Site icon PinterPolitik.com

Magic MPH, Mungkinkah Diterapkan Jokowi?

Magic MPH, Mungkinkah Diterapkan Jokowi

Presiden Jokowi (Foto: istimewa)

Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #15

Tiongkok berhasil mengeluarkan 850 juta penduduknya dari garis kemiskinan dengan menerapkan Magic MPH Formula – sebuah kombinasi kebijakan yang melibatkan meritokrasi, pragmatisme dan honesty atau kejujuran. Kini, dengan ancaman peningkatan jumlah angka penduduk miskin mencapai 3,6 juta jiwa akibat Covid-19, banyak pihak mulai menimbang-nimbang apakah Indonesia perlu bergerak menuju kebijakan serupa.


PinterPolitik.com

“But the story of China tells us that in poverty reduction, a mission impossible can become a mission possible, and this is why we need to spread the story about China to every corner.”

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Pandemi Covid-19 memang jadi seperti Kotak Pandora yang ketika dibuka melahirkan banyak masalah-masalah lain. Salah satunya adalah dampaknya terhadap sektor ekonomi, utamanya perekonomian individu dan keluarga.

Laporan terbaru dari yayasan Bill & Melinda Gates menyebutkan bahwa Covid-19 “menggagalkan” dan “menghilangkan” upaya pengentasan kemiskinan yang telah diupayakan selama 25 tahun terakhir. Yayasan yang didirikan oleh pendiri Microsoft, Bill Gates ini menyebutkan bahwa angka kemiskinan ekstrem meningkat hingga 7 persen akibat Covid-19.

Buat yang belum tahu, kemiskinan ekstrem alias extreme poverty adalah sebuah kondisi ketika masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi.

Kondisi ini bergantung pada pendapatan dan ketersediaan kebuuthan dasar – demikian menurut catatan yang dibuat Perseringkatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1995. Kini, kemiskinan ekstrem juga didefinisikan dengan mengacu pada pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional, yakni US$1,25 per hari atau sekitar Rp 18.492.

Artinya, peningkatan angka kemiskinan ekstrem ini adalah gambaran makin banyaknya orang yang akan mengalami kesulitan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Bill & Melinda Gates Foundation melacak kemajuan poin-poin pembangunan global yang digerakkan oleh PBB, seperti angka kemiskinan dan sistem kesehatan dalam satu tahun terakhir.

Dalam laporannya, yayasan itu mengatakan hampir semua indikator mengalami penurunan. Dalam 20 tahun terakhir secara berturut-turut, angka kemiskinan ekstrem selalu mengalami penurunan. Namun, akibat Covid-19, sekitar 40 juta orang diperkirakan akan kembali ke jurang kemiskinan ekstrem tersebut. Bahkan, di pekan pertama virus ini menyerang, diperkirakan 1 juta orang masuk ke jurang kemiskinan ekstrem tersebut.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan tulisan yang dibuat oleh Fisca Miswari Aulia dan Maliki dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta M. Niaz Asadullah dari University of Malaya, disebutkan bahwa peningkatan angka kemiskinan di Indonesia jika proyeksi pertumbuhan ekonomi 0 persen terjadi, maka ada sekitar 3,6 juta orang yang akan masuk ke kelompok penduduk miskin.

Jumlah ini berpotensi makin besar mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat mungkin berada di bawah 0 persen alias minus. Ini akan menambah daftar angka kemiskinan di Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyentuh angka 9,78 persen alias 26,42 juta jiwa pada Maret 2020 lalu.

Hal ini tentu akan menjadi masalah yang besar jika tidak ditangani dengan baik. Lalu, seperti apa akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani melihat persoalan ini?

Ancaman Kemiskinan Pasca Pandemi

Kemiskinan akan selalu jadi momok bagi pemerintah di banyak negara. Kapitalisme ekonomi yang masif memang pada akhirnya melahirkan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, sementara di negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sentralistik, korupsi dan kesewenang-wenangan menjadi momok utamanya. Dan oleh karenanya, seperti garis pemikiran kaum Keynesian, negara atau pemerintah sudah selayaknya menjadi kunci utama pemberantasan kemiskinan tersebut.

Dalam event online Vision China beberapa hari lalu, Kishore Mahbubani menyinggung proyek negara mengentaskan kemiskinan ini. Ia – seperti biasanya dengan konsepsi kebangkitan Asia yang didengung-dengungkannya – menunjuk Tiongkok sebagai contoh utama proyek pengentasan kemiskinan tersebut.

Negara Tirai Bambu ini disebutnya telah melakukan proyek yang ia sebut awalnya dianggap mission impossible alias misi yang tidak mungkin, untuk membawa 850 juta penduduknya keluar dari kemiskinan. Upaya ini terjadi dalam kurun waktu 40 tahun dan menjadi tonggak sejarah besar karena menghapus total 70 persen kemiskinan dari seluruh dunia. Ya, sekali lagi, dari seluruh dunia, bukan hanya dari negara tersebut saja.

Berbeda dengan konteks kemiskinan yang terjadi akibat kapitalisme ekonomi – katakanlah seperti yang terjadi  di Indonesia – masyarakat Tiongkok mengalami kemiskinan akibat kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa, mulai dari invasi asing, perang sipil, kelaparan, kekurangan fasilitas medis, akses terhadap pendidikan modern yang tidak memadai, pengangguran yang masif, dan lain sebagainya.

