Pernyataan Mahfud MD bahwa ada orang-orang Arab yang menginvestasikan jutaan dolar AS untuk mendirikan pesantren radikal menjadi pergunjingan baru pasca Pemilu 2019. Mahfud menyebutkan bahwa pesantren-pesantren tersebut umumnya cenderung eksklusif, bahkan menerapkan larangan menghormati bendera Merah Putih dan lambang burung Garuda. Faktanya, beberapa penelitian memang menyebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, Arab Saudi telah berkontribusi dalam perkembangan paham radikal di banyak negara lewat dana yang jumlahnya mencapai US$ 7 miliar atau sekitar Rp 93 triliun.
PinterPolitik.com
“Let us not seek to satisfy our thirst for freedom by drinking from the cup of bitterness and hatred.”
:: Martin Luther King Jr. ::
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD kembali mencuri perhatian. Kali ini, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan itu membuat pernyataan terkait radikalisme yang ada di Indonesia.
Mahfud menyebutkan bahwa ada orang-orang radikal yang lolos dari penangkapan di Arab Saudi. Kelompok ini kemudian menginvestasikan dana mereka dalam jumlah yang besar untuk membangun pesantren-pesantren di Indonesia. Bahkan Mahfud juga menyebutkan bahwa nilai uang yang mereka investasikan tersebut mencapai jutaan dolar.
Jumlah tersebut dipakai untuk membantu penyebaran paham radikal lewat jalur pendidikan di pesantren. Mahfud memang tidak merinci besarannya, pun tokoh-tokoh atau pesantren spesifik mana yang ia maksud.
Namun, ia menyebutkan bahwa indikasi pesantren yang terpapar radikalisme adalah keadaannya yang tertutup atau eksklusif dari orang luar. Bahkan ada larangan tertentu, misalnya dilarang memberikan penghormatan kepada bendera Merah Putih dan lambang burung Garuda. Mahfud juga menyebutkan bahwa radikalisme yang demikian terjadi di beberapa daerah, misalnya di Yogyakarta dan Magelang.
Pernyataan Mahfud ini tergolong serius. Tak heran tanggapan yang serius pun muncul, salah satunya dari Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu meminta Mahfud melaporkan tuduhannya pada polisi dengan bukti yang jelas agar apa yang disampaikannya tidak menimbulkan gesekan di masyarakat.
Nyatanya, konteks radikalisme ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas karena dianggap sebagai isu yang sentral pasca Pemilu 2019. Apalagi, isu ini juga menjadi bagian perdebatan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto kala bertarung dalam debat Pilpres 2019.
Mahfud juga menyebutkan bahwa banyak masyarakat Indonesia kerap kali mengkafirkan sesama muslim lainnya dan isu benturan ini masih terus terjadi.
Pertanyaannya adalah benarkah demikian? Mungkinkah orang-orang yang dicari di negaranya – dalam hal ini Arab Saudi – benar-benar bisa dengan mudah masuk dan berinvestasi di Indonesia dalam konteks sebaran radikalisme itu sendiri?
Arab dan Tuah Radikalisme
Perdebatan tentang arti radikalisme itu sendiri hingga saat ini masih ada di wilayah abu-abu. Pasalnya, antara pengertian dan pemaknaannya di lapangan sering kali tidak sejalan. Radikalisme itu sendiri secara umum diartikan gerakan yang menginginkan perubahan yang fundamental (dalam bahasa Latin, radix = akar) di dalam masyarakat.
Jika berhubungan dengan agama ataupun ideologi, maka radikalisme adalah perubahan yang mengakar yang terjadi pada dua entitas tersebut. Artinya, sesuatu yang radikal adalah yang menginginkan perubahan yang bersifat mengakar pada entitas yang sudah ada atau yang bersifat status quo.
Dalam konteks ideologi misalnya, Pancasila adalah status quo ideologi Indonesia. Dengan demikian, pihak-pihak atau paham yang ingin menggantikan Pancasila bisa disebut sebagai radikalisme.
Konteks tersebut juga berlaku terhadap turunan dari Pancasila itu sendiri, misalnya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pun gagasan macam Bhinneka Tunggal Ika. Gerakan seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) bisa jadi salah satu contoh gagasan yang radikal.
Sementara, dalam konteks agama Islam, benturannya juga terjadi antara kelompok tradisionalis yang mengusung Islam yang sinkretis – bercampur dengan budaya lokal – dengan kelompok fundamentalis yang ingin memurnikan agama Islam.
Lalu, apakah benar radikalisme itu telah ada dan mengancam Indonesia?
Jika berkaca dari survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada akhir 2017 lalu, setidaknya ada 4 persen orang Indonesia yang setuju dengan gerakan ISIS, di mana 5 persen di antaranya adalah mahasiswa. Artinya, ada sekitar 10 juta orang Indonesia yang setuju terhadap ISIS, dan 500 ribu di antaranya adalah mahasiswa. Jumlah ini tentu saja tidak sedikit.
