Indo-Pasifik selalu dikaitkan dengan perseteruan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, ada negara lain yang akhir-akhir ini semakin menunjukkan eksistensinya, ia adalah Prancis. Mengapa Prancis sangat ambisius di Indo-Pasifik? Dan apakah barangkali ia mampu menjadi kontender baru?
Pada tahun 1906 sampai 1980, terdapat sebuah koloni Eropa di kepulauan wilayah Selatan Pasifik bernama New Hebrides. Koloni ini menjadi catatan unik dalam sejarah karena kekuasaannya dibagi pada dua negara, yaitu Prancis dan Inggris. Sebuah artikel di koran Times-News pada tahun 1973 bahkan mengatakan kedua negara itu membentuk pemerintahan baru bersama sebagai pihak ketiga di pulau tersebut.
Ya, Prancis memang sudah lama bersaing dengan negara besar lainnya di kepulauan Pasifik. Beberapa sejarawan mengatakan, koloni New Hebrides adalah upaya dari Prancis untuk meredam persaingan dengan Inggris, karena sesungguhnya mereka melihat satu sama lain sebagai pesaing yang merepotkan, bukan sebagai calon sekutu. Sekarang, New Hebrides sudah merdeka dan menjadi negara yang kita kenal dengan nama Vanuatu.
Dan tampaknya, persaingan pengaruh kekuatan negara besar di kawasan Indo-Pasifik diwariskan hingga ke masa sekarang. Tanpa perlu sering melihat berita pun, sepertinya semua orang sekarang tahu tentang perseteruan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) di wilayah gabungan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik ini.
Baca Juga: Jokowi di Hadapan Ancaman Nuklir?
Namun, baru-baru ini, khususnya setelah pakta pertahanan Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) diumumkan, muncul satu negara besar yang terlihat berambisi cukup tinggi menunjukkan kepentingan politiknya di kawasan Indo-Pasifik. Tidak lain, ia adalah kontender lama di kawasan tersebut, yaitu Prancis.
Meskipun sempat memberikan respons yang cukup keras karena dikucilkan dari perjanjian AUKUS, Prancis masih menunjukkan tekad yang kuat dalam mempertahankan pengaruhnya di Indo-Pasifik. Ini kemudian dicontohkan dengan bagaimana Presiden Prancis Emmanuel Macron mendekati Presiden Jokowi di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 akhir Oktober kemarin. Dikatakan bahwa Macron membicarakan tentang potensi kemitraan strategis dengan Indonesia.
Macron juga diketahui membicarakan Indo-Pasifik bersama Perdana Menteri (PM) India, Narendra Modi. India merupakan salah satu negara pertama yang memprioritaskan kawasan ini dalam aspek politik internasional, bersama dengan Jepang, sejak tahun 2007.
Lantas, apa yang membuat Prancis tidak ingin mundur di tengah persaingan antara AS dan Tiongkok?
Warisan Era Kolonialisme?
Melihat sejarahnya, Prancis memang diketahui pernah mengakuisisi banyak pulau di Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik. Meskipun pulau-pulau tersebut sekarang sudah banyak yang merdeka dan menjadi negara sendiri, faktanya, Prancis hingga saat ini masih memiliki banyak teritori lepas pantai dan penduduk yang tersebar di seluruh Indo-Pasifik.
Di Samudera Hindia contohnya, ada pulau La Reunion dan Mayotte. Di Samudera Pasifik, ada Kaledonia Baru, dan Wallis dan Futuna. Kemudian, berdasarkan laporan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Prancis pada tahun 2019, setidaknya ada 1,6 juta penduduk Prancis yang tinggal di teritori Prancis di Indo-Pasifik, juga ada 200.000 warga Prancis yang tinggal di negara-negara sekitar kawasan tersebut.
Angka-angka di atas menjadikan Prancis sebagai salah satu negara Eropa terbesar yang memiliki kepentingan di Indo-Pasifik. Selain itu, hubungan ekonomi antara Prancis dan Indo-Pasifik juga telah tumbuh cukup signifikan selama beberapa tahun terakhir.
Lebih dari sepertiga ekspor Prancis ke negara-negara non-Eropa masuk ke kawasan ini. Foreign direct investment atau investasi langsung Prancis berjumlah €320 miliar pada 2018, meningkat 75 persen sejak 2008. Kemudian, Prancis memiliki lebih dari 7.000 anak perusahaan di negara-negara Indo-Pasifik, dengan pendapatan meningkat 40 persen di antara tahun 2010 dan 2016.
Sebagai negara eksportir teknologi dirgantara tertinggi kedua di dunia, Prancis juga memiliki beberapa mitra penting di Indo-Pasifik, contohnya saja Indonesia yang baru menandatangani perjanjian kerja sama alutsista pada Juni lalu.
Faktor ekonomi dan kemanusiaan di atas kemudian diperkuat dengan adanya pelibatan militer Prancis. Diketahui terdapat kurang lebih 7.000 tentara dan belasan kapal ditempatkan di beberapa pangkalan kepulauan Indo-Pasifik. Tujuan utama dari pasukan ini adalah untuk melindungi teritori lepas pantai Prancis, yang mencakup berbagai kekhawatiran sendiri seperti perdagangan gelap dan juga bencana alam. Kekuatan militer ini menyumbang hampir 60 persen dari kehadiran militer permanen Prancis di luar negeri.
Baca Juga: Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?
Pengamat internasional, Frederic Grare, dalam tulisannya France, the Other Indo-Pacific Power, mengatakan, meskipun faktor ekonomi cukup kuat, itu tidak membuat Prancis berbeda dari negara-negara besar lainnya. Yang membuat Prancis berbeda dan bisa dianggap penting adalah faktor teritori lepas pantai.