Para pemimpin negara tersebut seperti Deng Xiaoping, kemudian melihat kapitalisme ekonomi sebagai jalan keluarnya. Selama kurun 40 tahun terakhir, pemerintah Tiongkok telah melakukan kebijakan yang tepat untuk kepentingan masyarakatnya lewat formula yang oleh Mahbubani disebut sebagai Magic MPH Formula.

MPH sendiri merupakan kepanjangan dari meritocracy, pragmatism dan honesty – meritokrasi, pragmatisme dan kejujuran. Formula ini memungkinkan pemerintah Tiongkok sampai pada kebijakan ekonomi yang benar-benar menyentuh masyarakatnya sendiri dan membawa mereka keluar dari jurang kemiskinan. Ini bukan hanya terkait bagaimana sebuah kebijakan yang baik digariskan, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut dieksekusi.

Konteks meritokrasi misalnya, sangat terlihat dari bagaimana sekalipun pemerintahannya secara politik masih komunis-sosialis, namun memberikan ruang-ruang yang terbuka untuk persaingan individu di masyarakat untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Mahbubani menyebutkan bahwa banyak dari orang-orang terbaik dan tercerdas di Tiongkok bekerja untuk lembaga-lembaga di pemerintahan. Karena sentralisme kekuasaan, pemerintah memang bebas memilih orang-orang terbaik untuk duduk di pemerintahan. Akibatnya, setiap rumusan kebijakan akan selalu datang dari otak-otak yang brilian. Dengan demikian, peluang untuk kebijakan publik yang buruk menjadi sangat minim.

Kemudian konteks pragmatisme itu sendiri terlihat dari bagaimana Tiongkok menyerap semua hal dari seluruh dunia untuk kemudian diproses dan digunakan demi menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh negara tersebut. Deng Xiaoping misalnya, pragmatis ketika mengadopsi keterbukaan ekonomi dengan slogan terkenal: “Tak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus”.

Pragmatisme ini pula yang awalnya membuat Tiongkok dikenal sebagai negara “penjiplak” alias imitator, sebelum kemudian bertransformasi seperti sekarang sebagai negara yang terdepan dalam inovasi. Well, kita tahu brand seperti Xiaomi dulu dituduh sebagai penjiplak Apple. Tapi, sekarang Xiaomi adalah salah satu brand teknologi dengan inovasi paling banyak.

Sementara konteks honesty atau kejujuran bisa dilihat dari bagaimana pemerintah Tiongkok sangat tegas dalam pemberantasan korupsi. Hukumannya sangat berat dan efek jera yang ditimbulkan membuat semua orang takut untuk melakukan perbuatan tersebut. Ini membantu pemerintah menjamin pelaksanaan program dan kebijakan bisa terjadi tanpa gangguan penyelewengan yang dilakukan oleh aparatur negara dan stakeholder yang terlibat di dalamnya.

Formula MPH ini kemudian menjadi lengkap ketika pada tahun 2001 Tiongkok masuk menjadi anggota WTO dan sepenuhnya mengambil keuntungan dari ekonomi pasar bebas global. Ibaratnya sebuah kisah dongeng, the impossible akhirnya mendapatkan pemenuhannya.

Kini, dengan konteks peningkatan angka kemiskinan akibat Covid-19, mungkinkah Magic MPH Formula ala Tiongkok ini juga diterapkan di Indonesia?

Menanti Jokowi Belajar dari Tiongkok

Well, boleh dibilang idealnya, MPH ini memang menjadi resep utama negara seperti Indonesia untuk membawa 26,42 juta warganya keluar dari angka kemiskinan. Sayangnya, hal ini tidak mudah terjadi di negara ini.

Pasalnya, ada perbedaan kondisi sosial dan politik yang membuat MPH sulit untuk diterapkan, mulai dari konteks politik yang jauh lebih dinamis, masih adanya kekuatan oligarki politik yang jauh lebih kuat dibandingkan penguasa atau pemerintahan yang sah, dan lain sebagainya.

Akibatnya, meritokrasi tidak bisa dijalankan secara maksimal. Banyak anak-anak bangsa yang brilian justru bekerja untuk swasta ketimbang pemerintah. Meritokrasi juga terbentur oleh sistem yang tidak jujur dengan KKN yang mendarah daging hampir di mana-mana. Poin honesty dengan sendirinya menjadi gugur karena persoalan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi selalu berbenturan dengan masalah politik.

Sementara pragmatisme yang sebetulnya ada di diri Presiden Jokowi – demikian karakternya digambarkan oleh banyak scholar dari Australia – tampaknya tidak “menular” cepat ke para pengambil kebijakan yang lain.

Misalnya, kita terlalu sibuk berdebat tentang siapa yang Pancasilais, siapa yang komunis, siapa yang mendukung khilafah, dan lain sebagainya, sehingga melupakan hal-hal yang esensial dari pembuatan kebijakan publik yang efektif. Soal Covid-19 saja kita masih berdebat tentang bercanda atau serius, kesehatan atau ekonomi, dan lain sebagainya.

Akibatnya tak ada celah bagi kebijakan yang brilian dan tepat sasaran bisa muncul dari dalamnya.

Jika demikian, apakah terlambat bagi Indonesia di bawah Presiden Jokowi untuk belajar dari Tiongkok tentang hal ini?

Well, tentu saja tidak. Yang dibutuhkan adalah keinginan yang kuat untuk membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan. Jika semua bisa melihat sisi positif dari formula MPH yang disebut Mahbubani, bukan tidak mungkin negara ini akan lebih cepat mengeluarkan warganya dari jurang kemiskinan. (S13)

Exit mobile version