Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad tampaknya berani melawan Amerika Serikat (AS) terkait Perang Dagangnya dengan Tiongkok. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Perang Dagang ini.
PinterPolitik.com
“Sneak diss you just to make a bill. Now the world won’t take you serious” – A$AP Rocky, penyanyi rap asal AS
Dalam sebuah konferensi bertemakan “Masa Depan Asia” yang disponsori oleh Nikkei di Jepang, Mahathir menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan pemerintahan Donald Trump yang memboikot perusahaan teknologi dan komunikasi asal Tiongkok, Huawei.
Sebelumnya, pemerintah AS memberlakukan peraturan yang melarang penggunaan berbagai teknologi yang diproduksi oleh Huawei atas dasar dugaan ancaman keamanan. Pemerintahan Trump menilai perangkat-perangkat yang diproduksi oleh Huawei merupakan instrumen bagi upaya spionase militer Tiongkok.
Guna merespons kebijakan tersebut, berbagai perusahaan besar di AS dan beberapa negara Barat – termasuk Jepang – mulai memutus kerja sama yang dilakukan dengan Huawei. Google misalnya, mencabut izin penggunaan sistem operasi Android dari perusahaan asal Shenzen tersebut.
Melihat langkah AS yang mulai diikuti berbagai negara, Mahathir kukuh tetap akan menggunakan teknologi-teknologi Huawei yang dianggapnya sangat canggih. Dengan alasan tersebut, sang PM menekankan bahwa Malaysia tidak akan mengikuti langkah AS dan negara-negara sekutunya untuk memboikot Huawei.
“Yes, China is exporting a lot but you were threatened by China when it's poor, you're also threatened by China when it is rich. What should they do?” Mahathir wants to be China’s best mate all of a sudden https://t.co/xj6f681SCl
— Max Walden (@maxwalden_) May 30, 2019
Mahathir menilai pemberlakuan larangan tersebut menunjukkan kemunafikan AS dan negara-negara Barat. Ia juga menyinggung soal keputusan Tiongkok dan Malaysia yang tidak memboikot AS meskipun badan intelijen negara tersebut – Central Intelligence Agency (CIA) – juga melakukan spionase.
Setelah mengkritik langkah AS terkait Huawei, PM tertua di dunia tersebut mulai membahas dinamika geopolitik antara AS-Tiongkok di kawasan Laut China Selatan. Ia menyebutkan bahwa diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) yang dilakukan AS di laut tersebut merupakan hal yang usang dan bukan menjadi solusi untuk isu sengketa yang juga melibatkan negaranya tersebut karena dapat menjadi pemicu terjadinya perang.
Masih berhubungan dengan situasi geopolitik yang memanas di Indo-Pasifik, Mahathir juga meminta semua pihak untuk legowo apabila AS tidak lagi dapat menjadi negara yang paling berkuasa di dunia. Baginya, Tiongkok tetap akan menjadi negara yang kuat di dunia, baik suka maupun tidak suka.
Pernyataan Mahathir yang kontroversial tersebut pun menuai beberapa pertanyaan. Mengapa Mahathir yang dulunya dianggap anti-Tiongkok kini membela negara tersebut? Lalu, apakah Jokowi berani mengikuti langkah Mahathir tersebut?
Mahathir sang Pemberontak
Retorika yang dikeluarkan oleh Mahathir di Jepang tersebut bisa jadi merupakan arah dari politik luar negeri Malaysia di tengah Perang Dagang antara AS dan Tiongkok. Dalam perumusan kebijakan dan politik luar negeri, Mahathir sebagai PM tentu perlu mempertimbangkan berbagai aspek.
Upaya mempertimbangkan berbagai aspek yang dilakukan oleh pemerintah dalam memutuskan kebijakan luar negeri tersebut bisa dijelaskan dengan teori permainan dua tingkat (two-level game theory) milik Robert D. Putnam. Teori tersebut menjelaskan bahwa pemerintah perlu melakukan negosiasi dalam dua tingkatan berbeda dalam menentukan kebijakan luar negeri, yaitu tingkat domestik dan tingkat internasional.
Menurut Putnam, pejabat eksekutif pusat memiliki peran untuk melakukan mediasi atas tekanan-tekanan yang terjadi di tingkat domestik dan internasional. Pejabat ini akan berperan sebagai pemain yang berusaha mempertemukan dua tingkat tersebut.
