“Revolusi bukanlah Chavez. Revolusi akan terjadi dengan atau tanpa dia, Chavez adalah suara bagi rakyat Venezuela, tetapi rakyat Venezuela-lah yang akan merubah negara ini. Kami mengikuti ide Simon Bolivar dan proyek gerakan Bolivarian di Amerika Selatan.” – Mercado, aktivis Lingkaran Bolivarian.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]eorang kawan menulis di Facebook dengan agak tendensius. Ia tidak hanya menunjukkan keberpihakannya kepada spectrum yang seringkali ia sebut sebagai sosialisme abad 21, tapi juga bagaimana politisi di Indonesia bisa diilhami oleh cara Nicolas Maduro – Presiden terpilih Venezuela – melawan imperalisme Barat.
Menurut dia, kemenangan Nicolas Maduro adalah indikasi bahwa kebijakan politik yang diusung Maduro terbukti ampuh. Tapi di lain pihak, tuduhan-tuduhan yang menjatuhkan Maduro, seperti lemahnya penerapan good governance hingga kondisi ekonomi yang amburadul juga masih mengemuka. Sementara bagi kubu oposisi, kemenangan politik Maduro yang telah berkuasa sejak 2013 lalu juga dinilai ilegal.
Lantas apa sebenarnya masalah yang terjadi di Venezuela? Bagaimana Maduro bisa menang di tengah resesi ekonomi yang melanda?
I add my voice to those around the world calling out the sham election in #Venezuela. The #Maduro regime’s attempt to validate their cruel repression of the Venezuelan people is a cynical and unprecedented abuse of power. I stand with the Venezuelan people! #20May #cdnpoli
— Michael Levitt, MP ?? (@LevittMichael) May 21, 2018
Saya harus bilang, untuk memahami kondisi Venezuela saat ini, penting untuk sedikit kembali ke belakang dan memahami bagaimana pemikiran sosialisme bisa berkembang di negara itu.
Adalah Simon Bolivar, inspirator politik bagi tokoh-tokoh sayap kiri di Amerika Latin, termasuk Hugo Chaves. Sebagai pejuang kemerdekaan, Simon Bolivar sangatlah anti terhadap kolonialisme dan perbudakan. Konsistensinya atas perjuangan pembebasan di Amerika Latin membuat Hugo Chaves terpikat dan ingin meneruskan gagasan-gagasan politiknya.
Pada 1998 melalui partai The Fifth Republic Movement (MVR) atau Gerakan Republik Kelima – yang merupakan transformasi dari kelompok politik progresif Moviento Bolivarian Revolucioner 200 (MBR 200) – Chavez secara resmi maju dalam pertarungan politik yang bersejarah di Venezuela. Saat reformasi terjadi di Indonesia, di saat yang sama starting point kelompok sayap kiri Venezuela mulai mengambil alih kebijakan politik negara.
Namun, hidup itu tak selalu indah. Impian Simon Bolivar nampak tak berjalan mulus. Krisis politik dan ekonomi yang melanda Venezuela adalah bukti jika negara ini masih perlu putar otak demi cita-cita sosialisme di Amerika Latin. Dinamika politik domestik memberikan keraguan tersendiri apakah negara ini mampu mengoreksi diri sendiri atau harus terus terperangkap dalam badai.
Hasil Pemilu 2018 dan Resesi Ekonomi
Bagi kelompok pro-pemerintah, hasil pemilu Venezuela beberapa hari lalu adalah bukti bahwa rakyat masih memiliki preferensi politik yang rasional. Hasil pemilu tersebut menunjukkan Maduro memperoleh 5,8 juta suara, sementara rival politikya, Henri Falcon, hanya mendapatkan 1,8 juta suara.
Namun di lain pihak, ada kondisi yang agak mengganggu aktivitas demokrasi di negara itu, yakni tingkat partisipasi politik yang menurun. Pada tahun ini tingkat partisipasi politik hanya mencapai 46 persen, bandingkan dengan pemilu 2013 yang mencapai 80 persen.
