Gubernur Papua Lukas Enembe memprotes keputusan Kementerian Dalam Negeri terkait penunjukan Sekda Papua Dance Yulian Flassy, sebagai Plh Gubernur Papua. Lukas menilai penunjukan ini kental dengan nuansa politis dan sebut ada beberapa pihak yang ingin menjatuhkannya. Benarkah demikian?
Polemik ini berawal dari kekosongan kepemimpinan yang terjadi di Provinsi Papua. Seperti yang diketahui, Gubernur Papua Lukas Enembe sejak bulan Mei lalu tidak berada di Papua karena sedang menjalani pengobatan di Singapura.
Sementara Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal meninggal dunia pada bulan Mei lalu. Praktis hal ini menyebabkan kekosongan kepemimpinan di tubuh Pemerintah Provinsi Papua.
Melihat hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui surat keputusan Mendagri segera menunjuk Sekretaris Daerah (Sekda) Dance Yulian Flassy sebagai Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Papua.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan menjelaskan penunjukan itu dilakukan karena pihaknya ingin memastikan pemerintahan dan pelayanan publik berjalan lancar di Provinsi Papua.
Di lain pihak, Gubernur Papua Lukas Enembe sebut Kemendagri telah melakukan maladministrasi dalam proses penunjukan Sekda sebagai Plh Gubernur. Lukas menyebut dirinya masih aktif menjabat sebagai Gubernur Papua yang sah. Terkait keberadaannya di luar negeri, Lukas mengklaim telah mendapat izin langsung dari Mendagri untuk berobat.
Lukas juga sebut di balik penunjukan ini ada upaya penyalahgunaan wewenang untuk menjatuhkan posisinya sebagai Gubernur Papua.
Jika merujuk pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pelaksana Harian (Plh) adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara.
Hal ini berbeda dengan Pelaksana Tugas (Plt) yang merujuk kepada pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Baca Juga: Membaca Keberadaan Ma’ruf Amin di Papua
Lebih lanjut, menurut Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara Nomor 2/SE/VII/2019 Tahun 2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian (“SE BKN 2/2019”), Plh dapat ditunjuk ketika ada pejabat yang tidak dapat melaksanakan tugas selama tujuh hari kerja karena sedang sakit, melakukan kunjungan atau alasan lain yang serupa, maka atasan dari pejabat tersebut berhak menunjuk Plh.
Jika berpedoman pada peraturan di atas apa yang dilakukan Mendagri dengan menunjuk Sekda sebagai Plh Gubernur sebenarnya sudah tepat. Mengingat Lukas Enembe sendiri sedang menjalani cuti pengobatan ke luar negeri sejak Mei lalu, sementara sang Wakil Gubernur sendiri meninggal dunia beberapa saat setelahnya.
Mendagri Tito Karnavian menambahkan salah satu pertimbangan mendesak menunjuk Plh Gubernur Papua adalah pencairan dana alokasi khusus (DAK) fisik. Selain itu, penunjukan Plh Gubernur dinilai penting karena PON XX di Papua akan digelar dalam waktu dekat. Hal itu bisa memperlancar berbagai kebijakan terkait penyelenggaraan PON.
Lantas benarkah ada unsur politis di balik penunjukan Plh Gubernur Papua?
Dugaan Unsur Politis
Meskipun secara prosedur penunjukan Plh tersebut masih dalam koridor yang tepat, akan tetapi kita juga tidak bisa menyampingkan adanya dugaan politis yang dituduhkan Lukas Enembe di balik peristiwa ini.
Lukas sendiri secara keras menyebut Sekda Dance Yulian Flassy sebagai otak di balik rencana besar ini. Lukas bahkan menyebut bahwa Dance secara terang-terangan telah melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan Sekda untuk menjatuhkan posisinya sebagai Gubernur.
Ia juga menduga bahwa Dance bukanlah aktor tunggal. Lukas meyakini Dance melakukan kerja sama dengan beberapa aktor politik nasional untuk menjalankan rencana ini.
Terkait hal ini Lukas sendiri telah mengajukan surat resmi ke Presiden Jokowi yang meminta Presiden untuk membatalkan SK tersebut sekaligus mencabut jabatan Dance sebagai Sekda Papua.
Sebelumnya Lukas juga mengancam akan melaporkan Mendagri Tito Karnavian ke Presiden, namun hal itu urung dilakukan.
Tuduhan Lukas kepada Dance sendiri dinilai beralasan. Dance disinyalir mempunyai kedekatan dengan pemerintah pusat. Dugaan ini telah timbul bahkan jauh ketika pertama kali Dance mengikuti seleksi Sekretaris Daerah definitif Papua.
Aktivis Papua, Lidya Maria Mokay, menyatakan sejak awal pemilihan Dance sebagai Sekda sudah janggal. Dance diketahui sejak awal seleksi tidak mengikuti tahapan-tahapan penilaian dan seleksi yang diselenggarakan oleh Panitia Seleksi.
Ia juga menyatakan bahwa Dance menempati peringkat terendah dalam tes kompetensi calon sekretaris daerah. Ia lalu mengkritik Presiden Jokowi karena kurangnya transparansi dalam keputusan Presiden dan penetapan yang tidak mengacu pada hasil seleksi.
Kritik yang sama pun telah disampaikan Lukas jauh-jauh hari sebelumnya. Ia meminta Presiden agar mengubah keputusannya tersebut dengan mempertimbangkan masukan-masukan dan bukti.
Sejumlah organisasi, kelompok, dan perorangan, seperti Forum Lintas Pemuda Papua, tokoh intelektual Yan Wenda, Kepala Suku Wilayah Adat Lapago Paus Kogoya, juga turut menolak pengangkatan Dance Yulian Flassy.
