Tak lama setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto sedang membaca sebuah buku berjudul How Democracies Die, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa demokrasi di Indonesia masih berkutat pada persoalan prosedural semata. Apakah pernyataan Mahfud tersebut merupakan sebuah pengakuan terhadap judul buku yang dibaca Anies?
“If there were a people of gods, it would govern itself democratically. So perfect a form of government is not for men” – Jean-Jacques Rousseau, filsuf, penulis, dan komposer.
Minggu pagi lalu, Gubenur DKI Jakarta, Anies Baswedan menggemparkan publik lewat postingan di akun Instagram pribadinya. Bukan karena kebijakan atau pernyataan yang Ia lontarkan, melainkan karena fotonya yang sedang bersantai sambil membaca buku.
Sekilas memang terlihat tak ada yang perlu diributkan dari postingan tersebut. Namun jika diperhatikan lebih detail, yang menjadi pusat perhatian adalah judul buku yang dibaca Anies, yakni How Democracies Die karya dua profesor dari Universitas Harvard, yakni Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Postingan tersebut tentu saja memantik tafsir dari publik dan sejumlah pengamat. Banyak yang melihat bahwa unggahan itu merupakan wujud sindiran halus kepada pemerintah.
Menariknya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sendiri beberapa waktu lalu mengakui kalau demokrasi di Indonesia hingga saat ini masih bersifat prosedural semata, atau belum memasuki demokrasi substansial. Hal itu disampaikan Mahfud saat meluncurkan buku capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Mahfud melontarkan kritik seputar kehidupan demokrasi. Beberapa waktu lalu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut juga pernah berkata bahwa demokrasi yang berkembang saat ini membuat posisi pemerintah menjadi serba salah.
Lalu pertanyaannya, apakah pernyataan Mahfud tersebut merupakan afirmasi terhadap judul buku yang dibaca Anies?
Demokrasi Hanya untuk Tuhan?
Dalam beberapa tahun terakhir, diskursus mengenai pudarnya nilai-nilai demokrasi memang gencar diperdebatkan. Tak hanya Levitsky dan Ziblatt, beberapa pemikir juga berpendapat demikian.
Francis Fukuyama, misalnya, mengatakan bahwa kebangkitan internet merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas demokrasi. Hal ini disebabkan karena internet khususnya media sosial merupakan pisau bermata dua yang dapat dimanfaatkan untuk mengamplifikasi nilai-nilai demokrasi, namun di saat yang sama bisa juga digunakan untuk memusuhi demokrasi itu sendiri.
Terlepas dari apa pun penyebabnya, tak dapat dipungkiri demokrasi memang merupakan konsep yang sangat rumit. Costica Bradatan dalam tulisannya di The New York Times bahkan sampai menyebut bahwa demokrasi hanya mampu dijalankan oleh Tuhan, sebab demokrasi adalah sesuatu yang langka dan sulit dicapai. Sekalipun tercapai, akan sangat rapuh.
Kendati demikian, Ia menilai bahwa gagasan inti demokrasi sebenarnya sangat sederhana, yakni sebagai anggota komunitas, kita harus memiliki suara yang sama tentang cara kita menjalani hidup bersama. Akan tetapi hal itu menjadi sangat rumit dikarenakan konsep tersebut dianggap bertentangan dengan sifat alamiah manusia.
Menurutnya, sifat dasar manusia memang tidak demokratis. Dia bahkan menyebut demokrasi sebagai sesuatu yang ‘unnatural’ bagi manusia.
Sebaliknya, hal yang paling natural bagi manusia, seperti halnya makhluk hidup lainnya, adalah berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Dan untuk tujuan itu, manusia kerap menegaskan diri, dan tanpa disadari, kejam terhadap orang lain. Manusia saling melangkahi, saling menggulingkan, atau bahkan saling menghancurkan jika perlu.
Inilah yang menurutnya menyebabkan kesetaraan suara dalam tatanan masyarakat tidak akan pernah terwujud, karena akan selalu ada pihak yang berusaha mengklaim lebih superior dari yang lain.
Atas dasar itu, Bradatan berkesimpulan bahwa pada kenyataannya demokrasi yang sesungguhnya memang sangat sulit ditemukan di dunia manusia. Oleh karenanya, ketika kita membicarakannya, pada dasarnya kita hanya mengacu pada cita-cita dan pandangan ideal yang jauh dari fakta sebenarnya.
The Iron Law of Oligarchy
Dalam konteks Indonesia, keberadaan oligarki kerap dipersalahkan sebagai biang terdegradasinya nilai-nilai demokrasi. Segelintir orang yang menguasai sebagian besar sumber daya inilah yang dituding membuat demokrasi di Indonesia yang semula bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi malah justru berjalan ke arah sebaliknya.
