HomeNalar PolitikMahfud Lebih Cocok Gabung KAMI?

Mahfud Lebih Cocok Gabung KAMI?

Menkopolhukam Mahfud MD kembali menuai pro dan kontra di masyarakat. Mahfud menyinggung soal keterlibatan ‘cukong’ dalam Pilkada. Ini merupakan kesekian kalinya Mahfud berkata terlalu jujur dalam mengomentari fenomena politik. Apa sebenarnya yang dapat dimaknai dari pernyataan-pernyataan Mahfud?


PinterPolitik.com

Sebagian penggemar film mungkin tidak asing dengan judul V for Vendetta. Film yang terkenal dengan topeng Guy Fawkes-nya ini memang sempat booming di tahun 2000-an dan kerap dijadikan inspirasi terhadap gerakan melawan kekuasaan otoriter.

Dalam salah satu adegan di film tersebut, karakter Evey Hammond yang diperankan Natalie Portman sempat mengucapkan adagium yang cukup memorable. Dia menyebut bahwa seniman menciptakan kebohongan untuk menyampaikan kebenaran, sementara politisi menggunakan kebohongan untuk menutupi kebenaran.

Sudah sejak lama politisi memang digeneralisir sebagai sosok yang penuh dusta dan intrik. Mereka juga kerap dicitrakan sebagai manusia yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.

Namun sebagaimana pendapat Frank Jefkins dalam bukunya Public Relations, citra merupakan kesan, gambaran, atau impresi yang tepat sesuai kenyataan. Berpatokan dari sini, bisa dikatakan citra politisi yang kerap diidentikan dengan kebohongan memang terbentuk dari realitas yang ada.

Namun bagaimanapun juga, rasanya terlalu naif bila kita menyematkan cap pembohong kepada semua politisi. Setidaknya cap tersebut tak berlaku bagi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.

Sejak diangkat jadi menteri, Mahfud kerap melontarkan pernyataan yang bisa dikatakan terlalu jujur untuk ukuran seorang politikus. Misalnya saat sejumlah menteri masih menebar optimisme bahwa Indonesia bisa lolos dari jerat resesi akibat pandemi Covid-19, Mahfud justru terus terang mengatakan sebaliknya.

Pun saat Ia memaklumi praktik nepotisme beberapa waktu lalu. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menilai tak ada satupun hukum di Indonesia yang bisa menghalangi praktik nepotisme.

Teranyar, Mahfud memberikan statement yang menyinggung keterlibatan ‘cukong’ dalam gelaran kontestasi elektoral tingkat daerah. Menurutnya, hampir semua calon kepala daerah yang maju di Pilkada dibiayai oleh para pengusaha yang berpotensi melahirkan korupsi kebijakan. 

Meski kerap menimbulkan sentimen minor, namun sebenarnya Mahfud hanya menyampaikan kenyataan pahit yang mungkin saja telah menjadi rahasia umum di kalangan politisi. Hanya saja, tak semua politikus berani dan percaya diri untuk mengakui kebobrokan tersebut secara gamblang sebagaimana yang dilakukan Mahfud MD.

Keberanian Profesor Hukum Tata Negara tersebut dalam menyampaikan realita politik nyatanya menarik simpati Rocky Gerung. Dengan aksentuasi mencibir khas Rocky, Ia menilai Mahfud bisa saja bergabung dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) jika posisinya tak berada di dalam pemerintahan.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Meski hanya terkesan menggoda Mahfud, namun pernyataan Rocky ini sangat menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Lantas pertanyaannya, apa kira-kira yang menyebabkan Mahfud bisa begitu gamblang menyampaikan pernyataan-pernyataan politiknya?

Tanggung Jawab Intelektual

Sebelum masuk ke panggung politik, Mahfud memang seorang intelektual di bidang hukum. Gelar akademisnya cukup mentereng. Ia tercatat memiliki dua gelar sarjana, dan masing-masing satu gelar untuk jenjang magister dan doktor.

Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals mengatakan bahwa tanggung jawab para intelektual adalah untuk mengatakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Namun dengan mengutip pernyataan Martin Heidegger, Chomsky menjelaskan kebenaran yang Ia maksud adalah kebenaran  yang membuat orang yakin, jelas, dan kuat dalam tindakan dan pengetahuannya. Hanya ‘kebenaran’ semacam inilah yang memiliki tanggung jawab untuk dibicarakan.

Neil dan Amahl Smith dalam esaimereka untuk merefleksi pemikiran Chomsky mengatakan tanggung jawab intelektual sering kali disamakan dengan mengutarakan kebenaran kepada penguasa. Tetapi perlu ditekankan bahwa mengatakan kebenaran kepada penguasa mungkin bukan prioritas utama. Menurutnya tanggung jawab para intelektual yang lebih utama adalah membicarakan kebenaran kepada mereka yang lemah.