Bila kita tilik kembali pada keadaan domestik Malaysia, proporsi kelompok etnis Tionghoa di negara ini memang menunjukkan porsi yang cukup besar, yaitu kelompok terbesar kedua setelah kelompok Bumiputera (Melayu). Dari jumlah populasinya pada tahun 2018 sebanyak 32,4 juta jiwa, sekitar 6,69 juta (23 persen) di antaranya tergolong dalam kelompok Tionghoa.
Bisa jadi, proporsi etnis Tionghoa yang cukup besar turut memengaruhi politik luar negeri Mahathir. Menurut Youly Diamanti-Karanou, kehadiran diaspora – kelompok etnis atau nasional yang tersebar di berbagai negara yang berbeda – dalam suatu negara dapat memengaruhi politik domestik dan internasional terkait isu dan kepentingan kelompoknya.
Kepentingan kelompok tersebut bisa jadi semakin dipertimbangkan dengan pengaruh ekonomi yang cukup besar. Sebagian besar kelompok etnis Tionghoa di Malaysia memiliki penghasilan lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Bahkan, individu-individu Tionghoa-Malaysia menyumbangkan delapan nama dari sepuluh orang terkaya di negara tersebut.
Bukan hal yang aneh apabila backlash datang dari kelompok etnis lainnya dan berujung pada meningkatnya sentimen anti-Tiongkok di Malaysia. Bahkan, isu identitas ini memiliki resonansi dengan janji Mahathir untuk merevisi ulang kerja sama investasi Malaysia-Tiongkok sebelum Pemilihan Raya beberapa waktu lalu.
Selain itu, dalam sejarahnya, sosok Mahathir memang dikenal sebagai pemimpin yang berpemikiran anti-Barat. Pemikiran inilah yang mendasari tindakan Mahathir yang menuduh pihak asing sebagai manipulator nilai uang dan memutuskan untuk mengurangi perdagangan valuta asing ketika krisis finansial 1997-1998 terjadi di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.
Sementara, dalam tingkat internasional, Mahathir bisa jadi sedang bergulat dengan kepentingan-kepentingan Tiongkok dan AS. Di satu sisi, Malaysia merasa terancam dengan klaim negara panda tersebut atas sebagian wilayahnya di Laut China Selatan. Namun, di sisi lain, AS di bawah kepresidenan Trump tidak memberikan jaminan yang jelas atas situasi kawasan yang memanas meskipun Malaysia-AS memiliki sejarah panjang dalam kerja sama pertahanan.
Mungkin, pembelaan Mahathir terhadap Tiongkok merupakan bentuk bandwagoning – memihak pada kekuatan yang lebih besar – demi kepentingan Malaysia itu sendiri. Bila kita perhatikan kembali retorika Mahathir di Jepang tersebut, Malaysia disebutnya sangat menghindari kemungkinan terjadinya konflik di kawasan tersebut.
Pernyataan kepentingan Malaysia oleh Mahathir tersebut juga senada dengan doktrinnya yang menginginkan Laut China Selatan untuk menjadi wilayah kerja sama, konektivitas, dan pembangunan komunitas, bukan untuk konfrontasi dan konflik. Doktrin Mahathir juga menekankan pada cara-cara diplomatis dalam penyelesaian sengketa di Asia Timur.
Tendensi konfrontatif yang digalakkan oleh AS memang bisa jadi sangat berisiko bagi kepentingan ekonomi siapapun di Laut China Selatan, termasuk Malaysia. Negara tersebut memperoleh keuntungan perdagangan sebesar 3,16 persen dari total nilai perdagangan laut tersebut yang dapat mencapai Rp 76.029 triliun pada tahun 2010, atau sekitar Rp 2.402 triliun.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, wajar apabila Mahathir memutuskan untuk mengeluarkan retorika yang disinyalir menjadi arah politik luar negeri Malaysia terkait Huawei dan Perang Dagang AS-Tiongkok.
Jika Mahathir mampu melakukan mediasi atas berbagai kepentingan domestik dan internasional terkait posisi Malaysia, apakah Jokowi juga mampu mentranslasikan kebijakan luar negerinya secara jelas seperti Mahathir? Bagaimana kondisi domestik dan internasional memengaruhi arah politik luar negeri Jokowi?
Jokowi Dilema?
Dengan menggunakan teori permainan dua tingkat, Jokowi juga perlu mengkonsolidasikan kepentingan berbagai pihak terkait arah politik luar negerinya. Apalagi, Indonesia juga memiliki peran penting sebagai pemimpin natural bagi Association of South East Asian Nations (ASEAN).
