Site icon PinterPolitik.com

Luhut “Sembunyikan” Utang Indonesia?

Luhut"Sembunyikan" Utang Indonesia?

Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: SINDOnews)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah utang luar negeri terkecil. Benarkah hal tersebut? Dan yang lebih penting, kenapa Luhut berkata demikian?


PinterPolitik.com

Utang! Utang! Utang!

Utang negara adalah salah satu topik yang paling menarik untuk dibicarakan, namun seringkali berujung jadi pembicaraan yang menggantung. 

Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan turut bersuara soal utang. Dalam acara groundbreaking Tol Serang-Panimbang Seksi 3 di Pandeglang, Banten, Luhut mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan angka utang terkecil.

Ya, utang Indonesia yang menurut data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KITA) edisi Juli 2022 mencapai angka Rp 7.123 triliun diklaim Luhut lebih kecil dari banyak negara di dunia. Jika menggunakan rasio utang-produk domestik bruto (PDB), Luhut mengatakan angkanya hanya 40 persen.

Sementara itu, banyak negara lain yang rasio utang-PDB-nya mencapai ratusan persen. Ini artinya, kata Luhut, utang Indonesia sudah ter-manage dengan baik.

Tidak hanya bicara soal angka utang, Luhut juga mengucapkan pernyataan lain yang menarik. Katanya, sudah saatnya kita berhenti membohongi rakyat dengan mengatakan Indonesia adalah negara dengan utang terbesar.

Klaim Luhut ini tentu mengundang pertanyaan-pertanyaan besar. 

Apakah benar utang Indonesia memang “kecil”, seperti yang dikatakan Luhut? Atau ada sesuatu yang tidak disebutkan oleh mantan Kepala Staf Kepresidenan tersebut?

Utang Kita Tidak Kecil?

Sudah jelas bahwa klaim yang dilontarkan Luhut sangat perlu untuk kita uji. Namun, sebelumnya kita perlu punya pemahaman yang sama tentang rasio utang-PDB, pengukuran yang sering dijadikan patokan menilai tinggi atau tidaknya utang sebuah negara.

Dengan membandingkan utang suatu negara dengan apa yang dihasilkannya (PDB), rasio utang-PDB mampu menunjukkan kemampuan negara tersebut untuk membayar kembali utangnya. Rasio ini juga dapat diartikan sebagai jumlah tahun yang dibutuhkan untuk membayar kembali utang jika PDB didedikasikan sepenuhnya untuk pembayaran utang.

Nah, kembali ke topik. Seberapa tepat pernyataan Luhut dengan keadaan utang Indonesia yang sebenarnya?

Mengutip data yang dikumpulkan Trading Economics, negara yang memiliki rasio utang-PDB terendah adalah Brunei Darussalam, dengan skor 2,3 persen, lalu disusul Kepulauan Cayman 5,3 persen, dan Afganistan 7,8 persen. Dari data ini kita juga bisa melihat bahwa Indonesia bahkan tidak termasuk dalam 20 besar negara dengan rasio utang-PDB terkecil. Di posisi 20 terdapat Taiwan dengan skor 28,2 persen.

Lalu, di mana Indonesia? Well, negara kita menempati posisi ke-41 dengan rasio utang-GDP yang terlihat berbeda dengan apa yang diklaim Luhut, yakni 38,5 persen. Kalau kembali mengutip data APBN KITA edisi Juli 2022, rasio utang-GDP kita sebesar 39,56 persen.

Bagaimanapun, sebenarnya rasio utang Indonesia masih jauh dari julukan “terkecil”. Ini artinya Luhut sudah mengucapkan sesuatu yang tidak tepat, atau memang kriteria “terkecil” yang dimaksudnya menggunakan perbandingan yang sangat lebar.

Kalaupun Luhut ternyata bermaksud nominal utang terkecil. Utang Indonesia yang mencapai angka Rp 7.000 triliun masih tetap lebih tinggi dari banyak negara berkembang. Mengutip pengamatan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang mengamati data International Debt Statistics dari Bank Dunia, banyak negara berkembang lain yang memiliki nominal utang luar negeri lebih sedikit dari Indonesia.

