Site icon PinterPolitik.com

Luhut Peringatkan Sandi via Borobudur?

sandiaga uno dan luhut pandjaitan

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kepala Bekraf) Sandiaga Salahuddin Uno dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan. (Foto: Kemenko Marves)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan gagasan kenaikan tarif wisata Candi Borobudur. Lantas, apa yang bisa dimaknai dari ide yang disampaikan langsung oleh Luhut?


PinterPolitik.com

Lagi-lagi Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) kembali menjadi aktor pemantik gagasan level nasional yang langsung memicu kehebohan publik.

Kali ini, Luhut berbicara mengenai bidang yang mungkin lebih cocok dikemukakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno karena diskursusnya terkait ikon legendaris pariwisata Indonesia, Candi Borobudur.

Ya, publik tanah air belakangan ini resah akibat pernyataan Luhut yang mengungkapkan adanya gagasan tambahan tarif sebesar Rp750 ribu bagi turis domestik untuk masuk ke pelataran inti Candi Borobudur.

Luhut sendiri mengaku sudah mendengar keresahan masyarakat itu dan telah memerintahkan pihak-pihak terkait untuk mengkaji ulang agar tarif itu bisa diturunkan.

Meskipun belakangan ini rekam jejak Luhut acap kali telah dimaklumi saat berbicara mengenai banyak sektor, tetap saja sorotan juga mengemuka dan mempertanyakan reaksi Sandiaga Uno sebagai aktor paling relevan yang hingga kini masih belum berkomentar.

Netizen bahkan justru langsung mengadu pada Sandi soal kenaikan tarif hingga berkelakar dan mempertanyakan soal job-desc-nya yang “ditikung” oleh Luhut.

Lantas, mengapa sosok Luhut yang justru mengemukakan diskursus mengenai Borobudur sebagai ikon legendaris pariwisata Indonesia itu dan bukan Sandiaga Uno? Adakah makna politik tertentu dari gestur tersebut?

Warisan Simbol Politik Syailendra?

Selain dikenal sebagai lokasi wisata, Candi Borobudur sejatinya merupakan lokasi sakral untuk peribadatan umat Budha. Sejarahnya, Candi ini sempat “hilang” dan baru ditemukan pada tahun 1814.

Sir Thomas Stamford Raffles sebagai kepala pemerintahan kala itu mendapat laporan penemuan batu-batu berukir di bukit sekitar desa Bumisegoro, Karesidenan Magelang. Dia kemudian memerintahkan penelitian lebih lanjut dan menemukan bahwa ternyata tumpukan batu-batu itu adalah peninggalan bersejarah.

Setelah Indonesia merdeka, Candi Borobudur diresmikan menjadi tempat wisata pada 15 Juli 1980. Selang satu dekade kemudian, Candi ini ditetapkan sebagai Pusaka Budaya Dunia oleh UNESCO pada 1991.

Meskipun terdapat beberapa versi, terdapat satu yang menarik terkait analisis akar sejarah pembuatan Candi Borobudur. John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas menjelaskan bahwa selain fungsi utamanya dalam perspektif ajaran Budha, Candi Borobudur juga dikatakan sebagai simbol kekuatan politik penguasa, yakni kerajaan Syailendra.

Pada abad ke-7 Masehi, Dinasti Syailendra yang merupakan penganut agama Buddha Mahayana berupaya memperluas kekuasaannya hingga tanah Jawa. Pada era Jawa Kuno sendiri, tradisi Budha tidak memiliki popularitas yang sepadan dengan tradisi Hindu. Kala itu, mayoritas candi dan arca didedikasikan untuk Siwa dan Wisnu.

Soekomo dalam bukunya yang berjudul Candi Borobudur mengatakan bahwa ajaran Budha berkaitan erat dengan dinasti yang berkuasa, yakni kerajaan Syailendra, yang kemudian bertransformasi menjadi kekuatan dominan dalam perpolitikan Jawa Kuno.

Pembangunan Candi Borobudur yang terletak berdekatan dengan Gunung Tidar – yang secara filosofi disebut pancang tanah Jawa – dinilai merupakan simbol politik yang kuat atas kekuasaan dinasti Syailendra yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Samaratungga, di tengah-tengah kemapanan ajaran Hindu.

Di era kekinian yang mana Borobudur telah menjadi ikon pariwisata prominen, agaknya tetap tak bisa dilepaskan dari korelasi politik, khususnya dalam dinamika tata kelolanya. Hal itu sebagaimana dijabarkan Marie-Françoise Lanfant dalam International tourism: Identity and change yang mengatakan bahwa aspek pariwisata melibatkan berbagai kepentingan yang saling bersaing, termasuk politik.

Dalam pengelolaannya, sering kali sangat sulit untuk membedakan kepentingan endogen, yang terkait dinamika domestik, dan efek eksogen, yakni kepentingan yang berasal dari eksternal.

Jason Douglas dalam What’s political ecology got to do with tourism? menjelaskan lebih lanjut bahwa kebijakan pariwisata nasional secara komprehensif harus dilihat dengan pendekatan multi-skalar dan konsekuensi kontemporer dari pariwisata dengan ekologi politik.

Pada intinya, Douglas melihat adanya hubungan saling terkait dalam konteks kebijakan di sektor pariwisata dengan faktor politik, ekonomi, dan sosial.

Hal itu pula yang terjadi pada Candi Borobudur. Tod Jones dan Riwanto Tirtosudarmo dalam publikasinya yang berjudul Cultural heritage: The politics of pictures of Indonesia mengatakan bahwa persoalan politik kerap menjadi batu sandungan pengelolaan warisan cagar budaya di Indonesia.

