Site icon PinterPolitik.com

Mahathir Effect: Generasi Tua, Sudahlah!

Mahathir Effect: Generasi Tua, Sudahlah!

PinterPolitik (Y14)

Akibat Mahathir Effect, banyak elit politik tanah air mulai ikut-ikutan ingin kembali berkuasa. Politik Indonesia masih terbelenggu gerontocracy?


PinterPolitik.com

“Setiap generasi membayangkan diri mereka lebih pandai dibanding generasi sebelumnya dan lebih bijak dari generasi selanjutnya.” ~ George Orwell

[dropcap]B[/dropcap]agi kritikus dan juga penulis novel asal Inggris George Orwell, atau yang bernama asli Eric Arthur Blair, sangat wajar bila setiap generasi memandang dirinya lebih baik dari generasi selanjutnya. Namun sebenarnya, bukan atas alasan ini Mahathir Muhammad yang telah berusia 93 tahun memilih kembali menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia.

Pemilu di Negeri Jiran lalu memang begitu fenomenal. Setelah mengundurkan diri di tahun 2003, Mahathir yang telah menjabat sebagai PM Malaysia selama 22 tahun, ternyata masih mendapatkan kepercayaan mayoritas rakyatnya sehingga mampu menggulingkan pemerintahan korup Najib Rajak.

Di tanah air, kemenangan Mahathir ini kemudian dijadikan sebagai momentum bagi para politisi agar dapat mendulang keberuntungan yang sama. Awalnya, momen ini dijadikan partai oposisi, Gerindra, sebagai pendorong semangat dan kepercayaan diri ketua umumnya, Prabowo Subianto.

Namun ternyata momentum ini juga dipergunakan oleh beberapa elit politik dari partai lainnya untuk menjaring kesempatan yang sama, sebut saja Amien Rais. Pendiri PAN ini bahkan terang-terangan mengaku terinspirasi dengan kemenangan Mahathir, sehingga dengan lantang pun ia menyatakan akan maju sebagai capres di Pilpres tahun depan.

Upaya mendulang keberuntungan, dengan mengusung politikus senior pun dilakukan oleh Partai Demokrat. Setelah kesempatan mengusung kembali Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil presiden untuk ketiga kalinya dibungkam Mahkamah Konstitusi, Partai Biru ini pun mengambil kesempatan tersebut dengan mengusung JK sebagai capres.

Tingginya elektabilitas JK dalam berbagai survei calon wakil presiden, diyakini Demokrat akan mampu mendongkrak popularitas Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Memasangkan tokoh senior seperti JK dengan AHY yang masih baru di dunia perpolitikan, diakui memang kombinasi yang tidak biasa.

Selain Amien dan JK, sebelumnya nama Megawati Soekarnoputri juga sempat disebut-sebut memiliki kesempatan untuk menjajal kembali peruntungannya di Pilpres mendatang. Namun sepertinya, Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut tidak termakan isu dan menyatakan tetap konsisten akan memenangkan Jokowi kembali.

Walau dalam demokrasi para elit politik sepuh tersebut memiliki hak untuk ikut bertarung di Pilpres mendatang, namun benarkah yang mereka lakukan sama dengan yang Mahathir perjuangkan di negaranya? Ataukah para elit politik ini hanya sekedar ikut-ikutan semata dengan tujuan yang berbeda?

Mahathir Effect Hanyalah Mimicry

“Bahkan seseorang yang mampu mengimitasi suara Burung Bulbul sekalipun akan membuat kita kecewa, saat tahu kalau suara itu hanyalah tiruan, bukan aslinya.” ~ Immanuel Kant

Sejarah mencatat, Immanuel Kant merupakan salah satu filsuf modern yang terkenal dengan pemikirannya yang rasional dan berdasarkan pengalaman empiris. Penemu hipotesa Nebula asal Jerman ini, percaya kalau segala yang sifatnya imitasi tak akan mampu menyamai keaslian yang diimitasinya.

Berangkat dari kutipan Kant ini, maka sebenarnya upaya Amien dan JK hanyalah sekedar peniruan atau mimicry. Apalagi menurut Homi K. Bhabha dalam buku Cultural Diversity and Cultural Differences, mimicry hanyalah hasrat seseorang menjadi orang lain yang hampir sama, walau pada dasarnya tidak sepenuhnya sama.

Kemenangan kembali Mahathir Muhammad sebagai PM Malaysia memang cukup mengagetkan, mengingat usianya yang telah begitu sepuh. Namun kembalinya Mahathir ke panggung politik, sebenarnya diakibatkan adanya urgensi demokrasi di negara Jiran tersebut, yaitu menumbangkan kekuasaan korup Najib Rajak.

