Site icon PinterPolitik.com

Luhut-Kunto Arief, “Roller Coaster” Karier Para Jenderal

kunto arief wibowo

Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo saat masih menjabat Pangdam III/Siliwangi menyambut kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Subang, Jawa Barat pada 27 Desember 2022 lalu. (Foto: Penerangan Kodam III/Siliwangi)

Pergeseran jabatan Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo dari Pangdam III/Siliwangi menjadi Wadankodilatad tampaknya cukup menarik untuk diamati. Itu dikarenakan, Kunto sempat mengekspresikan pandangan politiknya dalam sebuah kolom tulisan di salah satu media. Lalu, mungkinkah itu benar-benar berkorelasi dan “mengancam” kariernya? 


PinterPolitik.com 

Bukan bermaksud menggiringnya ke ranah bertendensi politis, akan tetapi, pergantian jabatan Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo dari Pangdam III/Siliwangi menjadi Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI AD (Wadankodiklatad) tampak sedikit mengganjal. 

Terlebih, hal itu terjadi setelah Mayjen Kunto sempat mengekspresikan perspektif politiknya yang cukup tajam melalui sebuah kolom tulisan di media massa. 

Dalam sebuah artikel berjudul Etika Menuju 2024 yang dipublikasikan Kompas.com pada 10 April 2023 lalu, Mayjen Kunto seolah mengungkapkan kegelisahan atas jamaknya provokasi tak bertanggung jawab. Utamanya, yang terjadi dalam komunikasi politik kekinian yang justru berpotensi memantik ancaman bagi pertahanan dan keamanan negara. 

Di penghujung tulisan, dia menyinggung peran krusial yang belum sepenuhnya ditunaikan partai politik (parpol) yang secara formal dapat mengelola komunikasi politik di ruang demokrasi. 

“Lembaga inilah (parpol) yang akan menggodok semua kepentingan politik, sekaligus bertanggung jawab mendewasakan pemilihnya, kadernya, dan publik secara luas. Akan tetapi, andai Parpol tidak peduli terhadap itu, maka jelas tubuh parpol sendiri juga bermasalah dalam mewujudkan komunikasi politik yang beradab,” begitu tegas Mayjen Kunto. 

Menariknya, seolah memberikan ultimatum, yakni jika ketidakpedulian tetap terjadi dan semakin menguat, maka demi alasan pertahanan dan keamanan, Mayjen Kunto mengatakan TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi. 

Kembali ke posisi yang kini diamanatkan kepada Mayjen Kunto setelahnya sebagai Wadankodiklatad, interpretasi mengganjal sepertinya cukup sulit dihindari. 

Padahal, posisi Pangdam III/Siliwangi kerap disebut sebagai batu loncatan bagi banyak perwira tinggi menuju karier yang cemerlang. 

Sebut saja eks Pangdam III/Siliwangi seperti Letjen TNI Agus Subiyanto yang kini merupakan Wakasad, Letjen TNI (Purn.) Besar Harto Karyawan yang pernah menjadi Pangkostrad, Letjen TNI (Purn.) Doni Monardo yang pernah dipercaya menjadi Kepala BNPB, serta Letjen TNI (Purn.) Muhammad Herindra yang kini merupakan Wamenhan.  

Itu belum termasuk nama Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko yang merupakan Panglima TNI ke-18, hingga Jenderal TNI (Purn.) Pramono Edhie Wibowo yang menjadi KSAD ke-27. 

Pun, dengan nama-nama legendaris pengampu teritori Jawa Barat dan Banten di masa lalu seperti Jenderal Besar TNI (Purn.) A.H. Nasution, Mayjen TNI (Purn.) Dr. Moestopo, hingga Kolonel Inf. (Purn.) Alex Evert Kawilarang. 

Apalagi, batu loncatan karier itu menjadi variabel konstruktif lebih bagi mereka yang punya koneksi seperti Mayjen Kunto yang merupakan putra legenda hidup militer dan pemerintahan, yakni Try Sutrisno (Panglima ke-9 ABRI dan Wakil Presiden ke-6 RI). 

Dalam publikasi berjudul Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia, Natalie Sambhi turut menyiratkan hal tersebut. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak memiliki pengalaman relasi dengan militer berupaya membentuk hubungan sipil-militer dengan hubungan antargenerasi dengan Orde Baru (Orba). 