Pun begitu dengan judul buku yang dibaca Anies, sejumlah pengamat menilai buku tersebut ditujukan kepada kaum oligarki.
Kendati begitu, pernahkah kita bertanya dari mana asal para oligarki ini dan mengapa fenomena tersebut bisa muncul?
Fenomena kemunculan kaum oligarki ini pernah dijelaskan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Jerman-Italia, Robert Michels dalam sebuah konsep yang Ia namakan The Iron Law of Oligarchy.
Dalam pemikirannya itu, Ia menilai bahwa munculnya kaum oligarki ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang mengharuskan adanya kepemimpinan yang kompeten, otoritas terpusat, dan pembagian tugas dalam birokrasi profesional. Keharusan ini dengan sendirinya memunculkan kasta pemimpin yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan status yang lebih superior.
Dengan kemampuan lebih tersebut, dan dikombinasikan dengan sistem kontrol yang hierarkis, telah memungkinkan mereka untuk mendominasi keanggotaan yang lebih luas. Singkatnya, dapat dikatakan dalam setiap organisasi, termasuk yang paling demokratis sekali pun, pada akhirnya akan menyerah pada aturan yang dibuat oleh segelintir elite.
Dengan adanya kecenderungan tersebut, maka dapat dikatakan selama sistem organisasi masih bersifat demikian, maka sekeras apa pun suatu negara demokratis berusaha untuk mengeliminir mereka, para oligark merupakan fenomena yang akan selalu ada.
Kendati penurunan kualitas demokrasi dan kemunculan kaum oligarki merupakan dua fenomena yang bisa dibilang natural, namun komitmen suatu negara untuk mempertahankan nilai-nilainya tetaplah patut untuk dipertanyakan. Lantas sejauh apa sebenarnya komitmen pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terhadap nilai-nilai demokrasi?
Jokowi, The Middle-Class President
Jacqui Baker dalam tulisannya yang berjudul The Middle Class President menilai bahwa Jokowi adalah seorang pemimpin yang memiliki tendensi iliberal dan tak sabar dengan kompleksitas hukum dan ideologi. Ia menyebut hal ini tak bisa dilepaskan dari latar belakangnya yang berasal dari kalangan kelas menengah, bukan golongan elite.
Kendati reformasi telah menjadi salah satu slogan utama pemerintahannya, namun reformasi yang dimaksud lebih fokus pada pembenahan aspek-aspek ekonomi. Baker menilai pemerintahan Jokowi sama sekali tak memiliki fokus pada penguatan kualitas demokrasi di Indonesia.
Kemudian jika kita berkaca pada kebijakan-kebijakan Jokowi, asumsi yang dikemukakan Baker itu sepertinya memang benar adanya. Misalnya dalam pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) beberapa waktu lalu.
Kebisuan Jokowi dalam menanggapi kritik keras dari publik memang cukup mencerminkan ambisi developmentalismenya di bidang ekonomi, dan di saat yang sama mengisyaratkan ketidakpeduliannya dengan nilai-nilai demokrasi.
Pengamat Politik Pemerintahan, Fiko Onga pernah menyebut bahwa demokrasi tidaklah dirancang untuk efisiensi, melainkan demi pertanggungjawaban. Dengan kata lain, sebuah pemerintahan yang demokratis, mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator.
Maka dari itu, dalam negara demokrasi akan selalu muncul ketegangan dan pertentangan yang mensyaratkan ketekunan para penyelenggara negaranya agar demokrasi bisa berjalan optimal.
Ketekunan tersebut dinilai tak terlihat dari sosok Jokowi. Setidaknya itulah yang tercermin dari pernyataannya pada 2017 lalu yang justru menilai demokrasi di Indonesia terlalu kebablasan sehingga membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem.
Berangkat dari sini, setidaknya kita bisa menyimpulkan mengapa kehidupan demokrasi di Indonesia seolah menemui kebuntuan. Pertama, kerumitan dari konsep demokrasi itu sendiri. Kedua, komitmen dari pemerintahan Jokowi untuk membenahi agenda-agenda demokrasi dinilai masih minim.
Dari sini, maka kiranya kita bisa merespons pernyataan Mahfud bahwa sampai kapanpun, sepertinya demokrasi di Indonesia akan selalu berkutat pada persoalan prosedural tanpa pernah menyentuh persoalan yang lebih substansial. Sehingga, pernyataan tersebut bisa saja dianggap sebagai afirmasi terhadap judul buku yang dibaca oleh Anies.
Bagaimana pun, sekelumit ulasan tersebut merupakan analisis teoretis semata yang masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Namun yang jelas, betapapun rumitnya konsep demokrasi itu diterapkan, janganlah hal itu sampai menyurutkan semangat kita sebagai suatu entitas bangsa dalam mematangkan nilai-nilai tersebut. Bagaimana dinamika kehidupan demokrasi ke depan, tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.