Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan di sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta untuk menangani pandemi Covid-19. Apakah ini bagian dari politik ala Jokowi setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total?
Bagi para penggemar film dan produk budaya lainnya yang bertemakan abad pertengahan, film yang berjudul Macbeth (2015) mungkin bukanlah hal yang asing. Film itu juga mendapat respons yang positif dari sejumlah kritikus film.
Film yang dibintangi oleh Michael Fassbender tersebut mengisahkan perjalanan Macbeth menuju kursi tertinggi sebagai Raja Skotlandia. Dalam perjalanannya, Macbeth harus melalui berbagai tantangan, baik tantangan yang positif maupun yang negatif.
Namun, layaknya dunia politik pada umumnya, Macbeth harus menghadapi sejumlah perlawanan. Bahkan, perlawanan tersebut datang dari mereka yang sebelumnya merupakan rekan bangsawannya.
Tantangan ini datang dari Thane of Fife yang bernama Macduff. Macduff ini setidaknya melihat bahwa pengangkatan Macbeth sebagai raja setelah kematian Duncan memiliki legitimasi yang lemah.
Meski begitu, pemerintahan Macbeth tetap kuat. Perseteruan di antara keduanya tetap eksis hingga Macduff harus mencari suaka ke Inggris.
Terlepas dari siapa yang menang dalam film tersebut, perseteruan antara pemerintah pusat (raja) dan pemimpin daerah (thane) semacam ini mungkin juga tengah terjadi di Indonesia. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa waktu lalu kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total.
Keputusan ini diambil karena Anies menilai Jakarta berada dalam situasi gawat dalam menangani Covid-19. Bahkan, fasilitas kesehatan yang tersedia disebut-sebut akan kewalahan.
Meski begitu, para menteri di Kabinet Indonesia Maju menilai bahwa keputusan Anies tidak berdampak baik pada laju ekonomi yang mulai tengah bangkit dari PSBB sebelumnya.
Asumsi yang kurang lebih sama juga diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut mantan Wali Kota Solo tersebut, pembatasan berskala lokal bisa jadi lebih tepat dibandingkan menutup total seluruh aktivitas ekonomi dalam suatu daerah.
Meski tidak terlihat menyindir secara langsung, sikap ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai ketidaksetujuan Jokowi terhadap keputusan yang diambil oleh Anies.
Bahkan, setelah pengumuman PSBB oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut, mantan Wali Kota Solo tersebut menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk bekerja bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo untuk menekan angka penularan Covid-19 di sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta.
Tentunya, penunjukan Jokowi terhadap Luhut ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Beberapa malah menilai bahwa ini adalah upaya agar Menko Marves dapat memantau kebijakan Anies.
Bila memang benar begitu, mengapa Jokowi memutuskan untuk menunjuk Luhut? Lantas, apa alasan di balik penunjukan Menko Marves dalam penanganan Covid-19 di sembilan provinsi tersebut?
“Pusaka” bagi Jokowi?
Penunjukan Luhut sebagai sosok yang akan mengawasi penanganan pandemi Covid-19 di sembilan provinsi – yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara, dan Papua – bisa jadi menandakan upaya Jokowi untuk kembali menyatakan kekuatannya. Apalagi, penerapan PSBB Total oleh Anies dianggap tidak sejalan dengan keinginan pemerintah pusat.
Sembilan provinsi tersebut sebenarnya juga penting bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, daerah-daerah tersebut merupakan provinsi dengan kontribusi ekonomi yang cukup besar bagi Indonesia.
Luhut sendiri merupakan sosok yang memang selalu dekat dengan Jokowi. Bahkan, Menko Marves tersebut diangkat kembali untuk masuk Kabinet Indonesia Maju meskipun banyak narasi negatif menghantui citra Luhut.
Beberapa pihak menilai bahwa posisi Luhut memang penting bagi Jokowi. Sejak periode pertama, mantan Wali Kota Solo tersebut juga disebut telah kenal dengan mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura tersebut sejak menjalin relasi bisnis di industri furnitur.
Tidak hanya ikatan personal, Luhut disebut mampu menjalin relasi dengan pemerintah dan investor dari negara-negara lain. Bisa jadi, kemampuan Menko Marves ini menjadi kunci pemerintahan Jokowi yang berfokus pada pembangunan dan peningkatan ekonomi.
Luhut juga dianggap memiliki pengaruh politik. Sebagai politikus senior Golkar, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut disebut oleh Kanupriya Kapoor sebagai tameng Jokowi dalam menghalau kekuatan politik lain, seperti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Bukan tidak mungkin, dengan berbagai kapabilitas yang dimiliki oleh Luhut, Jokowi memang membutuhkannya. Apalagi, mantan Wali Kota Solo tersebut sering dianggap menerapkan gaya politik ala Jawa.
