Setelah membicarakan sosok Mr. Kasman Singodimedjo, Fatwa mengajak Pram berdiskusi tentang agama. Namun, Pram seolah menghindari pembahasan topik itu dan berkata: “Rasanya terlalu luks buat saya bicara soal agama dan akhirat.”
PinterPolitik.com
“Mulutmu harimau-mu. Saudara sembarangan, Jokowi misalnya dibilang sinting. Tadi KPK dibilang sinting. Coba saudara bilang saya sinting, saya lempar ini (microphone)”. – A.M. Fatwa kepada Fahri Hamzah.
[dropcap]I[/dropcap]tulah penggalan kata-kata Andi Mappetahang Fatwa kepada Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah dalam acara diskusi di salah satu stasiun TV swasta pada 2016 lalu. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan tersebut marah kepada Fahri yang menyebut Badan Kehormatan DPD RI yang dipimpinnya ‘bermain politik’ terkait pencopotan Irman Gusman dari jabatan sebagai Ketua DPD RI kala itu.
Namun, kisah kemarahan Fatwa ini mungkin hanya akan jadi kenangan. Pasalnya senator berusia 78 tahun itu telah meninggal pada Kamis, 14 Januari 2017 pagi di Jakarta. Fatwa harus menyerah pada kanker hati yang untuk beberapa lama menyerang dirinya. Ia adalah seorang pejuang yang bahkan memaafkan orang-orang yang menyakiti, memenjarakan dan menyiksa dirinya.
Ada yang bilang,
Bahwa suatu masa pada masa muda pak#AMFatwa @AMFatwa pernah mirip dengan saya…tapi beliau telah berjuang, dianiaya dan masuk penjara dan kembali menemui Khaliq-nya. Semoga kita Istiqomah sampai akhir hayat seperti beliau. pic.twitter.com/arTOIMQVDm— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) December 14, 2017
Masih tentang kisah di acara TV tersebut, sulit rasanya melihat seorang Fahri Hamzah yang biasanya memarahi orang, malah dimarahi di depan umum – bahkan mungkin hal tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Hanya A.M. Fatwa yang bisa melakukannya dalam live siaran TV nasional pula. Itulah dia, sosok pemberani dari Bone.
Kisah Fatwa menjadi sangat istimewa bukan hanya bagi perjalanan politik saat ini saja, tetapi juga tentang protes dan perlawanannya sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru. Ia adalah penyambung lidah agama dan politik, sekaligus mungkin menjadi penanda bahwa masih ada politisi sederhana di republik ini.
A.M. Fatwa: Korban UU Subversi Soekarno dan Soeharto
Sejak muda, Fatwa memang telah aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Saat menjadi mahasiswa di IAIN Jakarta pada tahun 1957, Fatwa menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat dan pengurus di PB HMI.
Saat itu, rezim Orde Lama di bawah Presiden Soekarno memang sedang kuat-kuatnya. Fatwa yang juga menjadi anggota Dewan Mahasiswa Jakarta pada tahun 1963, ikut dalam demonstrasi di kampusnya dan mengkritik kebijakan rektor IAIN dan Menteri Agama saat itu.
Namun, oleh pemerintahan Soekarno, demonstrasi itu dianggap merongrong kewibawaan sang presiden yang sedang panas-panasnya ingin berkonfrontasi dengan Malaysia. Fatwa yang sebetulnya adalah pengagum Bung Karno, dianggap sebagai penghubung tokoh-tokoh yang suka mengkritik sang presiden. Dia akhirnya ditahan dengan tuduhan menggerakkan demo mahasiswa dan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1963 yang populer dengan sebutan UU Subversi.
Atas kasus tersebut, Fatwa mengaku dibawa ke Sukabumi untuk diinterogasi. Walau tidak mendapat penyiksaan fisik, ia mengaku kumisnya sempat dibakar dan ia diteror secara mental oleh belasan penyidik. Hampir satu bulan ia ditahan di Sukabumi, sebelum akhirnya dibawa ke Solo, Karanganyar dan Tawangmangu. Fatwa menyebut selama enam bulan ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain setiap minggunya.
Lengsernya Soekarno melahirkan pergeseran peta politik. Fatwa dibawa kembali ke Jakarta dan bebas begitu saja tanpa pernah menjalani persidangan. Setelah bebas, ia kembali menjadi aktivis dan berdemonstrasi, awalnya mendukung Orde Baru.
Namun, seiring berjalannya waktu dan Soeharto menjadi semakin tidak terkontrol, Fatwa berbalik arah. Dalam sebuah wawancara, ia menyebut Orde Baru mulai menyimpang dari arah semula. Akhirnya, bermodalkan mimbar masjid, Fatwa melancarkan kritik terhadap Soeharto melalui khotbah Jumat. Isi khotbahnya dibuat dalam bentuk buku, namun kemudian dilarang beredar oleh Orde Baru.
Atas aktivitasnya tersebut, Fatwa mengalami teror fisik. Ia pernah mengalami gegar otak akibat dipukul oleh intel yang menyamar jadi preman. Ia juga sempat dibacok celurit oleh orang tidak dikenal yang ingin membunuhnya. Akibatnya ia harus masuk rumah sakit Angkatan Laut. Karena kasus ini, ia menjadi dekat dengan Letjen (purn) Ali Sadikin yang jadi salah satu penolongnya saat itu.
