Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak langsung alias dipilih melalui DPRD kembali mengemuka usai Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengeluarkan statemen tentang pentingnya evaluasi Pilkada. Alasan masih kuatnya money politics atau politik uang dipakai sebagai dasar argumentasinya.
PinterPolitik.com
Tito melempar “bola panas” tersebut pada saat rapat kerja dengan Komisi II DPR RI. Dalam kesempatan itu Tito sengaja mengajukan pertanyaan tentang relevansi Pilkada yang sudah berjalan hampir dua dekade ini.
Tak berselang lama, beberapa pihak mengendus bahwa wacana tersebut sebagai aroma ingin mengembalikan mekanisme Pilkada langsung ke Pilkada tak langsung.
Fadli Ramadhani dari Perludem, misalnya, menilai isu tersebut sebagai logika yang melompat serta kontraproduktif terhadap wacana evaluasi Pilkada.
Menariknya, wacana itu juga turut ditanggapi Mahfud MD yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Mahfud menilai wacana kembali ke Pilkada tak langsung justru hanya akan mengulang sejarah. Pasalnya, Pilkada tak langsung justru punya masalah tersendiri yang tak kalah buruk sebab berpotensi terjadi politik uang yang masif melalui agen-agennya.
Dalam konteks politik uang, yang juga menjadi lokus persoalan munculnya wacana ini, menurut Mahfud memiliki tarikan sejarah yang buruk sejak Pilkada lewat pemilihan DPRD dipraktikkan di era Orde Baru.
Merujuk pada kasus politik uang (money politics) tersebut, ia menyebut baik Pilkada tak langsung ataupun Pilkada langsung, sama-sama mencerminkan gejala serupa. Hanya saja, keduanya berbeda dalam hal praktik.
Jika pada Pilkada tak langsung politik uang terjadi secara “borongan” atau melalui “agen-agen” – merujuk pada anggota DPRD yang disuap atau disogok – maka pada Pilkada langsung dilakukan secara “eceran” dengan langsung menyentuh masyarakat.
Mencermati wacana tersebut, mengapa money politics selalu melengket pada politik elektoral? Kemudian, apakah pernyataan Mahfud tersebut dapat dimaknai sebagai satu bentuk kebuntuan eksperimen (politik)?
Pilkada dan Money Politics
Telah banyak hasil riset yang membuktikan kalau Pilkada langsung memberikan celah terjadinya praktik politik uang. Ini salah satunya disebabkan mahalnya ongkos politik yang dibutuhkan untuk memenangkan Pilkada.
Seperti dicatat Nopyandri dalam Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis Dalam Perspektif UUD 1945, pemilihan kepala daerah secara langsung kerap melahirkan kapitalisasi dalam tahapannya yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Pengakuan serupa juga dipertegas oleh Utari dalam Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas bahwa politik uang harus diakui merupakan momok terbesar dalam setiap rekrutmen politik dalam pemilihan kepala daerah.
Jika terus dirunut, tak sedikit peneliti, praktisi, hingga pegiat politik mencatatkan sejumlah temuan kasus yang mengarah pada pembuktian maraknya politik uang sepanjang Pilkada langsung diterapkan.
Badoh dan Dahlan dalam Korupsi Pemilu di Indonesia menyebutkan, ada empat modus korupsi dalam politik elektoral, yakni mulai dari beli suara (vote buying ), beli kursi (candidacy buying), manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative corruption), dan dana kampanye yang mengikat (abusive donation).
Kabar mengenai maraknya politik uang dalam perhelatan Pilkada langsung bukan sekadar isapan jempol. Meskipun, ada yang menyebut gejala politik uang ini ibarat “bau kentut”, tercium namun sulit terlacak, banyak yang membuktikan kalau fenomenanya nyata terjadi di lapangan.
Sebut saja laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait temuan politik uang sepanjang pelaksanaan Pilkada 2010, yang mana terdapat 1.053 kasus praktik pembagian uang dilakukan secara langsung.
Selain itu, terdapat modus penggunaan kebijakan keuangan daerah, ketika calon petahana (incumbent) kembali maju. Umumnya politik uang berlangsung seputar penggunaan APBD untuk kelancaran kontestasi.
Tidak berhenti di situ, dalam Outlook Korupsi Politik 2018, ICW juga menyebutkan, sepanjang 2010-2017 terdapat sedikitnya 215 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut terjadi dengan berbagai modus, salah satunya bersinggungan dengan kasus money politics.
Pada kesempatan lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pernah merilis temuan 600 dugaan politik uang pada Pilkada Serentak 2017. Dari temuan itu, politik uang terjadi di 101 daerah yang menggelar Pilkada.
Pada tahun berikutnya, Bawaslu juga mencatat, dari hasil pengawasan kampanye untuk Pilkada Serentak 2018, terdapat sedikitnya 118.882 pelanggaran kampanye yang di dalamnya terdapat indikasi money politics.
Selain itu, Bawaslu juga menemukan bentuk pelanggaran politik uang di Pilkada Belitung yang terjadi saat pemungutan suara, berupa pemberian uang sebesar Rp 300 ribu dengan pecahan uang Rp 50.000.
Kasus yang sama, menurut temuan Bawaslu, terjadi di sejumlah daerah, mulai dari Sulawesi Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Jika mengutip Amirudin dan Bisri dalam Pilkada Langsung: Problem dan Prospek, Pilkada langsung dalam era liberalisasi politik memberikan peluang lebih besar kepada para aktor dengan basis kepemilikan kapital ekonomi dan politik yang kuat.
