Pilpres 2014 lalu, ketika dirinya tak lagi memimpin MK, PKB telah berani menetapkan Mahfud sebagai capres yang akan diusung. Namun sayang, ketika PDI Perjuangan memutuskan mengusung Jokowi sebagai presiden, PKB seakan langsung berpaling begitu saja dari dirinya.
Begitu juga ketika menentukan cawapres bagi Jokowi, seolah PKB tidak berusaha memperjuangkan dirinya dan malah setuju dengan keputusan PDI Perjuangan yang memasangkan Gubernur DKI Jakarta tersebut dengan Jusuf Kalla (JK). Banyak pihak melihat, sikap PKB ini membuat Mahfud sakit hati dan memilih menyeberang dengan bersedia menjadi ketua tim sukses (timses) Prabowo dan Hatta Rajasa.
Namun entah mengapa, ketika kubu Prabowo tak menerima hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan kemenangan Jokowi-JK, suami Zaizatoen Nirhajati ini memilih mundur dari jabatannya sebagai ketua timses. Selain mengaku telah gagal melakukan tugas, Mahfud juga tidak setuju dengan manuver Prabowo-Hatta yang menentang putusan KPU.
Kalau Jokowi cari cawapres dari luar partai dan dari kalangan “santri”.. Pak Mahfud sangat berpeluang. Saingan anda Said Aqil siroj.. selamat berjuang prof semoga terpilih… https://t.co/tK2ssdKaKv
— Semut Ibrohim (@PungSaumin) March 26, 2018
Walau hubungan Mahfud dengan Prabowo tetap baik, namun ‘luka lama’ kubu Gerindra atas putusan Mahfud yang lalu, sepertinya masih membekas. Jadi, walau Gerindra sempat mempertimbangkan dirinya sebagai kandidat cawapres, namun kecil kemungkinan koalisi oposisi akan benar-benar mengusung Prabowo-Mahfud.
Terlebih, belakangan Mahfud kelihatan lebih banyak mendukung Pemerintah. Misalnya saja, saat polemik pidato Prabowo yang menyatakan Indonesia bubar di 2030, secara akademis Mahfud menyalahkan Prabowo yang menetapkan tahun bubar tanpa ada fakta dan data yang mendukung pernyataannya tersebut.
Tak heran bila banyak pihak melihat kalau duet Jokowi – Mahfud jauh lebih memungkinkan. Hanya saja, tentu Jokowi tak bisa memutuskan sendiri. Selain memiliki banyak partai koalisi, keputusan cawapres Jokowi pun tak lepas dari campur tangan Megawati Soekarnoputri, sebagai ketua umum partai utama pengusung mantan Walikota Solo tersebut.
Ada dugaan, Partai Banteng itu tengah mempertimbangkan untuk memasangkan Jokowi dengan tokoh yang tidak memiliki ambisi atau tidak bisa bertarung lagi adi Pilpres 2024 kelak. Mengapa? Karena walau memiliki banyak kader, namun hingga kini Megawati masih kesulitan mencari “putra mahkota” dari partainya sendiri.
Partai merah ini sepertinya berharap, di 2024 nanti, mereka mampu mengusung “anak sendiri” dalam memperebutkan kursi RI-1. Tentu ambisi ini sulit dicapai bila Jokowi berpasangan dengan tokoh muda potensial saat ini, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Cak Imin, dan Gatot Nurmantyo yang bisa jadi semakin melejit kelak.
Coba saja tilik nama-nama cawapres yang sempat dilontarkan PDI Perjuangan, dari Budi Gunawan hingga JK, kalau dicermati, keduanya mungkin sulit untuk maju lagi di 2024. Oleh karena itu, pencetusan nama Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi, bisa jadi akan merupakan pilihan terbaik bagi semua.
Selain memiliki keilmuan tinggi, Mahfud yang usianya juga sudah cukup senior ini, diyakini mampu menarik dukungan umat Islam yang dibutuhkan Jokowi. Walau beraliran NU, namun ia juga dapat diterima oleh warga Muhammadiyah. Dengan kecerdasan tingginya, Mahfud tentu mampu membantu Jokowi di sektor ekonomi. Sekarang pertanyaannya, bersediakah para partai koalisi pendukung Jokowi untuk menerima opsi ini? (R24)