Selain itu, muncul tuduhan-tuduhan tidak beralasan dari lawan politik. Sebagaimana diberitakan The Guardian, Maduro dituduh melakukan pembelian suara. Tapi, tuduhan seperti ini hanya lalu lalang di telinga dan sering kita jumpai dalam sebuah perhelatan demokrasi, bukan?
Sebetulnya, perang opini antara partai berkuasa dan oposisi sudah terjadi berkali-kali. Perang ini juga seringkali melibatkan Amerika Serikat (AS) sebagai pihak ketiga yang dituding oleh Maduro berada di balik kelompok oposisi.
Intervensi itu bisa dilihat dari tanggapan Presiden AS, Donald Trump terhadap hasil pemilu Venezuela. Menurut Trump, pemilu yang dilakukan Maduro hanya “berpura-pura”. Ini sama persis, dengan respon kelompok oposisi terhadap hasil pemilu Venezuela.
Meski demikian, jika dilihat lebih dalam, ada masalah lain yang lebih urgen daripada sekedar menyoalkan kecurangan kemenangan politik Maduro. Hal itu adalah terkait pertanyaan di awal, yakni bagaimana Maduro bisa terpilih kembali di tengah resesi ekonomi?
Jika kita berkaca pada data-data ekonomi, sebagaimana dipaparkan oleh perusahaan analis global, Panjiva, indikator ekonomi Venezuela memang memprihatinkan. Impor negara itu misalnya telah mengalami penurunan tajam dan mengakibatkan harga kebutuhan pokok di pasaran semakin melonjak. Hal itu diperparah oleh melemahnya mata uang Bolivar hingga 98 persen.
Tak heran jika IMF mengatakan inflasi di Venezuela meroket lebih dari 700 persen, sementara beberapa ekonom sering menggunakan istilah hiperinflasi untuk menyebut fenomena krisis di Venezuela.
Kendati demikian, menurut kelompok sayap kiri, data IMF tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk melihat kondisi ekonomi di Venezuela. Menurut mereka data tersebut memiliki agenda politik Barat. Laporan lembagat riset Center for Economic and Policy Research (CEPR) mengemukan bahwa terdapat laporan yang eror dari perkiraan proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) Venezuela dari 1999 hingga 2006.
Venezuela Telat Diversivikasi?
Melakukan diversifikasi ekonomi adalah solusi yang banyak dikemukan oleh para ahli terkait kondisi ekonomi Venezuela. Diversifikasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya negara untuk tidak bergantung hanya pada satu sumber yang mampu menghasilkan pemasukan bagi negara.
Miquel Angel Santos, seorang peneliti senior di Center for International mengatakan jalan keluar dari krisis di Venezuela adalah negara tersebut harus melakukan diversifikasi ekonomi dan tidak hanya menggantungkan pendapatannya semata-mata dari produksi minyak bumi.
Wacana diversifikasi ekonomi sebenarnya telah muncul sejak lama, namun tampaknya tidak dilakukan secara maksimal. Untuk diketahui, hampir 95 persen pendapatan negara ini berasal dari ekspor minyak. Ini yang membuat perekonomian Venezuela begitu sensitif terhadap harga minyak di pasar internasional.
Saking berlimpahnya minyak di negera tersebut, pada periode 2006 hingga 2014 ketika harga minyak internasional melonjak, negara ini bahkan pernah memberikan subsidi minyak kepada kawan dekatnya, Kuba.
Dalam tulisan yang berjudul How Does the Price of Oil Affect Venezuela’s Economy, Greg DePersio mengatakan Venezuela telah menggunakan minyak untuk kepentingan politik dan membangun aliansi politik di Amerika Latin melawan imperialisme Barat.
Selain itu, laporan Financial Times juga menyebutkan produksi minyak di Venezuela telah menurun tajam dari 2,2 juta barel per hari pada 2016, menjadi 1,54 juta pada Februari 2018. Angka tersebut tidak mencapai separuh dari pendapatan ketika Hugo Chavez pertama kali terpilih di 1999. Ketergantungan pada minyak ini tentu saja membuat negara tidak bisa mencukupi anggarannya ketika harga minyak tersebut anjlok.