Analisis Amirudin dan Bisri, meskipun tidak secara tegas menunjukkan modus operandi terjadinya politik uang, cukup membantu dalam membedah money politics dalam Pilkada langsung. Relasi ekonomi-politik menjadi titik pijakan penting dalam upaya memahami fenomena tersebut.
Adalah Vedi Hadiz, dalam pandangannya tentang dinamika oligarki di ranah lokal yang juga berhasil memberikan sebuah analisis komprehensif tentang bagaimana jejaring persekutuan bisnis-politik di balik fenomena politik uang bekerja cukup efektif dan masif.
Money Politics dan Kebuntuan Elektoral?
Upaya memecah jalan buntu politik uang di kontestasi elektoral telah banyak dilakukan. Sayangnya, hingga saat ini politik uang sama sekali tak bisa dihentikan.
Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari kesalahan mendiagnosis akar persoalannya, hingga kekeliruan memberikan resep prognosis itu sendiri.
Dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia, A Southeast Asia Perspective, Vedi Hadiz menyatakan, fenomena politik uang mengambil bentuk yang seragam dengan apa yang terjadi di Thailand dan Filipina semenjak kedua negara tersebut beralih dari rezim otoritariansime.
Dalam kasus Indonesia, menurut Hadiz, politik uang tidak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan pasca-Soeharto, seiring merebaknya cengkeraman oligarki terhadap lembaga-lembaga demokrasi di era desentralisasi kekuasaan.
Bahwa demokratisasi lokal yang dihembuskan di era reformasi dalam waktu bersamaan menyediakan trajektori baru bagi kekuatan oligarki membajak saluran demokrasi.
Implikasi dari dinamika tersebut membuat momentum politik elektoral, atau Pilkada langsung, menjadi ajang kontestasi oligarki meluaskan kekuasaan mereka.
Alhasil, Pilkada yang sejatinya merupakan momentum penting bagi perwujudan demokrasi (kedaulatan) rakyat, menjadi terdistorsi akibat maraknya politik uang yang di satu sisi menjadi kontraporduktif terhadap semangat demokratisasi.
Dalam konteks lebih luas, Pilkada langsung tidak lagi menempatkan rakyat (warga lokal) sebagai pemilik otetentik atas konsepsi kedaulatan, melainkan terjebak pada kedaulatan semu. Disebut demikian karena pada kenyataannya Pilkada hanya menjadi sarana formal bagi rotasi “kursi” kepala daerah, bukan ajang perwujudan kedaulatan politik rakyat.
Munculnya praktik politik uang, karenanya, merupakan imbas dari distorsi makna demokratisasi tersebut. Dampak dari pembajakan demokrasi di tangan kekuatan oligarki mensyaratkan biaya politik yang mahal melalui sebuah formulasi kebijakan/regulasi.
Pilkada dibuat sedemikan mahal agar menutup ruang bagi aktor non-oligarki ikut dalam arena kontestasi. Hal ini dapat dilacak dari penetapan waktu (durasi) kampanye yang menguras banyak anggaran, mekanisme kandidasi, rekrutmen politik internal partai, hingga akomodasi lainnya yang terbilang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Hal ini seperti diakui KPK dalam surveinya yang menyebutkan, 20 dari responden mengaku harus menggelontorkan biaya sebesar Rp 50-500 juta per satu kursi ke partai hanya untuk mendapatkan rekomendasi.
Temuan serupa lainnya yang tak kalah mengejutkan soal “mahar politik” ini pernah dipaparkan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), bahwa rata-rata anggaran yang dihabiskan untuk sebuah perhelatan Pilkada di tingkat kabupaten saja berkisar Rp 5 miliar hingga Rp 28 miliar. Sementara, pada tingkat provinsi angkanya lebih fantastis lagi, yakni mencapai Rp 60 miliar hingga Rp 78 miliar.
Biaya politik yang begitu tinggi tentu pada akhirnya mensyaratkan seorang calon kepala daerah harus memiliki akses lebih terhadap sumber-sumber pendanaan. Hal itu untuk menunjang biaya operasional selama kampanye hingga suksesi pemilihan.
Padahal, jika dikalkulasi, anggaran yang sedemikian besar tidak berbanding lurus dengan gaji dan tunjangan seorang kepala daerah yang hanya berkisar Rp 200 juta per bulan sebagaimana yang diungkapkan Mendagri Tito.
Artinya, jika asumsinya demikian, maka selama 5 tahun menjabat seorang kepala daerah hanya mampu meraih Rp 12 miliar dari pendapatannya sebagai kepala daerah. Jumlah itu tentu masih jauh dibandingkan biaya yang telah dikeluarkan.
Akhirnya orientasi untuk mencari uang tambahan untuk tutup modal menjadi sebuah keharusan bagi seorang kepala daerah terpilih. Inilah yang membuat praktik money politics dan korupsi sulit diputus.
Dengan demikian, memang argumentasi ini punya sisi pembenarannya sendiri. Persoalannya tinggal apakah masyarakat akan membiarkan hak politiknya diambil dengan alasan money politics semata? Karena bagaimanapun juga Pilkada langsung adalah salah satu cara demokrasi menjamin kekuasaan tetap ada di tangan rakyat. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.