Mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad beberapa waktu yang lalu memuji Indonesia dan mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pantas menjadi pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Apa yang membuat Mahathir berpikir demikian?
Mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Mahathir Mohamad mungkin adalah salah satu tokoh politik yang paling dipandang di kawasan Asia Tenggara saat ini. Dari segi pengalaman, tidak banyak politisi lain yang sebanding dengan Mahathir.
Ia pernah menjabat sebagai PM Malaysia selama 22 tahun dari 1983 sampai 2003, dan terpilih kembali untuk kedua kalinya pada tahun 2018 sampai 2020. Secara kumulatif, Mahathir pernah memimpin pemerintahan Malaysia selama 24 tahun, ini menjadikannya sebagai PM dengan periode kerja terlama di Malaysia.
Baru-baru ini, pria kelahiran tahun 1925 tersebut melontarkan pernyataan yang cukup menarik dalam sebuah wawancara dengan media SEA Today. Mahathir mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, Indonesia telah berkembang menjadi negara yang lebih baik dari Malaysia, karena menurutnya Indonesia telah mampu menempatkan berbagai urusan politik sesuai dengan porsi yang dibutuhkan.
Tetapi Mahathir tidak menitikberatkan argumen keunggulan Indonesia dibanding Malaysia secara spesifik, lebih lanjutnya ia justru lebih fokus memberikan pujian terhadap aktivitas diplomasi Indonesia yang menurutnya akhir-akhir ini sangat aktif dalam kancah internasional.
Selain itu, yang tidak kalah menarik juga adalah Mahathir menyebutkan Indonesia saat ini memiliki kesempatan yang besar untuk memimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) karena menurutnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki kualitas yang bagus untuk bisa menjadi pemimpin ASEAN, layaknya mantan Presiden Suharto dulu.
Lantas, mengapa Mahathir tiba-tiba memuji Indonesia dan mendorong Jokowi agar menjadi pemimpin ASEAN?
Baca juga: Jokowi dan Dua “Kubu” ASEAN
Membaca Pemikiran Mahathir
Untuk membenarkan apa yang dikatakan Mahathir tentang kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN, menurut hemat penulis, tampaknya tidak mudah karena saat ini ASEAN sendiri memiliki beberapa permasalahan yang belum menemukan solusi, meskipun Indonesia sudah cukup vokal dalam menyuarakannya.
Salah satunya adalah perseteruan mengenai junta militer Myanmar. Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia telah berusaha membantu meredam represi militer dengan menegaskan dan mendorong pengaplikasian agenda perdamaian five-point consensus (FPC).
Namun, sampai sekarang ide ini tidak efektif, malahan kasus Myanmar tampak semakin menimbulkan ketidak sepahaman antara anggota ASEAN terkait posisi politik masing-masing negara, karena setelah menerima giliran menjadi ketua ASEAN untuk 2022, Kamboja justru berniat mengundang junta Myanmar ke dalam agenda-agenda ASEAN, kembali memecah kesepahaman politik di kawasan ini.
Lalu, mengapa Mahathir dengan percaya diri mengatakan Indonesia dan Jokowi bisa menjadi pemimpin ASEAN?
Well, untuk mengetahui alasan sesungguhnya, kita perlu mengulik alur pemikiran politik internasional Mahathir. Tentunya yang berkaitan dengan visinya terhadap ASEAN.
Pertama, kita bisa melihat apa yang diyakini Mahathir dalam bukunya The Malay Dilemma. Di dalamnya, Mahathir mengemukakan pandangannya tentang orang Melayu yang selalu “tertinggal” secara ekonomi dibanding etnis-etnis pendatang, yang kemudian menjadi pebisnis dominan di tanah Melayu yang seharusnya dikuasai oleh orang Melayu itu sendiri.