Akan tetapi karena penunjukan Sekda Provinsi harus mendapat persetujuan Presiden, pada akhirnya Dance tetap dilantik menjadi Sekda Papua. Hal inilah yang melatarbelakangi dugaan bahwa ada kedekatan antara Dance dan pemerintah pusat.
Ehito Kimura dalam buku Political Change and Territoriality in Indonesia dalam salah satu bagian dalam bukunya meneliti tentang kondisi perpolitikan Papua pasca reformasi. Dalam buku tersebut Ia memunculkan salah satu perkembangan baru dari teori elite, khususnya terkait apa yang Ia temukan di Papua, yaitu konsep territorial politics.
Salah satu perspektif dalam pendekatan tersebut adalah vertical coalition yang menjelaskan adanya hubungan antar aktor politik di tingkat nasional dan aktor politik lokal secara vertikal dalam proses interaksi politik yang terjadi di tingkat lokal.
Pola vertical coalition tersebut ditemukan terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Papua dan Papua Barat.
Baca Juga: Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?
Lebih lanjut, Ehito menjabarkan pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis pasca reformasi dan pelaksanaan desentralisasi membuka peluang yang lebar bagi para aktor politik di tingkat nasional untuk menguasai daerah baru dengan berbagai cara, di antaranya dengan membangun hubungan secara vertikal dengan aktor-aktor di daerah.
Jika sangkaan Lukas tepat, maka konsep territorial politic sekiranya menggambarkan apa yang tengah terjadi.
Lantas jika demikian, apa urgensi pemerintah pusat menaruh “orang kepercayaan” di jabatan Plh Gubernur Papua?
Untuk Apa?
Untuk saat ini ada beberapa isu strategis yang sedang berkembang di Papua. Di antaranya adalah terkait pembahasan Otonomi Khusus (Otsus), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penyelenggaraan PON Papua.
Pertama terkait Otsus Papua. Pembahasan yang sedang berlangsung beberapa bulan terakhir (dan kini telah disahkan) merupakan salah satu pembahasan sensitif khususnya di Papua.
Dengan kosongnya kepemimpinan di Papua, maka situasi ini bisa jadi dianggap rawan oleh pemerintah khususnya terkait stabilitas politik dan keamanan. Maka menunjuk seorang Plh Gubernur “yang dipercaya” oleh pemerintah merupakan suatu hal yang masuk akal.
Kedua terkait PON. Seperti yang kita ketahui bahwa pelaksanaan PON semakin dekat.
Dari sisi pemerinah pusat, menjadi wajar jika mereka ingin memastikan bahwa pelaksanaan acara tersebut berjalan dengan lancar. Sehingga diperlukan pejabat daerah yang memiliki kewenangan kuat untuk melaksanakan dan mengoordinasikan itu semua.
Maka dari itu Kemendagri menunjuk Plh Gubernur untuk mengisi kekosongan sementara kepemimpinan.
Keberadaan Sekda yang disinyalir mempunyai kedekatan dengan Jakarta jelas akan memudahkan koordinasi antara pusat dan daerah soal penyelenggaraan kegiatan yang kemungkinan akan memakan anggaran sebesar Rp 1,6 triliun ini.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir juga ramai terkait isu penolakan penyelenggaran PON Papua yang dilakukan oleh masyarakat Papua, bahkan Walikota Jayapura sendiri selaku salah satu tuan rumah PON.
Pada akhirnya masing-masing pihak, baik Lukas Enembe maupun pemerintah pusat mempunyai alasan tersendiri dalam persoalan ini.
Kurangnya Kepercayaan?
Terlepas dari sangkaan Lukas ataupun benar tidaknya ada motif politis di balik penunjukan Plh Gubernur Papua, polemik ini sekiranya terjadi karena kurangnya komunikasi antara Lukas dengan pemerintah pusat.
Persoalan lack of communication sendiri bukanlah hal yang baru dalam perjalanan panas-dingin hubungan antara pemerintah pusat dan Papua.
Keputusan pemerintah pusat yang dinilai sering kali diambil tanpa adanya dialog dan koordinasi dengan Papua, disebut menunjukkan sikap “Jakarta Sentris” yang masih digunakan pemerintah pusat dalam menangani permasalahan-permasalahan di Papua.
Jika benar demikian, ini tentu bertentangan dengan pernyataan pemerintah pusat yang berjanji akan melibatkan seluruh elemen dan lapisan masyarakat Papua dalam mengambil kebijakan dan tindakan terkait Papua.
Mungkin ketidakpercayaan dan kecurigaan Lukas terhadap pemerintah pusat sedikit banyak menggambarkan ketidakpercayaan beberapa elemen masyarakat Papua ke pemerintah pusat, yang disebut seringkali menimbulkan ekspektasi negatif.
Baca Juga: Sulit Jokowi Selesaikan Isu Papua
Tulisan Stevan Van de Walle dan Frederique Six yang berjudul Trust and Distrust As Distinct Concepts: Why Studying Distrust in Institutions is Important menjelaskan bahwa kepercayaan timbul akibat munculnya harapan atau leap of faith pada situasi rentan dan penuh ketidakpastian.
Absensi leap of faith di masyarakat akan mengakibatkan rendahnya kepercayaan publik dan distrust berdampak pada ekspektasi negatif. Mungkin yang terjadi saat ini adalah beberapa elemen masyarakat Papua kehilangan leap of faith-nya ke pemerintah pusat karena berbagai alasan.
Terlepas dari apa pun yang terjadi, beberapa hari yang lalu Lukas Enembe telah kembali ke Papua. Otomatis peran Sekda sebagai Plh Gubernur pun telah usai. (A72)