Pemerintah Venezuela tampaknya perlu meniru taktik Arab Saudi untuk melakukan diversifkasi ekonomi. Negara monarki absolut itu, terbilang cepat melakukan strategi pengalihan pendapatan negara.
Kita tahu, selama ini sekitar 60 persen pendapatan negara ini berasal dari minyak. Namun, pada tahun 2017, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud telah menunjukkan niatnya untuk segera melakukan diversifikasi ekononi melalui lawatan ke sejumlah negara di Asia.
Bahkan, melalui program Visi 2030, negara ini berjanji untuk tidak lagi bergantung pada minyak. Perjalanan Raja Salman ke Asia menunjukan Arab Saudi sudah mulai mengandalkan sektor lain selain minyak, misalnya investasi dan pariwisata.
Ini juga yang membuat negara tempat tujuan ibadah Haji ini perlahan-lahan membuka diri dari berbagai aturan konservatif, misalnya yang berhubungan dengan hiburan, bioskop, konser, dan lain sebagainya.
Jika Venezuela mengikuti jejak Arab Saudi, bukan tidak mungkin negara ini bisa bangkit dari keterpurukannya.
Refleksi Reformasi 1998
Terpilihnya kembali Maduro sekalipun kondisi ekonomi tengah melemah tentu saja bertolak belakang dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia. Di Indonesia pada tahun 1998 krisis Asia yang menyebar begitu cepat telah memicu instabilitas politik di seluruh lapisan masyarakat dan menyebabkan kejatuhan Soeharto.
Barangkali jawaban sederhana atas kembali terpilihnya Maduro sekalipun kondisi ekonomi Venezuela sedang kacau adalah terkait people power. Hal ini berbeda dengan konteks di Indonesia pada saat akhir kekuasaan Soeharto, di mana the smiling general itu tidak lagi memiliki dukungan politik, dan rakyat di sisi lain menginginkan perubahan.
Pada saat itu, nilai tukar rupiah yang naik terhadap dolar AS telah menyebabkan kenaikan harga secara umum. Dampaknya adalah banyak perusahaan dan pabrik melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar, dan akibatnya jumlah pengangguran meningkat tajam. Kondisi itu memicu masalah-masalah sosial dan politik hingga terjadi gelombang demonstrasi dan kekacauan yang menuntut Presiden Soeharto mundur.
Tapi, apakah mungkin kekacauan ekonomi di Venezuela saat ini dapat terjadi juga di Indonesia di tahun-tahun ke depan? Mungkin saja. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi beberapa tahun nanti.
Kendati demikian, jika dihubungankan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, saya kira problem di Venezuela jauh lebih brutal, katakanlah dengan inflasi yang lebih dari 700 persen, tata kelola pemerintahan yang buruk, hingga krisis energi dan kelangkahan makanan.
Fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih jauh lebih kuat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi masih stabil di kisaran 3,4 persen pada kuartal pertama 2018, dan pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5,06 persen.
Namun, bukan berarti kita tak boleh belajar dari situasi di Venezeula. Ribut-ribut politik di Indonesia pada level tertentu juga dapat mengganggu aktivitas ekonomi. Ini perlu menjadi perhatian seluruh politisi di tanah air, apalagi menjelang Pemilu 2019. Isu seperti politik identitas perlu sangat dijauhkan dari kehidupan politik di Indonesia, sehingga fondasi di sektor ekonomi kita tetap terjaga.
Indonesia juga perlu belajar dari Venezuela, bahwa negosiasi dan cara-cara damai antara kubu politik perlu dilakukan. Kecurigaan antara lawan politik perlu diminimalisir, sehingga proses politik yang berjalan tidak mengganggu aktivitas ekonomi. Bagaimanapun juga, jika ekonomi kacau, bukan tidak mungkin tragedi 1998 bisa terulang kembali. (A13)