Survei lain dari Saiful Mujani Research and Colsulting (SMRC), bahkan menyebut 9,2 persen warga negara Indonesia ingin mengganti NKRI dengan sistem “khilafah” – ide yang salah satunya diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – organisasi yang telah dibubarkan pemerintah.
Memang sulit untuk melihat hubungan ISIS dengan Arab Saudi secara langsung terkait radikalisme dan konteks pendanaan seperti yang disebutkan oleh Mahfud. Namun, jika khilafah dianggap sebagai bagian dari konsep fundamentalisme Islam, maka hubungannya bisa saja menjadi sangat jelas.
Apalagi, beberapa waktu terakhir gerakan untuk membalikkan Islam ke arah Timur Tengah sentris memang cukup kuat terjadi di Indonesia.
Beberapa penelitian bahkan menyebut persoalan pendanaan Arab Saudi ini telah terjadi sejak tahun 1970-an. Hal ini salah satunya diungkapkan oleh peneliti untuk Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones.
Ia menyebutkan bahwa Indonesia menjadi tujuan penyebaran aliran fundamentalisme yang berasal dari Arab Saudi. Bahkan, Jones juga mengatakan bahwa Arab Saudi berkontribusi terhadap peningkatan angka intoleransi di Indonesia.
Faktanya aliran Wahabisme – salah satu paham pemurnian agama Islam yang identik dengan Arab Saudi – begitu kuat di Indonesia dan Sidney Jones juga percaya ada aliran uang yang masuk ke kelompok-kelompok intoleran di Indonesia yang berasal dari Arab Saudi.
Salah satu hal yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah semakin meningkatnya Islam konservatif yang tidak toleran, yang dianggap merupakan pengaruh kelompok garis keras Wahabi di Indonesia.
Hal ini tampak dari jumlah anggaran yang dihabiskan oleh Arab Saudi untuk negara-negara Islam miskin melalui banyak lembaga pendidikan dan dana pembangunan. Ditengarai, mulai dari tahun 1970-an atau saat booming minyak, hingga tahun 2002, Saudi diperkirakan mengeluarkan sekitar US$ 7 miliar atau Rp 93 triliun untuk negara-negara Islam miskin, termasuk di Indonesia.
Dana ini juga dipakai untuk dakwah Wahabi lewat lembaga keagamaan, masjid dan ormas.
Sementara beberapa sumber lain menyebutkan bahwa konteks pendanaan ini juga tidak lepas dari kebijakan soft power Saudi untuk membentuk Pan Islam – model kekuasaan yang menyatukan semua negara Islam di bawah panji Kerajaan Arab Saudi.
Walaupun demikian, tudingan Mahfud memang secara spesifik mengarah pada individu, dan bukan negara. Artinya memang diperlukan penelitian atau data lanjutan untuk membuktikan apa yang disampaikannya – kecuali pria kelahiran Madura itu memang punya bukti-bukti yang kuat terkait tuduhannya tersebut.
Sisi Lain Masalah
Satu hal yang cukup menggelitik dari pernyataan Mahfud adalah jika orang-orang radikal tersebut memang ingin ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi, mengapa mereka bisa dengan bebas masuk dan menginvestasikan uangnya di Indonesia?
Pertanyaan tersebut penting untuk melihat konteks keterlibatan penyebaran paham radikal tersebut – jika benar demikian adanya – pada level struktural. Besar kemungkinan orang-orang dan investasi yang mereka lakukan itu tidak berdiri sendiri.
Pertanyaan sederhananya, jika mampu masuk ke Indonesia, mengapa mereka tidak bisa dideteksi? Atau jika mereka memang sedang dihadapakan pada persoalan hukum di negaranya, mengapa Saudi tidak meminta untuk melakukan penangkapan atau mekanisme lain lewat perjanjian ekstradisi misalnya?
Arab Saudi punya kemampuan untuk mendeteksi dan menginvestigasi kejadian atau kasus kriminalitas di luar negeri, jika benar bahwa kelompok yang ada di balik pendanaan tersebut memang dicari oleh pemerintah negara tersebut.
Pada akhirnya, pernyataan Mahfud juga tetap harus dikritisi. Apapun tuduhannya, semua memang harus bisa dibuktikan juga.
Jangan sampai pernyataan tersebut sesungguhnya hanya menjadi warna lain dari gesekan yang terjadi di antara kelompok tradisionalis – di mana Mahfud menjadi bagian di dalamnya – dengan kelompok konservatif, pertarungan yang sering dibahasakan sebagai kaum sarungan vs kaum cingkrangan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.