Akhirnya, saat Ali menjabat sebagai Gubernur Jakarta, Fatwa diangkat sebagai Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik. Namun, karena ceramah-ceramahnya membuat gerah pemerintah, ia pun dipecat dari PNS pada tahun 1979. Sebelum dipecat, pada tahun 1978, Fatwa sempat ditahan selama 9 bulan akibat aksinya menjadi pelaksana rapat akbar MUI yang menolak aliran kepercayaan masuk dalam GBHN.
Peristiwa yang paling diingat mungkin adalah kasus Tanjung Priok pada tahun 1984. Saat itu, terjadi kerusuhan antara kelompok umat Islam melawan aparat. Fatwa yang saat itu tergabung dalam Kelompok Kerja Petisi 50 dituduh terkait dengan gerakan tersebut, termasuk tentang pembuatan ‘Lembaran Putih’ yang berisi kritik terhadap Soeharto.
Fatwa adalah satu dari 22 orang yang menandatangani lembaran tersebut, sehingga ia diadili dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, dari semula tuntutan seumur hidup yang diajukan jaksa. Namun, hukuman tersebut hanya dijalani secara efektif selama 9 tahun di penjara.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun
Kita semua kehilangan Pak AM Fatwa.Yang patut kita tauladani dari almarhum adalah keteguhan hatinya dalam memperjuangkan kebenaran.
Kita doakan bersama semoga almarhum husnul khotimah dan mendapatkan tempat paling mulia di sisi Allah SWT -Jkw
— Joko Widodo (@jokowi) December 14, 2017
Selama di penjara, seperti dikutip dari Merdeka, Fatwa menuturkan sudah biasa mengalami dipukul, ditendang, dan dinjak-injak. Fatwa juga pernah dikurung dalam sebuah sel dan berdiri di atas sebuah kaca yang di sekelilingnya berisi kotoran manusia. Ia juga dilarang beraktivitas dan membaca Al-Quran.
Kisah tentang Fatwa sempat menjadi concern Amnesti Internasional terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto. Bahkan anggota Kongres Amerika Serikat meminta agar Fatwa diperhatikan secara khusus.
Fatwa bebas bersyarat pada tahun 1993 dan atas persetujuan Soeharto, diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Agama Tarmizi Taher. Jabatan tersebut juga tetap diembannya saat Quraish Shihab menjadi Menteri Agama.
Pada tahun 1998, Fatwa bersama eksponen bangsa lainnya menggulirkan reformasi dan melengserkan Soeharto. Kemudian ia dan beberapa tokoh lainnya mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN).
Ia sempat menjadi pimpinan di DPR dan MPR, dan hingga akhir hidupnya menjadi senator di DPD RI mewakili Jakarta. Fatwa tercatat cukup produktif menulis dengan 29 buku yang diterbitkan dari buah pikirnya.
Dari Sajadah Pram hingga Ahok
Walau dalam konsep pemikiran yang berbeda, apa yang dialami oleh Fatwa mirip-mirip dengan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya adalah ikon perlawanan terhadap Orde Baru dan Orde Lama.
Pram dikenal dengan karya-karyanya dan pemikiran yang cenderung progresif dan keluar dari batas-batas keagamaan. Sementara Fatwa cenderung lebih Islami.
Menariknya, Fatwa sempat bertutur kalau ia pernah mengunjungi dan berbincang-bincang dengan Pram pada suatu waktu. Bahkan, karena sedang bulan puasa, istri Pram menyediakan makanan untuk berbuka puasa dan sajadah untuk dirinya menunaikan sholat.
Fatwa menggambarkan perbincangan di antara keduanya memperlihatkan beberapa konsep dan gagasan yang berbeda, namun ia menaruh hormat pada Pram sebagai seorang penulis. Perbincangannya dengan Pram menunjukkan bahwa Fatwa terbuka terhadap semua orang, sekalipun berbeda. Ia bahkan juga menemui dan memaafkan semua orang yang bertanggungjawab atas penyiksaan dan penahanan dirinya.
Kisah lain yang patut dikenang adalah ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai presiden pada 2014 lalu. Fatwa ikut memberi selamat di Istana, dan saat itu Jokowi menyalaminya dengan erat sambil berucap: “Pak, saya titip Pak Ahok”, sebanyak tiga kali. Kisah tersebut ditulis Fatwa dalam surat terbukanya untuk Ahok pada November 2016. Ia memprotes Ahok yang saat itu ‘agak’ bangga dengan status tersangka terkait penodaan agama dan menyamakan dirinya dengan Mandela. Fatwa menagih janji hidayah Ahok.
Dua kisah itu mungkin sederhana, namun menunjukkan bahwa dalam segala kiprah politik dan tutur katanya, satu hal yang menjadi warisan utama Fatwa: jiwa besar. Jangankan Fahri Hamzah yang begitu meledak-ledak dalam diskusi di TV swasta dan mengkritik lembaga pimpinan Fatwa, para penyiksanya saja bisa ia maafkan.
Jiwa besarnya pula yang membuat ia menemui Pram – tokoh yang sempat dituduh sebagai jubir organisasi sayap PKI, Lekra – yang dibenci oleh banyak orang saat itu. Hal yang sama juga terjadi ketika ia menasehati Ahok – seorang non muslim – lewat surat terbukanya.
Mungkin, itulah yang harus dicatat sebagai legacy utama A.M. Fatwa. Sekeras-kerasnya politik, orang harus mampu berjiwa besar. Karena jiwa besar membuat seorang politisi naik tingkat, dari yang hanya sekedar cuap-cuap di twitter, menjadi negarawan sejati.
Selamat jalan, Pak Fatwa. (S13)