Vietnam misalnya memiliki utang Rp 1.860 triliun, Thailand Rp 3.034 triliun, dan Filipina Rp 1.398 triliun. Bhima juga menyoroti pertumbuhan angka utang Indonesia yang telah meningkat 30,9 persen sejak tahun 2016. Karena ini, Indonesia disebutnya sebagai salah satu negara lower-middle income country yang jumlah utangnya sangat besar.

Kemudian, faktor terakhir tentang utang Indonesia yang juga tidak bisa kita lupakan adalah perbincangan tentang hidden debt atau utang tersembunyi, yang tidak tercantum dalam laporan utang luar negeri (ULN) Indonesia. 

Pada Oktober 2021 lalu, AidData, laboratorium dari William & Mary’s Global Research Institute menyebutkan ternyata Indonesia memiliki hidden debt kepada Tiongkok sebesar Rp 245 triliun. Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Yustinus Prastowo kala itu menjawabnya dengan mengatakan bahwa utang tersebut merupakan utang non-pemerintah. Itu adalah utang business-to-business (B2B), yang artinya, adalah “urusannya” BUMN dan swasta.

Data dari AidData ini hanya menjadi salah satu bocoran informasi tentang utang non-pemerintah yang terkemuka. Kita tidak bisa menjamin bahwa tidak ada utang-utang tersembunyi lain yang dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan dengan kebijakan negara, khususnya BUMN. 

Dan kita pun tidak boleh melupakan bahwa utang non-pemerintah juga bisa berdampak pada perekonomian negara. Mantan Menteri Pendayagunaan BUMN, Tanri Abeng, sempat mengungkapkan kekhawatirannya terhadap utang BUMN yang kian ikut membengkak bersamaan dengan utang pemerintah. 

Karena pemerintah merupakan pemegang sebagian besar saham BUMN, pasti ada reaksi berantai yang juga membuat pemerintah perlu cari upaya untuk menutupi utang yang dilakukan perusahaan-perusahaan BUMN. Termasuk juga sejumlah upaya untuk terus memberlakukan subsidi-subsidi produk BUMN.

Kekhawatiran serupa pun diungkapkan Bhima Yudhistira, yang mengatakan bahwa kita juga perlu memerhatikan pinjaman yang bisa berubah jadi hidden debt dalam sejumlah proyek BUMN, seperti proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung, yang tadinya direncanakan menggunakan skema B2B, tapi pada akhirnya membutuhkan bantuan APBN.

Dengan segala hal ini, bisa diinterpretasikan bahwa bahwa pernyataan Luhut tidak menggambarkan keadaan utang Indonesia dengan lengkap. Dan yang utamanya, Indonesia masih jauh dari julukan negara dengan utang terkecil.

Lantas, kira-kira kenapa Luhut berkata demikian?

Luhut Ingin Redam Keresahan?

Sepertinya sudah jadi pengetahuan umum bahwa politisi sering melakukan kebohongan. Kontradiksi apa yang disampaikan politisi ketika kampanye dan ketika mereka menjabat sering kali dijadikan indikator utamanya. 

Kalau kita sekiranya punya kesempatan berbincang dengan seorang pejabat dan bertanya kenapa mereka sering berbohong, jawaban mereka pasti tidak jauh dari: “sebagian orang tidak bisa menerima kenyataan” dan “kebohongan ini perlu dilakukan karena punya tujuan mulia”. Alasan yang terakhir memiliki istilah noble lie dari filsuf Yunani, Plato, yakni kebohongan untuk tujuan baik.

Lantas, mungkinkah ketidaktepatan pernyataan Luhut tentang utang Indonesia juga merupakan sebuah noble lie? Well, bisa saja, tapi dalam mengartikan kebohongan yang mulia, kita pun perlu merefleksikannya pada konteks yang sedang terjadi.

Belakangan ini marak berita tentang kenaikan beberapa jasa dan bahan-bahan pokok. Mulai dari tarif ojek online (ojol), tiket pesawat, sampai harga minyak goreng, yang menjadi serpihan-serpihan puzzle tentang keadaan ekonomi Indonesia yang sebenarnya. 