Dalam tingkat domestik, hampir sama dengan Malaysia, diaspora Tionghoa-Indonesia juga memiliki pengaruh ekonomi yang cukup besar. Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai penguasaan ekonomi Indonesia oleh kelompok ini, Christian Chua dari University of Frankfurt menjelaskan bahwa setidaknya setengah dari miliarder Indonesia tergolong dalam etnis Tionghoa.
Selain itu, Chua juga menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, taipan Tionghoa memang memiliki hubungan patronasi dengan para politisi, seperti Soeharto. Namun, taipan-taipan Tionghoa ini memiliki kebebasan dan dapat memiliki kekuasaan tersendiri setelah Reformasi 1998 digulirkan.
Bisa jadi, besarnya pengaruh ekonomi kelompok Tionghoa-Indonesia turut mendorong arah kebijakan luar negeri Jokowi yang memang dianggap cenderung pro-Tiongkok guna memenuhi kepentingannya. Grup Sinarmas – didirikan oleh taipan Eka Tjipta Widjaja – misalnya, memiliki nilai investasi yang cukup besar di sebuah perusahaan Tiongkok, Suzhou Industrial Park.
Namun, Jokowi mungkin perlu berhati-hati dalam menjalankan politik pro-Tiongkoknya. Besarnya pengaruh ekonomi individu-individu etnis Tionghoa juga menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan berujung pada meningkatnya sentimen anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok.
Kecilnya komposisi etnis Tionghoa di Indonesia juga semakin memberikan prakondisi bagi peningkatan sentimen anti-Tionghoa di Indonesia. Bahkan, sentimen tersebut dapat berujung pada tindakan diskriminatif tertentu, seperti kasus kriminalisasi Meiliana yang berujung pada pembakaran vihara dan klenteng di Tanjung Balai.
Oleh sebab itu, kebijakan pro-Tiongkok Jokowi bisa jadi tidak akan dinyatakan secara gamblang di publik seperti yang dilakukan oleh Mahathir. Tekanan domestik yang cukup kuat bisa jadi membuat Jokowi mempertimbangkan tindakan serupa.
Namun, Jokowi sendiri perlu memenuhi kepentingan konstituennya yang menginginkan Mantan Wali Kota Solo itu untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur yang nantinya juga membutuhkan dana pinjaman dari Tiongkok. Beberapa proyek infrastruktur pun masih sedang dalam pembangunan, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Selain itu, dalam sejarahnya, Jokowi tidak pernah mengkritik langsung hegemoni AS. Selama ia menjabat, Mantan Wali Kota Solo tersebut hanya beberapa kali menyindir Presiden Trump dengan referensi-referensi budaya populer dalam beberapa kesempatan.
Terlepas dari adanya norma dan prinsip politik luar negeri “bebas aktif” Indonesia, Jokowi sendiri tampaknya juga masih memerlukan baik Tiongkok maupun AS. Tiongkok diperlukan Jokowi untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan infrastruktur dan ekonominya, sementara AS mungkin masih diperlukan untuk mengamankan posisinya sebagai presiden terpilih dalam Pilpres 2019 lalu.
Lemahnya pertahanan Indonesia bisa saja menjadi faktor lain bagi bergantungnya Jokowi terhadap AS. Hal ini terefleksikan dalam rencana pemerintahan Jokowi untuk membeli beberapa unit pesawat tempur dari negeri Paman Sam tersebut.
Selain itu, besarnya pengaruh dan kekuatan militer AS bisa juga menjadi pertimbangan lain bagi Jokowi. Negeri Paman Sam itu memiliki beberapa pangkalan militer di sekitar wilayah Indonesia, seperti di Filipina dan Thailand. Personel militernya juga terdapat di Australia, seperti di Darwin yang berada tepat di selatan Indonesia.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Jokowi jelas memiliki dilema tersendiri. Di satu sisi, Tiongkok merupakan mitra ekonomi yang penting baginya, sementara di sisi lain, AS yang disebut-sebut sempat geram terhadap Jokowi memiliki pengaruh tertentu terhadap Indonesia.
Namun, meskipun tetap perlu mengakomodir kepentingan AS, Jokowi kemungkinan besar akan memiliki arah politik luar negeri yang mirip dengan Mahathir – walaupun tak akan frontal – terkait kepentingannya yang sejalan dengan Tiongkok, seperti Belt and Road Initiative (BRI). Pada akhirnya, lirik rapper A$AP Rocky menjadi relevan. Sang presiden hanya bisa menyindir secara tersembunyi seperti pernah yang dilakukannya. Entah benar atau tidak, Jokowi akan melakukannya kembali di kemudian hari. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)