Site icon PinterPolitik.com

Luhut-SM Ingin Rakyat Selalu Ketakutan?

Luhut-SM Ingin Rakyat Ketakutan

Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan dan Menkeu, Sri Mulyani (Foto: Pasardana)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani belakangan sering melempar narasi harapan dan ketakutan ekonomi secara bersamaan. Bagaimana intrik politik di belakangnya?


PinterPolitik.com

Mungkin hampir seluruh masyarakat Indonesia akan otomatis memiliki pandangan yang buruk ketika diajak bicara tentang tahun 1998. Ya, krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu memang telah mengubah Indonesia secara keseluruhan, dan membawa negara ini ke tahap yang sebelumnya belum pernah kita alami.

Karena itu, sepertinya wajar bila bayang-bayang “krisis ekonomi” masih menghantui masyarakat Indonesia, apalagi bagi mereka yang hidup dan sudah lahir sebelum tahun 1998. 

Nah, belakangan ini, “teror” tentang krisis ekonomi sepertinya mulai digulirkan kembali. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Indonesia akan terkena “getah” dari krisis global. Katanya, resesi global yang kini mulai terjadi, yang dipicu oleh inflasi dan kenaikan suku bunga besar-besaran di banyak negara besar akan menjadi sebuah “perfect storm” melanda banyak negara.

Tidak hanya Luhut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (SM) belakangan juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. SM mewanti-wanti situasi ekonomi global terkini, dan bahkan memprediksi akan terjadi krisis yang bahkan belum tentu terjadi dalam kurun waktu 40 tahun ini. 

Akan tetapi, yang menariknya adalah beberapa hari sebelumnya SM justru membawa kabar positif tentang perekonomian Indonesia. Katanya, sampai Agustus perekonomian Indonesia akan membaik dan justru tumbuh hingga 5,4 persen. Ditarik lebih jauh sedikit ke belakang, ia juga sempat mengatakan perekonomian Indonesia sudah pulih dari dampak Covid-19.

Begitu juga dengan Luhut, yang belum lama ini mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia.

Fenomena kabar positif dan negatif ini tentu menarik bila diperhatikan. Mengapa pemerintah begitu cepat “berganti hati” dalam melempar narasi tentang ekonomi ke publik? Apakah ini pertanda bahwa retorika pemerintah plin-plan, atau justru ada intrik politik tersembunyi yang belum diketahui banyak orang?

Pemerintah dan Manipulasi Ketakutan

Howard Phillips Lovecraft adalah salah satu penulis fiksi kontemporer yang karya-karyanya berhasil merevolusi sejumlah batasan mainstream tulisan fiksi. Spesifiknya, Lovecraft adalah penulis yang mampu memperkenalkan sebuah bentuk ketakutan (fear) baru yang belum banyak dieksplor oleh penulis-penulis fiksi pada masa sebelumnya.

Lovecraft percaya bahwa insting terkuat manusia, yang mampu menyetir Homo Sapien menjadi seperti sekarang adalah insting rasa takut, dan rasa takut yang paling mengerikan bagi umat manusia adalah rasa takut terhadap segala hal yang tidak kita ketahui.

Nah, merefleksikan apa yang ditulis Lovecraft terhadap dunia politik sebenarnya tidak sulit. Ketakutan bisa dikatakan merupakan sebuah bahasa universal yang sangat efektif digunakan jika seseorang ingin menyentuh hati publik, dan sangat lumrah bila para penguasa kita menyadari tentang hal ini. Terlebih lagi, masyarakat sesungguhnya tidak akan benar-benar tahu situasi yang sebenarnya tentang krisis, karena hal itu hanya diketahui oleh pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan.

Robert Higgs dalam tulisannya Fear: The Foundation of Every Government’s Power, menjelaskan bahwa rasa takut masyarakat bagi pemerintah berlaku layaknya sebuah resource atau sumber daya, dan layaknya sumber daya yang lain, rasa takut masyarakat juga menjadi bahan dasar dari suatu proses produksi. Produk yang dimaksud salah satunya adalah kebijakan negara.

Ketika sebuah negara menelurkan sebuah kebijakan yang sifatnya sensitif, seperti menaikan tarif sebuah layanan umum, misalnya, maka besar kemungkinannya keputusan itu akan dapat kecaman besar dari publik, yang berpotensi berkembang menjadi sesuatu yang berbahaya. Oleh karena itu, agar kebijakan yang sensitif ini bisa diloloskan, maka pemerintah perlu memainkan rasa takut, salah satunya dengan teknik retorika argumentum ad metum, atau menarik rasa takut.

Teknik semacam ini bekerja dengan cara menawarkan sebuah narasi yang begitu menyeramkan, seperti krisis global misalnya, namun kemudian menawarkan sesuatu yang sebenarnya juga buruk tapi lebih dapat diterima. Sederhananya, tentu masyarakat akan lebih memilih menormalisasikan kenaikan harga listrik ketimbang harus berhadapan dengan sebuah krisis ekonomi seperti tahun 1998, bukan?

