Ternyata, tidak semua lukisan pahlawan nasional digambarkan sesuai wajah asli mereka. Apakah ini hal yang salah atau is akita benarkan?
Tanggal 27 Januari merupakan hari lahir salah satu seniman paling terkemuka di Indonesia, Basoeki Abdullah. Kalau ada dari kalian yang kurang begitu mengenal karya Basoeki, setidaknya mungkin kalian pernah lihat lukisan Nyi Roro Kidul berikut. Yap, lukisan ini buatan Basoeki.
Namun, lukisan terkenal Basoeki tidak hanya itu. Pria yang meninggal tanggal 5 Desember 1993 tersebut juga dikenal sebagai salah satu pelukis sejumlah sosok pahlawan nasional yang tersebar dalam buku-buku sejarah.
Dan baru-baru ini perbincangan tentang Basoeki cukup mencuat di media sosial. Ini mungkin karena perbincangan yang dimulai oleh media sejarah, Historia di Twitter, yang menyebutkan bahwa tampaknya sebagian lukisan pahlawan nasional karya Basoeki sebenarnya tidak merepresentasikan wajah asli mereka.
Pandangan ini diperkuat artikel mereka yang berjudul Imajinasi Wajah Pahlawan Nasional, tulisan Aryono. Di dalamnya, disebutkan bahwa Mikke Susanto, kurator Museum Basoeki Abdullah, mengungkapkan ternyata memang benar tidak semua lukisan pahlawan buatan Basoeki adalah gambaran wajah mereka. Karena pada saat itu Basoeki kesulitan mengetahui wajah asli sosok sejarah seperti Sisingamangaraja dan Cut Nyak Dien, ia hanya mengandalkan deskripsi dari cerita rakyat dan imajinasinya.
Karena hal ini, wajar bila sebagian dari publik merasa cukup marah. Mungkin ada yang merasa terbohongi dengan sosok pahlawan yang selama beberapa dekade dikagumi masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah kekhawatiran itu bisa dibenarkan? Bagaimana perspektif politik dan historis melihat persoalan ini secara objektif?
Tidak Senonoh, Tapi Lumrah?
Lukisan memiliki peran yang penting dalam sejarah. Tidak hanya sebagai bentuk keindahan, lukisan juga kerap jadi bentuk abadi sebuah momen penting dalam sejarah, seperti peperangan, penandatanganan perdamaian, dan revolusi.
Dan karena itu, lukisan kerap tidak hanya jadi kepingan seni, tetapi juga menyimpan beberapa muatan politik dan sosial. Selain lukisan pahlawan karya Basoeki tadi, dalam dunia lukisan ada juga persoalan gambaran jenderal-jenderal Romawi dan pahlawan-pahlawan Yunani yang kerap digambarkan sebagai orang-orang kulit putih.
Padahal, sejumlah studi mulai menemukan bahwa orang-orang Mediterania memiliki warna kulit yang berbeda dengan orang kulit putih yang sering digambarkan.
Salah satu topik perbincangan lain yang kerap memantik perdebatan adalah sejumlah ilustrasi Yesus Kristus yang kerap digambarkan sebagai orang Kaukasian.
Seperti yang pernah dibahas oleh Robyn J. Whitaker dalam tulisannya Jesus wasn’t white: he was a brown-skinned, Middle Eastern Jew, kalau mengacu pada warna kulit orang di sekitar Timur Tengah, ada kemungkinan Yesus sebenarnya tidak berkulit putih, namun kerap digambarkan putih karena besarnya pengaruh Eropa.
Terkait dengan itu, sejarawan seni, Evonne Levy dalam tulisannya Art and Propaganda, mengatakan bahwa seni kerap diciptakan sebagai cerminan dari semangat suatu zaman. Kalau pada satu zaman ide nasionalisme begitu didorong, maka karya-karya seni yang diciptakan pun pasti mengikuti “irama” narasi politik dan sosial yang sedang dimainkan.
Nah, kalau kita membawa pandangan ini dalam memahami kenapa bisa ada lukisan pahlawan nasional yang “imajiner”, maka sesungguhnya itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Ketika Orde Baru, era ketika Basoeki melukis beberapa pahlawan nasional, penciptaan semangat nasionalisme memang menjadi agenda yang sangat penting bagi pemerintah. Terlebih lagi saat itu Indonesia diombang-ambing pengaruh adidaya Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.
Lalu, apakah ini adalah tindakan yang “salah”?
Well, seniman dunia ternama, Pablo Picasso, pernah mengatakan: “seni adalah kebohongan yang membantu kita sadar akan kenyataan,”
Oleh karena itu, terlepas dari apakah wajah-wajah pahlawan yang dilukis Basoeki adalah hasil imajinasi atau tidak, poin utama pembuatan lukisan tersebut bukan presisi penggambarannya, melainkan tujuannya untuk memancing rasa nasionalisme dan bangga pada jasa para pahlawan.
Jika konteks itu tercapai, maka sebenarnya tidak menjadi masalah.
Bagaimanapun juga, karya seni akan tetap dipengaruhi oleh pandangan politik dan sosial. (D74)