Di dalam buku ini Mahathir menekankan kekhawatirannya akan pengaruh kekuasaan ekonomi asing, yang salah satunya datang dari kalangan pebisnis asal Tiongkok. Mahathir mengusulkan kebijakan tindakan afirmatif sebagai solusi yang dapat meredam penindasan kapitalis asing menuju Malaysia yang harmonis dan terintegrasi, serta mengalihkan konsentrasi kekuatan politik dan ekonomi ke tangan orang Melayu.
Inilah alasan mengapa Mahathir berulang kali menyampaikan bahwa Malaysia harus menolak infiltrasi bisnis yang sudah berlebihan dari Tiongkok, seperti program Belt and Road Initiative (BRI). Demi menyelamatkan negaranya dari jebakan utang Tiongkok, ketika dirinya menjabat sebagai PM untuk kedua kalinya, ia membatalkan proyek East Coast Rail Link (ECRL) dan proyek pipa gas alam di wilayah Sabah dari Tiongkok.
Namun ambisi politik Mahathir terpaksa berhenti ketika dirinya merasa harus mengundurkan diri dari jabatan PM Malaysia pada tahun 2020. Pengunduran diri tersebut terjadi setelah adanya pergolakan internal di koalisi partai politik pengusung Mahathir, Pakatan Harapan.
Filosofi politik internasional Mahathir juga bisa kita pahami dengan berkaca kembali pada Mahathir Doctrine atau doktrin politik Mahathir. Menurut profesor hubungan internasional dari Universitas Malaya, Muhammad Danial bin Azman, dalam tulisannya ‘Mahathir Doctrine’: Avoiding Conflicts in the South China Sea, doktrin ini diambil dari kebijakan luar negeri Mahathir yang selalu berusaha menjaga keseimbangan kekuatan antara negara besar Timur dan Barat di Asia Tenggara.
Pada dasarnya, doktrin ini menekankan agar kepentingan ekonomi politik Malaysia tidak mudah diacak-acak ketika berhadapan dengan narasi yang bertentangan dari Amerika Serikat (AS) ataupun Tiongkok. Hubungan dengan negara-negara besar memang harus terjalin, tetapi kepentingan negara kecil yang identik dengan negara di Asia Tenggara harus tetap dihormati, dilindungi, dan terpenuhi.
Lebih lanjut, Danial menilai bahwa dari tahun 2003 sampai 2018, ketergantungan ekonomi Malaysia pada Tiongkok semakin meningkat, contohnya dengan masuknya sejumlah proyek BRI Tiongkok. Oleh karena itu, sejak Mahathir kembali menjabat sebagai PM, ia melakukan manuver politik yang dapat mengurangi ketergantungan ekonomi Malaysia pada Tiongkok, dengan cara meningkatkan keterlibatan dengan negara kubu Barat seperti Jepang.
Gestur politik yang menarik dari Mahathir juga bisa kita lihat ketika ia memberi dukungan pada Presiden AS, Joe Biden setelah memenangkan Pilpres AS. Dinilainya, Biden bisa lebih mengerti Asia Tenggara dibandingkan Donald Trump, dan bisa menghentikan perang dagang dengan Tiongkok.
Pandangan Mahathir tentang pentingnya peran Barat untuk menyeimbangkan kekuatan di Laut Tiongkok Selatan (LTS) kemudian bersinggungan kuat dengan harapannya pada Jokowi sebagai pemimpin ASEAN.
Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa setelah Biden terpilih sebagai Presiden AS, Indonesia memang tampak semakin mesra dengan negeri Paman Sam.
Buktinya bisa kita lihat sejumlah interaksi diplomatik, seperti kunjungan kerja sama Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Anthony Blinken ke Indonesia pada awal Desember lalu, kemudian pelatihan militer Garuda Shield, dan rencana membeli jet tempur F-15 EX dari AS.
Lalu, apa yang diharapkan Mahathir dari kepemimpinan Indonesia dan Jokowi?