Jikalau memang suatu badai ekonomi tengah menghampiri banyak negara, termasuk Indonesia, maka Luhut mungkin merasa perlu melakukan sebuah kebohongan agar tidak terjadi keresahan yang berujung pada ketidak percayaan publik pada pemerintah.

Hal demikian dijelaskan oleh ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), John Mearsheimer dalam bukunya Why Leaders Lie?. Kata Mearsheimer, salah satu alasan kuat kenapa politisi sering berbohong adalah untuk menjaga kohesi masyarakat.

Namun, terkait konteks pernyataan Luhut, tepatkah kebohongan ini dilakukan? 

Indonesia Adalah Negara Logokrasi?

Steve Ellen dalam tulisannya Political lies, white lies and damned lies, menyinggung tentang sebuah istilah yang berbunyi white lies. Ini adalah kebohongan yang sering dilakukan politisi untuk menghindari kekhawatiran publik. Kebohongan ini seringkali merupakan pernyataan baik yang berlebihan, untuk menutupi keadaan sebenarnya yang dapat membuat orang-orang marah. 

Namun sayangnya, white lie yang manis memiliki potensi menyetir pendapat publik ke pemahaman yang keliru. Karena kita sering diberi pemahaman bahwa keadaan ekonomi Indonesia baik-baik saja, kita akan selalu berpikiran positif bahwa semuanya akan berjalan sebagai mana mestinya. Padahal, bisa saja sebenarnya semua kini tengah dalam keadaan yang berbahaya.

Dan itu sebenarnya adalah komposisi dasar dari suatu krisis. Dalam artikel PinterPolitik berjudul “Kiamat Ekonomi” Jokowi dari Karawang?, dijelaskan bahwa suatu krisis ekonomi tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan akibat akumulasi sejumlah masalah keuangan kecil yang luput jadi perhatian publik.

Maka dari itu, para politisi juga perlu menyadari bahwa ada masanya kebohongan dibatasi. Kalau kebohongan yang dilakukan membuat publik tidak sadar akan keadaan yang sebenarnya, maka mungkin lebih baik jika kebenaran diungkapkan secara perlahan-lahan.

Namun, ini semua tentu hanya interpretasi belaka. Jika Luhut memang berkata kurang tepat dan tujuannya adalah untuk menghindari keresahan rakyat, maka ini membuktikan bahwa Indonesia tengah mengarah menjadi sebuah negara logokrasi, yakni sebuah pemerintahan yang kedaulatannya didasarkan pada kata-kata.

Konsep ini dikemukakan oleh sejarawan AS, Washington Irving dalam tulisannya Salmagundi. Irving mengatakan bahwa pernyataan seorang pejabat mampu memanipulasi realita yang terjadi di negaranya, sehingga apa yang dirasakan masyarakat tersebut mungkin saja sangat berbeda dengan realita yang sedang terjadi di dunia.

Czesław Miłosz, penulis Nobel dari AS, menyebut bahwa Uni Soviet menjadi bukti terkuat bagaimana logokrasi dijalankan. Soviet mampu memanipulasi penggunaan kata-kata dalam kamus bahasa Rusia sebagai kepingan propaganda melawan ide-ide Barat dan mencegah perlawanan terhadap penguasa. 

Akibatnya, hingga sekarang warga Rusia kerap melihat Barat dan kapitalisme sebagai sebuah kejahatan yang perlu dilawan. Lalu kepemimpinan diktator adalah sesuatu yang wajar.

Tentu, kebohongan yang dilakukan para pejabat Indonesia belum sampai ke level Soviet ini, tapi kita juga perlu mulai memerhatikan bagaimana penggunaan kata-kata yang cantik dalam pernyataan sejumlah politisi Indonesia kerap jadi landasan realitas yang harus diterima oleh masyarakat. Pemahaman tentang utang negara yang keliru ini menjadi salah satunya.

Akhir kata, kita harap saja segala permasalahan yang diketahui ataupun tidak diketahui publik bisa diurus dengan seefektif mungkin oleh mereka yang tahu keadaan sebenarnya. (D74)

Exit mobile version