Hal itu terlihat dari sampel karier apik Panglima TNI ke-21 Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa yang merupakan menantu Jenderal TNI (HOR) (Purn.) A.M. Hendropriyono. Lalu, ada Pangkostrad Letjen TNI Maruli Simanjuntak, sang menantu Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan. 

Meski tak melulu dapat menentukan takdir posisi berikutnya dari seorang perwira tinggi, mengacu pada riwayatnya, jabatan Wadankodiklatad yang diampu Mayjen Kunto sendiri seolah memang kurang ideal. 

Posisi sang wakil punya catatan yang berbeda dengan eks Dankodiklatad yang memiliki riwayat karier mumpuni, seperti yang pernah dijabat Jenderal TNI (HOR) (Purn.) A.M. Hendropriyono, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, hingga Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa. 

Apalagi, sebagai abiturien AKABRI 1992, Mayjen Kunto kerap diproyeksikan memiliki karier moncer di TNI bersama beberapa kompatriotnya. Termasuk untuk mengisi pos KSAD maupun Panglima TNI. 

Malah kini, dirinya seolah “tertinggal” dari rekan se-lichting-nya yang telah menyandang bintang tiga di pundak mereka. Mulai dari Letjen TNI Maruli Simanjuntak (Pangkostrad) serta Letjen TNI Richard Tampubolon yang kini menjabat Pangkogabwilhan III. 

Itu belum termasuk penggantinya sebagai Pangdam III/Siliwangi, yakni Mayjen TNI Erwin Djatniko yang merupakan lulusan terbaik (Adhi Makayasa) angkatan 1992 matra darat. 

Lalu, bagaimana sebenarnya probabilitas korelasi ekspresi politik Mayjen Kunto sebelumnya dengan posisi yang dijabat saat ini?

Auto-Persepsi Politik Militer? 

Kendati penggeseran Mayjen Kunto sebagai Wadankodiklatad yang disebut memiliki tendensi tertentu pasti akan dibantah oleh pihak terkait, “persepsi” yang mengarah ke sana kiranya tetap tak dapat dihindari. 

Salah satu filsuf epistemologi terbesar dalam sejarah, David Hume dalam bukunya A Treatise of Human Nature dapat membantu memahami esensi “persepsi” yang kadung eksis saat mengkorelasikan faktor tertentu di balik penggeseran Mayjen Kunto ke posisi yang tampak kurang strategis. 

Menurut Hume, segala bentuk penangkapan individu terhadap realitas – yang disebut dengan persepsi – terbentuk dari dua hal esensial, yakni impresi dan ide. 

Persepsi yang lebih kuat (sensasi, gairah, dan emosi) disebut dengan impresi. Sementara persepsi yang lebih lemah (pemikiran dan penalaran) disebut dengan ide. 

Menurut pemikiran Hume, kombinasi keduanya menentukan bagaimana persepsi individu atas realitas dan peristiwa. 

Singkatnya, kontras dengan penganut positivisme, telaah Hume menyatakan bahwa manusia tidak pernah memikirkan hal baru. Itu dikarenakan penilainnya selalu merujuk dan dicocokkan dengan memori yang telah dimiliki sebelumnya. 

Dalam persepsi khalayak selama ini atas tendensi tertentu di balik penggeseran jabatan seorang perwira tinggi dari yang strategis ke posisi sebaliknya, agaknya juga tak dapat dilepaskan dari konstruksi impresi plus ide dan memori selama ini. 

Mereka yang pernah mengalaminya salah satunya adalah Jenderal Besar TNI (Purn.) A.H. Nasution saat “ditendang ke atas” dari posisi KSAD menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) pada tahun 1962. Penyebabnya, kerap dikatakan akibat prahara politik yang eksis setelah Jenderal Nasution mulai aktif mengkritik Presiden ke-1 RI Soekarno. 

Sampel berikutnya adalah Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan yang kariernya stagnan karena menjadi korban de-benny-sasi di masa Orba.

Ya, karier Luhut yang dinilai orang dekat Jenderal Benny Moerdani – sosok yang kemudian dianggap berseberangan dengan Presiden ke-2 Soeharto – suram di era Orba. Meski, skenario karier Luhut bagai roller coaster setelah Reformasi, terutama saat dirinya menjadi kunci pemerintahan Jokowi. 

Berikutnya, ada Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang aktif mengekspresikan pandangan politiknya saat masih menjabat Panglima TNI (2015-2017) dan bermuara pada impresinya yang “dipensiun-dinikan”.  

