Nampaknya isu mafia atau kartel dalam perekonomian Indonesia tidak akan pernah selesai. Setelah hadir di sektor minyak dan gas bumi, sepak bola, hingga garam, kini mafia hadir dalam industri pelayaran Indonesia dalam bentuk monopoli pengiriman dan harga barang yang menggunakan transportasi laut. Hadirnya mafia ini berdampak besar karena menggangu Program Tol Laut milik pemerintah yang nampaknya membuat Jokowi marah.
PinterPolitik.com
Kekesalan Jokowi terlihat ketika ia menggelar rapat terbatas yang membahas program dan kegiatan di Bidang Kemaritiman dan Investasi. Di hadapan kabinetnya, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta tersebut menyebut adanya rute pelayaran yang dikuasai oleh perusahaan swasta.
Jokowi bahkan mencanangkan adanya intervensi dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menghadirkan kompetitor agar perusahaan tersebut memiliki pesaing dan mencegah terjadinya monopoli pelayaran.
Menanggapi adanya mafia pelayaran, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Kemaritiman dan Investasi), Luhur Binsar Pandjaitan berjanji akan mengerahkan berbagai lembaga, mulai dari Bea Cukai hingga TNI AL, untuk memeriksa dan menindak perusahaan yang melakukan monopoli.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya yang mengatakan akan menerbitkan aturan mengenai larangan monopoli.
Budi juga menambahkan bahwa monopoli terjadi dari Surabaya terhadap beberapa jalur pelayaran ke wilayah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.
Sebenarnya tahun lalu, Budi juga pernah menyebut adanya mafia logistik dan bahan baku di kota Waingapu, NTT.
Ketika itu ia menjelaskan bahwa mafia tersebut merupakan pedagang besar yang menggunakan koneksinya dengan pegawai Kemhub Surabaya agar barang yang diangkut dari Surabaya menuju Waingapu hanyalah barang miliknya.
Hal ini membuat sang pedagang dapat seenaknya menetapkan harga karena hanya barang miliknya-lah yang beredar di Waingapu.
Perusahaan “Bajak” Laut?
Praktik monopoli memang dilarang di Indonesia. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPM PUTS).
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa monopoli merupakan penguasaan atas produksi, pemasaran, atau penggunaan barang atau jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha tertentu.
Praktik ini menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan merugikan kepentingan umum karena satu pihak dapat menentukan harga, sementara masyarakat mau tidak mau harus menerimanya karena hanya barang atau jasa tersebut yang tersedia.
Kembali ke kasus mafia Tol Laut, baik Jokowi maupun Budi memang tidak menyebutkan perusahaan mana yang mereka maksud.
Namun, dalam sejarahnya, ada beberapa perusahaan pelayaran yang pernah terbukti melakukan monopoli pelayaran di Indonesia.
Kasus terbaru terjadi pada Mei 2019 lalu ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan bahwa empat perusahaan pelayaran melakukan pelanggaran terhadap UU LPM PUTS karena telah melakukan monopoli jasa pengiriman kontainer rute Surabaya-Ambon.
Empat perusahaan ini adalah PT Tanto Intim Line, PT Pelayaran Tempuran Emas, PT Meratus Lines, dan PT Salam Pacific Indonesia Lines.
KPPU pun kemudian mengharuskan keempat perusahan tersebut membayar total denda sebesar Rp 20 miliar.
Yang menarik adalah dari empat perusahaan diatas, tiga di antaranya yaitu PT Tanto Intim Line, PT Pelayaran Tempuran Emas, dan PT Meratus Line pada tahun 2003 juga pernah terbukti melakukan praktik monopoli oleh KPPU.
Pada kasus tersebut ada juga nama empat perusahaan lainnya, yaitu PT Jayakusuma Perdana Lines, PT Samudera Indonesia, PT Lumintu Sinar Perkasa, dan bahkan perusahaan milik pemerintah sendiri yaitu PT Djakarta Lloyd.
Tidak berhenti di situ, mafia pelayaran nampaknya juga hadir di jalur pelayaran ataupun perusahaan internasional.
Pada tahun 2016, KPPU pernah mencurigai adanya enam perusahaan perkapalan dan jasa kontainer asal Singapura yang diduga bersekongkol dalam menetapkan tarif angkut barang di jalur Batam-Singapura.