Banyak pihak menganggap, dukungan mayoritas masyarakat pada Mahathir lebih pada adanya “musuh bersama”. Andai saja Pemerintahan Najib tidak korup, bisa jadi Mahathir pun tidak akan dapat memenangkan pemilu lalu. Sayangnya, di tanah air, kesan tersebut dibiaskan hanya dari segi usia dan kesempatan kembali berkuasa semata.

Padahal kembalinya Mahathir ke dunia politik, berdasarkan Path-Goal Theory dari Robert House, merupakan cara masyarakat dan partai oposisi untuk mengembalikan demokrasi di negara tersebut. Sehingga, kemenangan Mahathir tak hanya karena faktor kharisma dan pengalaman saja, tapi juga kebutuhan transformasi negaranya.

Fakta ini memperlihatkan kalau hasrat Amien maupun JK sebagai capres, sebenarnya hanya sebatas memanfaatkan momentum saja, sebab dari tujuannya sendiri sangat berbeda. Apalagi, Mahathir sendiri telah menyatakan kalau pemerintahannya hanya sebatas transisi, karena nantinya tampuk kekuasaan akan ia berikan pada Anwar Ibrahim.

Genggaman Kekuasaan Gerontocracy

“Apa yang tidak lebih mulia atau berharga bagi negara, selain seseorang yang memberikan kesempatan untuk munculnya generasi baru?” ~  Marcus Tullius Cicero

Dalam sejarah Republik Romawi, Cicero merupakan politikus dengan latar belakang yang bersih. Berbeda dengan rekan sejawatnya, Matellus atau Hortensius, ia tidak berasal dari keluarga aristokrat atau nepotisme politik yang telah dilakukan secara turun temurun dalam setiap Pemilu.

Politikus yang bersih dan tidak terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seperti Cicero, di masa Orde Baru, tentu juga akan sulit didapati. Namun setelah reformasi, khususnya setelah undang-undang Pemilu diamandemen, politikus muda dengan track record bersih mulai bermunculan dan mendapat dukungan rakyat.

Munculnya para pemimpin muda yang visioner dan progresif pun, terbantu berkat pelaksanaan Pilkada dan Pilpres yang memungkinkan para pemimpin yang akan berkuasa dipilih langsung oleh rakyat. Hanya saja, kekuasaan partai politik di tanah air memang masih sangat dominan dalam lajunya demokrasi dan perpolitikan tanah air.

Fakta ini juga diperparah dengan masih mendominasinya elit dan oligark politik –umumnya berasal dari generasi tua – yang memiliki kekuasaan besar di partai politik. Bila merujuk pada pernyataan Sidanius dan Pratto dalam teori dominasi sosial, generasi tersebut disebut sebagai kelompok dominan atau superior di dunia perpolitikan.

Akibat dominasi kelompok superior inilah yang pada akhirnya menyebabkan perpolitikan tanah air, dikuasai atau dikontrol oleh para generasi tua atau yang disebut sebagai Gerontocracy. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Jean-Jacques Fazy pada 1828, di mana saat itu Prancis juga mengalami masalah yang sama.

Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah dalam blog pribadinya, pernah menyatakan kalau politik Indonesia masih dikuasai oleh yang disebut sebagai “generasi pertama politisi reformasi” yang sebagian besarnya telah berusia di atas 50 tahun. Berkuasanya para politikus inilah, yang sebenarnya menurut Eep harus mulai dilawan.


Di sisi lain, ia juga tak memungkiri kalau ada parpol yang bersedia melahirkan dan mengusung politisi lebih muda. Namun biasanya, pada pos-pos yang dianggap strategis, lebih dipercayakan pada “kalangan tua”. Sebut saja kasus Ridwan Kamil di Pilgub Jabar dan Emil Dardak di Pilgub Jatim yang ditolak PDIP, hanya karena lebih suka mengusung politikus yang ‘lebih tua’.

Ketika Ridwan Kamil dan Emil Dardak pada akhirnya – berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) – berhasil mengalahkan lawan-lawannya, membuktikan kalau terkadang parpol lah yang berusaha membatasi atau bahkan menutup kesempatan bagi generasi muda untuk maju dan menciptakan regenerasi politik yang dinamis.

Begitu pula dengan pencapresan Amien dan JK, walau dalam demokrasi sangat memungkinkan dan mampu memberikan alternatif pilihan di Pilpres mendatang, tapi apakah tidak lebih baik memberikan kesempatan atau elektabilitasnya pada politikus yang lebih muda?  Kembali seperti apa yang dikatakan oleh Cicero di atas, tidakkah lebih mulia bagi bangsa dan negara, bila memberi kesempatan bagi generasi selanjutnya? (R24)

Exit mobile version