HomeNalar PolitikLuhut Rugi Bila Trump Kalah?

Luhut Rugi Bila Trump Kalah?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #20

Fareed Zakaria mempredikisi bahwa Donald Trump tidak akan menang dalam Pilpres AS 2020 mendatang jika berkaca pada relevansi isu sosial politik terkini. Lantas jika prediksi tersebut benar, akankah hal tersebut merugikan Indonesia yang baru saja mendapat penetrasi penjajakan investasi menjanjikan dari negeri Paman Sam?


PinterPolitik.com

Pertarungan antara Donald Trump dan Joe Biden dalam ajang Pilpres Amerika Serikat (AS) kian dekat. Bersamaan dengan itu, berbagai analisa dan prediksi mengenai hasil akhir beserta dampaknya terus mengemuka.

Termasuk yang datang dari jurnalis dan analis politik terkemuka AS, Fareed Zakaria yang pekan lalu memprediksi bahwa Trump sebagai petahana akan kalah pada kontestasi elektoral November mendatang.

Dalam tulisan terbarunya di The Washington Post, Zakaria memprediksi bahwa hasil akhir Pilpres mendatang akan membuat Trump kehilangan singgasananya di White House.

Meski pada Pilpres 2016 sempat memprediksi hal yang sama namun berbuah kekeliruan, dengan mengacu pada relevansi isu sosial dan politik kekinian, Zakaria sangat optimis prediksinya kali ini akan teraktualisasi.

Pada tahun 2016, Zakaria menyebut kemenangan Trump dikatakan hanya merupakan keberuntungan karena bersaing dengan Hillary Clinton, lawan yang paling tidak populer dalam sejarah Amerika modern, selain Trump sendiri.

Memang terdapat faktor pendukung lain seperti apa yang disampaikan Anthony Zurcher dalam US Election 2016 Results bahwa gelombang dukungan dari warga kulit putih dan status outsider-nya.

Alasan terkuat Zakaria memprediksi Trump akan kalah ialah karena Amerika sedang berubah. Pandemi Covid-19 menjadi variabel penasbih yang membuat publik AS menyadari efek negatif karakter dan retorika Trump selama ini, utamanya bagi demokrasi, kohesivitas rakyat AS, dan sosial politik domestik.

Salah satu refleksinya ialah dukungan inti untuk Trump dari kalangan kulit putih AS yang menjadi kekuatan di 2016 terus menyusut, dan hal yang sebaliknya terjadi pada Biden.

Padahal jika ditarik pada korelasi konteks domestik Indonesia, delegasi investor pemerintah AS yang notabene masih di bawah kepemimpinan Trump baru saja melakukan penjajakan monumental pada akhir pekan lalu di mana salah satunya bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk merajut keseriusan kerja sama yang lebih dalam. Artinya jika Trump kalah, kemungkinan menjadi terbuka bagi perubahan arah kerja sama tersebut.

Lantas pertanyaannya, apakah prediksi-prediksi seperti yang Zakaria lakukan menjadi penting bagi hasil akhir Pilpres? Serta adakah dampak signifikan tertentu dari hasil akhir itu bagi kelanjutan manuver politik luar negeri AS via permufakatan investasi di Indonesia yang baru saja dilakukan?

Berpengaruh Signifikan?

Robert S. Erikson dan Christopher Wlezien dalam Markets vs Polls as Election Predictors: An Historical Assessment menjelaskan konsep political atau election forecasting sebagai bentuk prediksi-prediksi atas kontestasi elektoral AS, terutama Pilpres.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Sebelum prediksi berbentuk polling saintifik “ditemukan”, betting odds atau menaruh prediksi disebut berkorelasi kuat dengan hasil Pemilu. Kemudian pada tahun 1936, opinion polls – yang mana berangkat dari bagaimana publik menerjemahkan karakteristik kandidat yang bertarung dengan relevansi isu yang ada – menjadi dasar dari political forecasting yang jamak dikenal saat ini.

Dari bentuk opinions polls itulah muncul political forecasting berupa analisa komprehensif dari para analis maupun ahli politik, termasuk dengan apa yang Zakaria lakukan atas prediksi kekalahan Trump pada November mendatang.

Sementara jika berbicara esensinya, James E. Campbell and Thomas E. Mann dalam Forecasting the Presidential Election: What can we learn from the models? mengatakan bahwa political forecasting menawarkan postulat dan petunjuk yang berguna bagi para pemilih untuk memastikan relevansi perspektifnya terhadap realita politik yang mereka lihat, pikir, atau rasakan.

Esensi tersebut tampaknya mengejawantahkan bahwa fungsi dari prediksi-prediksi tetap tak berubah dan dapat berkorelasi kuat dengan hasil pemilu, bahkan sebelum polling saintifik dikenal pada medio 1930-an seperti yang dikemukakan Erikson dan Wleizen sebelumnya.