Baca juga: Waktunya Indonesia-Malaysia “Rujuk”?
okowi Harapan Mahathir?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Burapha, Pattharapong Rattanasevee dalam tulisannya Why Indonesia Should Take a Leading Role in ASEAN, mengatakan bahwa kepemimpinan Indonesia di ASEAN sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan yang perlu diwujudkan.
Ini diambil dari kenyataan bahwa dalam setiap interaksi tawar-menawar internasional, daya jual suatu organisasi kawasan akan selalu dipandang dari kekuatan struktural yang berasal dari kapasitas material, kepemilikan sumber daya, ukuran teritori, populasi, dan ekonomi. Di kawasan ASEAN, semua kriteria itu mayoritas dipengaruhi oleh Indonesia.
Oleh karena itu Rattanasevee menilai, pengembangan ASEAN akan terus dibentuk berdasarkan perkembangan ekonomi politik Indonesia. Indonesia akan memberikan unsur penting dalam membangun kepercayaan dan kredibilitas, serta meningkatkan pengejaran kepemimpinan di ASEAN.
Baca juga: Saatnya Jokowi ‘Pimpin’ ASEAN
Selain itu, karena kebanyakan negara ASEAN masih memandang nilai otoritarianisme, ada sebuah keunikan yang tidak dimiliki organisasi kawasan lain, Rattanasevee menyebutnya faktor charismatic leadership. Dari sejarahnya, negara yang bisa memimpin ASEAN adalah negara dengan pemimpin yang karismatik, contohnya seperti Lee Kuan Yew, Mahathir Mohamad, dan Suharto.
Itu barang kali adalah alasan mengapa Mahathir menginginkan Jokowi memiliki kualitas pemimpin yang setara dengan Suharto, karena dinilainya ASEAN tidak hanya membutuhkan negara yang kuat untuk jadi pemimpin, tetapi juga sosok kepala negara yang karismatik.
Di sisi lain, tampaknya ada satu pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Mahathir tidak berharap pada Malaysia sendiri?
Well, melihat teori buck-passing dari ilmuwan politik John Mearsheimer, sangat lumrah bila ada negara yang terlihat melemparkan kepercayaan pada negara lain untuk bertanggung jawab atas suatu permasalahan yang mereka hadapi bersama. Mearsheimer mengatakan, strategi ini sering digunakan dalam politik kekuasaan ketika suatu negara menolak untuk berkonfrontasi secara langsung dengan negara agresor.
Fenomena ini bisa dimunculkan oleh beberapa alasan, seperti ketidak siapan, atau memang negara yang diandalkannya dinilai lebih bisa diandalkan dalam berperan menghalau ancaman asing yang dapat mengancam keamanannya.
Mearsheimer juga menambahkan, buck-passing dapat menggeser keseimbangan kekuatan di kawasan sehingga menguntungkan negara yang melemparkan kepercayaan. Ini ia contohkan dari Perang Dunia 2, di mana Sekutu pada saat itu membiarkan Nazi Jerman berperang melawan Uni Soviet. Ujung-ujungnya, strategi ini sangat menguntungkan AS dan Inggris karena Jerman dibuat menghabiskan waktu dan tenaga.
Dengan begitu, barang kali yang ada di benak Mahathir ketika ia mendorong Jokowi untuk memimpin ASEAN tidak hanya dari konteks keberlangsungan persatuan ASEAN itu sendiri, tetapi juga dimotivasi oleh krisis eksistensial Malaysia di tengah terpaan persaingan kepentingan AS dan Tiongkok yang tidak kunjung mereda.
Pada akhirnya, Jokowi harus melihat pesan yang disampaikan Mahathir sebagai suatu pertanda. Mungkin, inilah saat yang tepat bagi mantan Gubernur Jakarta tersebut untuk lebih termotivasi menjadi pemimpin internasional? (D74)
Baca juga: Jokowi dan Mimpi Konglomerat ‘Baru’