Namun demikian, interpretasi di sisi berbeda hadir saat penggeseran sebagai Wadankodilkatad bisa saja merupakan “hukuman sementara” maupun “ujian” bagi Mayjen Kunto sebelum, misalnya, dinaikkan menjadi Dankodiklatad – batu loncatan karier yang apik lainnya bagi karier sejumlah jenderal seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya. 

Lalu, bergeser ke ranah yang lebih substansial, yakni apakah sebenarnya ekspresi politik Mayjen Kunto benar-benar “haram” dan harus diganjar dengan penggeseran jabatan yang telanjur dipersepsikan demikian?

Mayjen Kunto Tak Salah? 

Sebagai institusi yang berkontribusi aktif bagi kemerdekaan hingga menjadi kunci kekuasaan di era Orba, TNI memang punya DNA politik dan pemerintahan yang begitu kental dan terwariskan. Termasuk secara persepsi sebagaimana dijelaskan Hume. 

Keterlibatan para serdadu dalam politik dan pemerintahan, baik saat purna tugas ataupun ketika masih aktif, kerap mereka tafsirkan sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada negara. Itu menjadi justifikasi di samping adagium klasik “tentara bisa melakukan apa saja”. 

Setidaknya, justifikasi itu yang tampak menggeser amanat Reformasi (penghapusan peran militer aktif dalam pemerintahan) dengan melebarnya jabatan sipil bagi militer saat ini. 

Namun, dalam konteks ekspresi politik – terutama yang terkesan menyinggung kekuasaan – yang datang dari sosok militer aktif kiranya hanya sebatas anomali. 

Jika ditinjau secara aturan, boleh atau tidaknya ekspresi politik militer aktif di Indonesia pun masih cenderung abu-abu. 

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (AS), serdadu aktif diperbolehkan berbicara mengekspresikan pandangan politiknya, seperti dengan menulis di kolom media massa. Bahkan, ekspresi itu tak jarang dijadikan masukan serta analisis pertahanan dan keamanan negara. 

Sementara itu, secara etika, ekspresi politik memang kurang sesuai untuk diutarakan dalam koridor profesionalitas angkatan bersenjata. 

Akan tetapi, di sisi lain, profesionalitas angkatan bersenjata yang justru tampak begitu tunduk kepada kekuasaan juga berpotensi “disalahgunakan”.  

Oleh karena itu, dalam derajat tertentu yang abstrak dan hampir mustahil untuk “diregulasi”, ekspresi politik seperti yang dikemukakan Mayjen Kunto agaknya memang dibutuhkan. 

Bukan tidak mungkin, keresahan Mayjen Kunto juga mewakili banyak tentara yang saat ini hanya menyaksikan dan merasakan dampak dari lakon politik plus perebutan kekuasaan. 

Apalagi, untuk pertama kalinya sejak era Reformasi, ekspresi kerisauan terhadap situasi politik semacam itu datang dari jenderal TNI aktif. 

Juru bicara (Jubir) Presiden ke-4 RI  Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Adhie Massardi turut menerjemahkan apa yang berusaha dimaksud Mayjen Kunto. 

Ekspresi jenderal bintang dua itu dikaitkan Massardi dengan kehidupan sosial politik dan bernegara saat ini dinilai sedang amburadul.  

Itu dikarenakan, pelanggaran konstitusi menurutnya tak pernah mendapat sanksi. Sementara itu, tiga cabang kekuasaan disebut Adhie berada dalam cengkeraman tangan (ketua umum) parpol. 

Sedangkan, lanjut Adhie, parpol tunduk pada perintah para pemilik uang (oligarki) yang kini dianggap bisa “mengatur” untuk memuluskan kepentingan mereka dalam menguasai sumber daya kehidupan Indonesia. 

Bagaimanapun, keresahan atas permasalahan negara, politik, dan pemerintahan kiranya memang tidak bisa terus dipendam maupun dimanipulasi. 

Dan salah satu political act bermartabat yang wajib diaktualisasikan oleh kekuasaan dan para aktor politik adalah agar benar-benar menjaga profesionalitas angkatan bersenjata.

Mulai dari mengembalikan penunjukan pos jabatan berdasarkan asas meritokrasi, tidak “menggoda” para petingginya, tidak menyalahgunakan kekuatannya, hingga tidak menghukum berdasarkan kepentingan politik kepada mereka yang menyuarakan keresahan hatinya . (J61) 

Exit mobile version