Penanganan pandemi Covid-19 hingga bagaimana merespons kasus Black Lives Matter yang dikomandoi Presiden Trump bisa dikatakan memang berpengaruh besar bagi citranya.

Tanpa dijabarkan secara mendetail pun, publik AS pun mungkin saja langsung memiliki jawaban bertendensi minor atas impresi kepemimpinan Trump di alam bawah sadar mereka.

Landasan prediksi Zakaria atas kekalahan Trump dapat dikatakan membenarkan hal tersebut. Mulai dari rasisme yang ditampilkan secara “vulgar”, ketidakpedulian atas dan tidak ditunjukkannya kepekaan, hingga sikap exceptionalism yang justru kontraproduktif bagi penanganan pandemi beserta dampak turunannya di AS.

Terlebih dalam setiap jajak pendapat Pilpres 2020, publik AS selalu menaruh fokus perhatian pada seluruh konteks yang disebutkan Zakaria itu. Artinya pada titik ini, political forecasting kemungkinan akan cukup menentukan jika berkaca pada esensinya dalam memastikan signifikansi perspektifnya terhadap realita politik yang mereka rasakan seperti yang dikemukakan oleh Campbell dan Mann sebelumnya.

Lalu pertanyaanya, adakah dampak secara langsung yang Indonesia dapat alami jika Trump benar-benar kalah dari Biden? Mengingat pemerintah AS baru saja membuka kerja sama di bidang investasi yang cukup serius dan menjanjikan pada akhir pekan lalu.

Trump Lebih Menguntungkan?

Belum ada yang dapat memastikan bagaimana hasil akhir Pilpres 2020 akan berpengaruh pada kebijakan luar negeri AS terhadap negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Akan tetapi, penjajakan terbaru yang dilakukan delegasi AS untuk menanamkan investasinya di tanah air dinilai merupakan gelagat tersendiri dari manuver teranyar negeri Paman Sam, khususnya di bidang ekonomi dan politik luar negeri.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Ya, sepanjang akhir pekan kemarin delegasi investor AS melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Kadin, Rosan Perkasa Roeslani serta Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan

Komposisi delegasi itu sendiri terdiri dari Development Finance Corporation (DFC), Bank Ekspor Impor (Exim) AS, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, hingga Departemen Energi AS.

CEO International Development Finance Corporation, Adam Boehler yang merupakan bagian dari delegasi tersebut, mengatakan bahwa komposisi delegasi tersebut sangat tidak biasa, dan pernyataan ini tentu memiliki signifikansi makna tersendiri yang dinilai mungkin saja dapat menggambarkan arah baru politik luar negeri AS.

Seperti yang umum diketahui, kebijakan dan strategi proteksionis Trump dalam menghadapi perang dagang dengan Tiongkok membuat keterbukaan dan penetrasi investasi AS ke negara-negara partner klasiknya sedikit terhambat, meski tak seluruhnya.

Selain itu, Fareed Zakaria pun pernah menyoroti degradasi global leadership atau kepemimpinan global AS dalam The Decline of U.S. Influence is the Great Global Story of Our Age, utamanya di bawah gaya kepemimpinan berbumbu retorika Trump yang membuat politik luar negeri AS terkesan statis.

Mungkin saja terdapat kekeliruan atas berbagai analisa serta isu yang masih terus berkembang yang mengatakan bahwa Trump akan mempertahankan gaya politik luar negeri statisnya yang ditunjukkannya selama ini.

Terutama yang bertepatan dan menjelang Pilpres 2020 dan ditunjukkan dengan manuver rencana investasi terbaru yang “tidak biasa” di Indonesia, di saat eksistensi Trump di White House masih memiliki harapan.

Artinya, kesepakatan yang tampaknya “disukai” Luhut itu boleh jadi merupakan perubahan fundamental serta titik balik yang menepis skeptisme terhadap manuver politik luar negeri AS selama ini di bawah komando Trump.

Namun demikian, terdapat pula kemungkinan bahwa kerja sama menggiurkan yang baru saja ditunjukkan AS kepada Indonesia memang berlandaskan pragmatisme belaka dari realita pasar yang ada, serta dapat saja tetap dilakukan dengan atau tanpa Trump sebagai kepala negara.

Pada titik ini, political forecast seperti yang Zakaria lakukan dinilai dapat berpengaruh terhadap output perspektif hingga arah suara publik seperti yang disampaikan Campbell dan Mann sebelumnya, menjadikan esensi prediksi tersebut sesungguhnya memiliki signifikansi tersendiri yang dapat berpengaruh terhadap negara lain, termasuk Indonesia.

Lalu, akankah Trump kalah seperti apa yang Zakaria ramalkan dan membuat investasi terbaru AS di Indonesia terhambat? Atau justru siapapun pemenang Pilpres AS kelak tak akan berpengaruh pada kepentingan bermotif ekonomi politik negeri Paman Sam itu? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?