Oleh karena itu, mengacu kembali pada tulisan Higgs, ketakutan masyarakat sebenarnya adalah sesuatu yang perlu terus dijaga agar tetap ada. Mengutip David Hume dalam tulisannya Dissertation of Passions, menjelaskan bahwa umumnya orang mungkin melihat bahwa keutuhan politik suatu negara itu bersandar pada opini publiknya, namun menurut Hume, opini publik itu sendiri sebenarnya bersandar pada rasa takut.

Dengan demikian, sepertinya tidak terlalu imajinatif bagi kita untuk kemudian mengatakan bahwa rasa takut masyarakat adalah sesuatu yang selalu dikontrol oleh pemerintah. Ia selalu dimanipulasi sedemikian rupa agar keseimbangan antara harapan dan rasa takut tetap bisa dijaga. Alhasil, narasi harapan bisa memberikan efek ketenangan agar masyarakat tidak panik ketika terjadi suatu krisis, dan di sisi lain, ketika pemerintah “membutuhkan sesuatu” maka mereka hanya perlu memunculkan kembali rasa takut yang selama ini sudah di-manage.

Fenomena seperti ini lebih umumnya diketahui diberlakukan pada dunia industri. Belakangan, semakin banyak orang yang sadar bahwa rata-rata gaji seorang karyawan di kota besar mungkin memang bisa untuk membeli makanan mewah atau barang elektronik canggih, namun gaji yang mereka dapatkan tidak bisa membelikan mereka rumah. 

Gaji yang diberikan mungkin cukup untuk membuat para kelas pekerja modern hidup, tapi hampir bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan mendapatkan kesejahteraan. Bagi para penguasa, hal ini adalah sesuatu yang baik karena mereka akan mendapatkan lebih sedikit saingan, dan mereka bisa tetap mengeksploitasi para pekerja yang memiliki gaji yang hanya cukup untuk menghidupi kehidupan sehar-hari.

Karena politik dan industri pada dasarnya memiliki sejumlah kesamaan, seperti manajemen sumber daya, maka analogi gaji karyawan tersebut sejatinya cukup sesuai dengan manipulasi ketakutan yang tampaknya sedang dilakukan pemerintah.

Lantas, bagaimana kemudian kita merefleksikan fenomena ini dengan peran para menteri yang memainkannya, khususnya mungkin Luhut dan SM?

Agents of Fear?

Tentunya, pembahasan di atas tidak menegasikan potensi krisis ekonomi. Sebagai negara yang pernah merasakan pahitnya dampak krisis ekonomi, kita memang harus terus mewaspadai setiap gejala-gejala kecil yang muncul agar tidak berakumulasi dan menjadi masalah besar. Dan jelas, ini adalah tanggung jawab para menteri dan kementeriannya. 

Namun, karena politik seringkali berorientasi pada hasil yang spontan, atau singkatnya bersifat pragmatis, maka para aktor yang terlibat langsung dalam aktivitas politik selalu dihadapkan pada sebuah dilema ketakutan. Mantan Wakil Presiden (Wapres) Amerika Serikat (AS), Al Gore dalam tulisannya The Politics of Fear menjelaskan bahwa manajamen rasa takut adalah hal yang fundamental dalam pemerintahan sebuah negara.

Ini kemudian menjadikan mereka yang terlibat langsung dalam aktivitas negara, seperti menteri misalnya, berperan layaknya seorang agen rasa takut atau agent of fear. Suatu negara yang sukses, kata Al Gore, adalah negara yang bisa menyeimbangkan harapan dan rasa takut masyarakatnya, karena rasa takut pun sebenarnya bisa menjadi kunci survival atau keselamatan.

Masalahnya, karena kekuatan rasa takut begitu kuat, maka pemerintah seringkali tergoda untuk melihat rasa takut tersebut seperti hanya sebuah political leverage atau ungkitan politik saja. Sehingga, apa yang terjadi kemudian adalah rasa takut tersebut tidak digunakan untuk kepentingan nasional, melainkan hanya sebagai bantalan agar suatu agenda yang sebenarnya merugikan masyarakat bisa dilumrahkan.

Beberapa waktu terakhir, banyak orang menyoroti keterkaitan antara kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan wacana peningkatan anggaran Ibu Kota Negara (IKN) baru. Karena dua hal tersebut terjadi dalam waktu yang berdekatan, tidak heran bila banyak orang kemudian berasumsi bahwa kenaikan BBM hanyalah sebagai bantalan agar agenda-agenda politik seperti IKN bisa ditunjang.

Sebagai rakyat biasa, sejauh ini tentu kita tidak bisa membenarkan dugaan tersebut. Akan tetapi, sebagai para menteri, dan mungkin, salah satu agents of fear, besar harapan kita bahwa narasi yang sedang dimainkan oleh Luhut dan SM memiliki tujuan yang lebih besar dari hanya sekadar menakut-nakuti masyarakat untuk agenda politik yang sifatnya sementara. (D74)

Exit mobile version