Mafia dan monopoli jasa pelayaran sendiri tidak hanya ada di Indonesia, tapi merupakan fenomena global yang juga dialami negara lain.
Pemerintah Australia misalnya, pada Agustus 2019 lalu menjatuhkan denda kurang lebih sebesar Rp 486 miliar kepada perusahaan asal Jepang, Kawasaki Kisen Kaisha, karena terlibat dalam praktik kartel terhadap biaya pengiriman kendaraan ke Australia.
Kemudian ada Uni Eropa yang awal tahun lalu menetapkan bahwa empat perusahaan dari Chile, Jepang, dan Norwegia melakukan praktik kartel dalam pengiriman kendaraan buatan Eropa.
Atas pelanggarannya tersebut keempat perusahaan diharuskan membayar denda sebesar kurang lebih Rp 6,2 triliun.
Gagalkan Tol Laut?
Tol Laut adalah program pemerintah untuk meningkatkan konektivitas laut Indonesia dengan beberapa cara seperti pembangunan infrastruktur pelabuhan, penambahan rute dan armada kapal, hingga pemberian subsidi.
Program yang dimulai pada tahun 2015 ini diharapkan dapat menurunkan disparitas alias perbedaan harga komoditas antar pulau dengan cara menekan biaya pengiriman logistik via laut.
Oleh karena itu, hadirnya praktik monopoli bertolak belakang dengan tujuan di atas karena program tol laut justru lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan pelayaran.
Dampak negatif praktik monopoli pelayaran dapat dilihat salah satunya di Ambon, di mana monopoli yang dilakukan empat perusahaan, yang dinyatakan bersalah oleh KPPU Mei lalu, menjadi penyebab terjadinya inflasi tinggi pada tahun 2017.
Perlu diketahui bahwa 40 persen harga produk di Indonesia dipengaruhi oleh biaya logistik yang 72 persennya merupakan biaya transportasi.
Kondisi inlah yang membuat kenaikan biaya transportasi, termasuk pengiriman via laut, secara otomatis juga akan diikuti dengan kenaikan harga barang.
Padahal, di luar permasalahan monopoli, banyak pihak sudah mengeluhkan masih mahalnya biaya pengiriman logistik via laut di Indonesia.
Hal ini salah satunya diungkapkan oleh mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang membandingkan bagaimana biaya pengiriman Surabaya-Makassar per-kontainernya dapat mencapai Rp 20 juta, sementara Surabaya-Singapura hanya Rp 2,8 juta.
Amerika Serikat (AS) mengklaim Huawei sebagai alat spionase pemerintah Tiongkok. Lalu, mengapa pemerintah mau bekerja sama dengan Huawei?https://t.co/yP9963I86O pic.twitter.com/z1qM4C1d78
Menurut Ketua KPPU Kurnia Toha, ada beberapa alasan mengapa praktik monopoli secara umum terjadi di Indonesia.
Pertama adalah denda terhadap pelaku monopoli yang masih sangat ringan, yaitu sekurang-kurangnya Rp 1 miliar dan maksimal Rp 25 miliar.
Kedua adalah terbatasnya kewenangan KPPU yang tidak memiliki wewenang untuk menyita, menggeledah, dan menangkap orang untuk mendapatkan bukti pelanggaran.
Untuk itulah KPPU mendorong pemerintah dan DPR untuk merevisi UU LPM PUTS guna menaikkan denda dan memperluas wewenang KPPU.
Namun, semenjak pergantian anggota DPR untuk periode 2019-2024, belum terdengar lagi bagaimana kelanjutan dari revisi UU LPM PUTS
Jika tidak segera ditangani, efek negatif dari praktik monopoli pelayaran dapat semakin besar, mengingat tiga tahun terakhir volume distribusi logistik melalui laut sudah meningkat 41 juta ton.
Kita lihat saja pakah Jokowi bersama Kabinet Indonesia Maju-nya bisa mengembalikan fungsi Tol Laut yang seharusnya menurunkan disparitas harga antar pulau dan menekan biaya transportasi, bukan sekedar jadi lahan cari untung pemilik perusahaan pelayaran. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.