Jones dan Tirtosudarmo menyoroti pengelolaan tata ruang, khususnya legislasi perencanaan cagar budaya yang lemah, merupakan masalah utama di seluruh Indonesia. Hal tersebut berdampak pada kerangka kerja pengelolaan warisan cagar budaya menjadi lemah dan tidak pasti.

Selain itu, desentralisasi kekuasaan politik kerap meninggalkan intrik karena memberikan ruang bagi politisi lokal dan elite lokal untuk pengelolaan dengan akuntabilitas yang tak jarang dipertanyakan. Meskipun legislasi Borobudur berada di bawah undang-undang nasional, aspek tata kelolanya masih kerap mengalami pasang surut.

Hal terakhir yang menjadi perhatian Jones dan Tirtosudarmo adalah bahwa masyarakat dan kelompok lokal sering tidak diperhitungkan dalam pertimbangan elite politik dalam tata kelola

Serangkaian esensi sorotan Jones dan Tirtosudarmo serta korelasinya dengan eksistensi Borobudur sebagai simbol politik itu kiranya tepat sebagai perspektif untuk melihat gagasan kenaikan tarif yang dikemukakan Luhut.

Bahwasanya, boleh jadi gagasan yang berasal langsung dari Luhut memiliki makna politik tertentu dalam dimensi yang berbeda. Khususnya, terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian lain yang lebih relevan, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang dipimpin Sandiaga Uno.

Benarkah itu merupakan kode tertentu dari Luhut kepada Sandi? Apakah itu?

Warning Luhut Pada Sandi?

Memang, tidak ada pesan tersurat dari Luhut bahwa korelasi gagasan tata kelola berupa kenaikan tarif masuk pelataran inti Candi Borobudur itu bersinggungan dengan Sandiaga Uno.

Akan tetapi, jika menengok ke riwayat teranyar “intervensi” Luhut dalam kebijakan yang sedang berkembang, selalu terkait dengan kementerian yang sedang disorot karena kinerjanya.

Sebut saja ketika Luhut dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengurus minyak goreng pasca terungkapnya praktik kongkalikong di Kementerian Perdagangan yang diampu Muhammad Lutfi.

Roi Wagner dalam publikasi yang berjudul Symbolic Animals mengutip filsuf Jerman bernama Ernst Cassirer dan menyebut bahwa manusia adalah animal symbolicum atau makhluk yang senantiasa memproduksi simbol-simbol tertentu.

Konteks yang dijabarkan Wagner serupa dengan animal rationale dari Aristoteles, bahwasanya rasionalitas memang merupakan sifat intrinsik dalam diri manusia.

Menurut Cassirer, simbol adalah medium yang menghubungkan manusia dengan realitas. Dengan kata lain, secara alamiah dan kontinu, manusia akan selalu memproduksi simbol agar dapat memahami sekaligus membahasakan sesuatu.

Jika refleksi itu diselaraskan pada simbolisme politik dinasti Syailendra hingga esensi ekologi politik pariwisata yang dikemukakan Douglas, campur tangan Luhut dalam konteks Candi Borobudur agaknya memang memiliki makna tertentu, terutama bagi Sandiaga Uno.

Selama memimpin Kemenparekraf, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu tak jarang dinilai hanya melakukan pekerjaan plesiran. Padahal, akselerasi kebijakan pariwisata yang konkret sangat dibutuhkan untuk bangkit pasca pandemi yang menghambat geliatnya.

Padahal, dalam Tourism politics and political science: A case of not so benign neglect, Linda K. Richter mengatakan bahwa pariwisata saat ini merupakan komoditas terbesar kedua dalam perdagangan dunia dan selalu menjadi topik politik sub-nasional.

Meski dibutuhkan, publisitas pariwisata yang dikedepankan Sandiaga selama ini kemungkinan diterjemahkan sejumlah pihak masih belum cukup. Dan boleh jadi analisa itu pun sampai ke meja Presiden, yang mana salah satu konteksnya yakni terkait tata kelola Borobudur dan didelegasikan kepada Luhut.

Jika diinterpretasikan, Luhut yang seolah “menikung” pekerjaan Sandiaga merupakan simbol sindiran sekaligus peringatan bagi mantan wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

Selain sindiran untuk segera memperbaiki kinerja atas kebijakan pengelolaan pariwisata unggulan yang riil seperti Candi Borobudur, bisa saja gestur Luhut ditafsirkan sebagai peringatan.

Ya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno belum lama ini mengungkapkan rencana reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi. Walaupun belum secara gamblang, Pratikno menyiratkan bahwa kabar seputar reshuffle akan dibocorkan sedikit demi sedikit.

Dalam kesempatan yang sama, Pratikno juga menyinggung bahwa fokus bekerja sesuai kepercayaan yang diemban menjadi bagian dari pertimbangan reshuffle jika memang jadi dilakukan.

Akan tetapi, kemungkinan simbol politik Luhut dalam konteks Borobudur, korelasinya dengan Sandiaga Uno, dan isu reshuffle di atas tentu masih terkaan semata. Yang jelas, diharapkan kegaduhan mengenai isu ini tidak berakhir dengan keputusan yang akan mengurangi antusiasme dan atensi masyarakat terhadap ikon bangsa sekaligus cagar budaya seperti Borobudur.

Dan yang tak kalah penting, setiap kebijakan yang telah mendapat perhatian masif dan menyangkut banyak pihak memang segera harus diatasi dengan komprehensif, dalam sektor apapun itu. (J61)

Exit mobile version