Sebelum berkantor di Kemenkopolhukam, Mahfud memang sudah aktif mengutarakan pandangan-pandangan akademisnya secara gamblang terhadap isu-isu politik aktual. Hal itu Ia sampaikan lewat berbagai saluran, termasuk sosial media, terutama Twitter.

Keterikatan kaum intelektual dengan kebenaran membuat sebagian kalangan menganggap para cendekiawan tak boleh berpihak. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah kelompok menganggap minor pendapat akademis Mahfud yang dinilai cenderung membela salah satu klaster politik, dalam hal ini kubu Jokowi.

Ketika akhirnya Ia sempat diisukan bakal mendampingi mantan Wali Kota Solo tersebut di kontestasi Pilpres 2019, sebagian orang itu semakin yakin bahwa apa yang disampaikan Mahfud selama ini merupakan caranya mencari panggung politik agar dipinang oleh Jokowi. Lantas pertanyaannya, apakah keberpihakan Mahfud tersebut dapat dijadikan pembenaran untuk mendegradasi intelektualitasnya?

George Orwell sebagaimana dikutip oleh Rudi Hartono dalam tulisannyaTanggung Jawab Intelektual menyebut tidak ada produk pengetahuan, termasuk buku-buku maupun setumpuk artikel di internet, yang benar-benar murni dan bebas dari sebuah keberpihakan politik. Bahkan Orwell menyebut bahwa pandangan yang mengatakan pengetahuan harus bebas dari politik adalah sebuah sikap politik.

Berangkat dari pemikiran ini, maka dapat dianggap kejujuran Mahfud dalam mengomentari fenomena politik teraktual merupakan dorongan dari naluri intelektualitasnya untuk berkata apa adanya. Sekalipun saat ini Ia terafiliasi secara politik oleh pemerintah, hal tersebut tak serta merta mendegradasi posisinya sebagai intelektual.

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Selain menyebut Mahfud cocok bergabung dengan gerakan KAMI, Rocky juga melihat sindiran soal cukong tersebut merupakan bentuk kerinduan Mahfud menjadi seorang intelektual yang bebas dari kepentingan pragmatis. Dia menilai Mahfud saat ini tengah dilanda kegalauan lantaran dikelilingi oleh gerombolan yang Ia sebut ‘tak elok’.

Lantas, benarkah demikian?

Mahfud Rindu Aktivitas Intelektual?

Menariknya, kendati Mahfud dekat dengan golongan Islam, secara pemikiran, Mahfud dapat dikatakan sebagai sosok liberal. Hal ini dapat terlihat dari pendapat-pendapatnya yang lebih terbuka dan mengutamakan logika akademis dibanding nilai-nilai religius.

Seorang filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat (AS), Richard Rorty pernahmenyebut masyarakat liberal adalah masyrakat yang cita-citanya dapat dipenuhi dengan cara meyakinkan orang dan bukan dengan cara memaksa. Dalam masyarakat liberal orang tidak perlu takut mengatakan apa yang menjadi pendapatnya, entah sesuai atau tidak dengan pandangan pemerintah, mayoritas, ideologi atau agama.

Dalam konteks ini, Mahfud memenuhi kriteria tersebut, karena Ia tidak ragu dalam menyampaikan pendapatnya.

Akan tetapi, menurut Rorty, seorang liberal dapat mengalami ironi atau menjadi manusia ironis, ketika Ia menyadari bahwa pandangan-pandangannya ternyata tidak mempunyai kepastian mutlak. Tentu menjadi pertanyaan, jika mereka yang lantang berpendapat menyadari bahwa pandangannya tidak memiliki kepastian, lantas bagaimana suatu diskusi atau kesepahaman dapat terbentuk. 

Menurut Rorty, kesepakatan antar masyarakat atau komunitas dapat terjadi dalam payung yang disebut dengan solidaritas. Solidaritas tersebut dapat terjadi apabila individu melakukan rekonstruksi pada komunitas historisnya melalui partisipasi, khususnya pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung.

Berangkat dari sini, dapat dikatakan bahwa peryataan-pernyataan jujur Mahfud merupakan caranya dalam merekonstruksi komunitas historisnya di mana Mahfud memang meghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang intelektual. Singkatnya, mengacu pada Rorty, pernyataan Rocky yang menyebut Mahfud tengah rindu bergabung dengan pikiran-pikiran intelektual yang tidak terbebani oleh pragmatisme bisa saja benar adanya.

Dengan demikian, hal ini dapat dijadikan afirmasi terhadap candaannya yang menyebut jika tak berada di pemerintahan, Mahfud lebih cocok bergabung dengan KAMI. Ini karena di sana Ia bisa mencurahkan pemikiran-pemikirannya dengan sesama kalangan intelektual lintas sektor dan membentuk solidaritas sebagaimana dikemukakan Rorty.

Namun pada akhirnya, yang dapat menjawab apakah Mahfud cocok bergabung KAMI tentunya adalah Mahfud sendiri. Yang jelas, saat ini Mahfud masih tergabung dalam pemerintahan, di mana posisi itu berseberangan dengan KAMI. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...