Meningkatnya aktivitas negara besar di perairan Indo-Pasifik, lebih spesifiknya, perikanan dan pertambangan laut oleh Tiongkok, dianggap berpotensi mengganggu kestabilan hidup penduduk Prancis yang tinggal di kepulauan terdekat, karena belum ada jaminan Tiongkok tidak akan mengembangkan eksplorasinya ke teritori Prancis. Ini mungkin jadi alasan kenapa Prancis menempatkan banyak kapal perang dan membangun tiga wilayah komando militer di Indo-Pasifik. Dua di Samudera Pasifik dan satu di Samudera Hindia.
Prancis juga dinilai mewakilkan kepentingan negara besar Eropa lain dalam memproyeksikan kehadiran politik di Indo-Pasifik. Peneliti politik internasional asal Universitas Harvard, Philippe Le Corre, mengatakan keputusan pendirian AUKUS telah meregangkan hubungan diplomatis antara AS dengan Uni Eropa (UE). Hal ini karena satu hari setelah AUKUS didirikan, UE dijadwalkan meluncurkan agenda strateginya sendiri untuk kawasan Indo-Pasifik.
Oleh karena itu, Le Corre berpandangan, wajar bila negara-negara Eropa mulai merasakan dorongan untuk menjaga jarak dari AS. Sentimen akan semakin berkembang, khususnya dari Jerman. Mereka akan semakin percaya bahwa fokus baru AS di Indo-Pasifik tidak sejalan dengan kepentingan UE.
Hal-hal di atas, tampaknya bisa kita duga mampu mendorong Prancis mencari jalan keluar alternatif sendiri. Lantas, mampukah Prancis menjadi kekuatan ketiga dalam kontestasi politik internasional di Indo-Pasifik?
Pemain Ketiga?
Melihat perseteruan di Indo-Pasifik yang sangat kental dengan eksistensi kekuatan di aspek maritim, penulis teringat tulisan The Influence of Sea Power upon History karya Alfred Thayer Mahan. Di dalamnya, Mahan menekankan bahwa kekuatan di laut, yang juga termasuk kepulauan, adalah kunci dalam mempertahankan sekaligus mengekspansi kekuatan politik suatu negara di panggung internasional.
Tentu tidak semua negara besar mampu menjadi kekuatan di laut. Mahan menyebutkan ada enam karakteristik yang harus dimiliki suatu negara, yakni kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk yang berada di pesisir, karakter nasional (penduduk) dan karakter pemerintah termasuk lembaga-lembaga nasional. Melalui teritori lepas pantai, Prancis dapat memenuhi syarat-syarat tersebut.
Namun, Prancis tidak akan ‘unjuk gigi’ militer sendiri, selain karena itu terlalu provokatif, juga membutuhkan sumber daya yang besar.
Ada sebuah pandangan yang sangat menarik dari Peneliti Tamu Center for Strategic and International Studies (CSIS), Pierre Morcos. Ia menilai Prancis akan melibatkan diri di Indo-Pasifik melalui penyeimbangan kekuatan negara-negara yang terlibat di kawasan tersebut, bukan dengan terjun langsung sebagai penengah.
Argumen ini terinspirasikan dari laporan Kemhan Prancis 2019, yang secara jelas mengatakan Prancis melihat dirinya sebagai mediator, promotor inklusivitas, dan penyeimbang kekuatan, yang bertujuan untuk mempromosikan tatanan yang stabil, berdasarkan hukum bersama dan multipolarisme.
Baca Juga: Prancis Pilihan Terbaik Prabowo?
Ini kemudian dibuktikan melalui berbagai perjanjian kerja sama pertahanan Prancis dengan berbagai negara Indo-Pasifik. Contohnya dengan India, yang baru saja setuju untuk mendatangkan 36 jet tempur Rafale, lalu dengan Indonesia, yang juga dikabarkan akan mendatangkan puluhan jet tempur Rafale, beserta transfer teknologi alutsista.
Contoh pahit lainnya adalah kontrak kapal selam dengan Australia yang dibatalkan melalui pendirian AUKUS. Dari sini kita mendapatkan logika kenapa Prancis sangat marah dengan perjanjian yang sangat berbau ‘anglosphere’ tersebut.
Pada akhirnya, keterlibatan Prancis di Indo-Pasifik dapat mewujudkan apa yang diidamkan realis klasik, Hans Morgenthau. Ia menilai sistem multipolar, di mana pusat kekuatan tidak hanya berpangku pada satu ataupun dua negara, akan lebih stabil daripada sistem bipolar, karena kekuatan besar dapat memperoleh kekuasaan melalui aliansi dan konflik-konflik kecil yang tidak secara langsung menantang kekuatan rivalnya. Sementara itu, dalam sistem bipolar, hal tersebut dianggap mustahil.
Sebagai penutup, dan barangkali poin paling penting, potensi Prancis sebagai jalan ketiga di Indo-Pasifik memang tampak sangat nyata. Akan tetapi, kita tidak bisa langsung menyimpulkan Prancis akan membuat semacam aliansi baru untuk menandingi AUKUS.
Memang, perjanjian militer dengan Indonesia dan India terlihat sangat menjanjikan, tetapi, hubungan negara-negara ini masih belum bisa dilihat sebanding dengan AS dan Australia yang memang memiliki ikatan kultural berusia ratusan tahun.
Jika dilihat dari perkembangan politik internasional, tepat bila Presiden Jokowi berusaha mencari jalan yang senetral mungkin dalam membangun kekuatannya di kawasan sendiri. Meskipun perjanjian kerja sama militer dengan pihak Macron belum bisa dianggap mengarah ke aliansi, tetapi kedua negara bisa saling diuntungkan. (D74)