Asumsi ini bisa jadi sejalan dengan penjelasan konsep kekuatan ala Jawa dari Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam bukunya yang berjudul Language and Power. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa raja-raja Jawa selalu mengumpulkan pusaka dan orang-orang yang memiliki kekuatan.
Pusaka dan orang-orang berkekuatan disebut ditempatkan di sekitar istana raja. Hal ini dianggap mampu memusatkan kekuatan pada sang raja.
Mungkin, pemusatan kekuatan seperti ini dapat dipahami dari bagaimana raja-raja Majapahit sangat mengandalkan kekuatan Mahapatih Gajah Mada. Raja Hayam Wuruk, misalnya, menjadi salah satu raja Majapahit yang jaya akibat upaya Gajah Mada yang mampu memusatkan kekuatan Nusantara pada Majapahit.
Bukan tidak mungkin, layaknya Gajah Mada, Luhut dianggap mampu menjadi jembatan Jokowi dalam memusatkan kekuatan dari kutub-kutub politik lain. Ini bisa saja menjadi alasan sang presiden untuk menunjuk Luhut agar berperan dalam penanganan Covid-19 di sembilan provinsi tersebut.
Namun, kehadiran Luhut setelah kebijakan PSBB Total Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini tentu menyisakan pertanyaan. Apakah mungkin keputusan Jokowi tersebut ialah reaksi atas kebijakan Anies? Lantas, apakah ini masih berkaitan dengan budaya politik ala Jawa?
Mandala ala Jokowi?
Apa yang dilakukan Anies di Jakarta bisa jadi dipersepsikan sebagai pemerintah pusat. Mengacu pada budaya politik ala Jawa, kebijakan yang tidak sejalan ini bisa saja dinilai sebagai upaya pemusatan kekuatan yang berbeda.
Pasalnya, hubungan antarkerajaan di Jawa dan Asia Tenggara pada umumnya didasarkan pada konsep Mandala. Konsep Mandala ini menempatkan satu wilayah (semacam ibu kota) sebagai pusat dari Mandala tersebut – yang disertai dengan entitas-entitas politik lainnya.
Pandu Utama Manggala dari Australian National University (ANU) dalam tulisannya yang berjudul The Mandala Culture of Anarchy menjelaskan bahwa penguasaan penuh pada pusat Mandala akan mencapai situasi yang disebut sebagai Cakrawartin – dapat diartikan sebagai kaisar seluruh alam (universal emperor).
Nilai Mandala untuk mencapai Cakrawartin inilah yang ingin dicapai oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapa-nya dengan menyatukan entitas-entitas politik lain di Nusantara. Menurut Manggala, pemusatan kekuatan menuju Cakrawartin ini membutuhkan sosok pusat yang karismatik.
Bukan tidak mungkin, Jokowi berusaha menempatkan Luhut hingga berperan seperti Gajah Mada yang membantu pemusatan kekuatan bagi raja dan ratu Majapahit. Dengan begitu, Mandala yang terpusat pada pemerintah pusat dapat terbangun.
Konsep Mandala yang dijelaskan oleh Manggala ini juga sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Anderson dalam bukunya. Setidaknya, konsepsi soal hubungan pusat dan daerah seperti ini dapat menunjukkan sehat atau tidaknya alam (realm) yang dikuasai oleh raja Jawa tersebut.
Bisa jadi, melalui Luhut, Jokowi berusaha menjaga Mandala yang selama ini terpusat pada pemerintahannya. Dengan adanya kebijakan Anies yang dinilai tidak sejalan, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi merasa alam yang dikuasainya menjadi tidak stabil.
Namun, tentu saja, gambaran politik yang didasarkan pada pola politik tradisional ala Jawa ini belum tentu sepenuhnya diaplikasikan oleh Jokowi. Lagi pula, hubungan kekuatan pusat dan daerah di Indonesia modern belum tentu serupa dengan konsep Mandala di era Majapahit.
Belum lagi, Provinsi DKI Jakarta adalah pemerintah daerah yang diberi kekhususan tertentu. Dalam Undang-Undang (UU) No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, penyelenggaraan pemerintah daerah di Jakarta didasarkan pada asas dekonsentrasi dengan penyaluran sejumlah wewenang.
Selain itu, berbeda dengan pemimpin Jawa di era kerajaan, Jokowi tidak mendapatkan kekuatan (atau legitimasi) dengan didasarkan pada garis keturunan dinasti – melainkan berdasarkan proses pemilihan yang demokratis. Dalam hal ini, pola kekuatan penguasa yang dimiliki Jokowi dan raja Jawa bisa jadi berbeda.
Terlepas dari itu, Jokowi memang sering kali dianggap mengandalkan Luhut dalam banyak kesempatan. Bukan tidak mungkin, penunjukan Menko Marves dalam penanganan pandemi ini juga didasari pada persoalan tertentu – entah apa yang diinginkan oleh Jokowi. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)