Melalaui kanal YouTube-nya, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sangkalan terhadap tudingan yang selama ini menyebutnya The Real RI-1, Menteri Segala Urusan, ataupun”Lord” karena dinilai begitu berkuasa dan berpengaruh. Akan tetapi, di video itu pula Luhut menunjukkan pengakuannya bahwa ia memang berperan dalam mendamaikan kisruh pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Bukankah itu menunjukkan dirinya justru memiliki pengaruh yang besar?
PinterPolitik.com
Kata “super”, sepertinya tidak hanya dapat dilekatkan kepada tokoh-tokoh fiksi pahlawan yang diciptakan oleh Marvel ataupun DC. Kata itu nyatanya dapat pula dilekatkan kepada sosok yang memiliki pengaruh yang besar dalam hal politik.
Menteri Ekonomi Brasil, Paulo Guedes misalnya, dikenal sebagai “menteri super” karena besar dan luasnya wewenang yang diberikan oleh Presiden Brasil, Jair Bolsonaro kepadanya.
Di Indonesia, sosok menteri super seperti Guedes kerap merujuk kepada Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Pelabelan menteri super kepada Luhut misalnya dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono karena menilai sang jederal berperan penting di balik berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terlebih lagi, bertambahnya cakupan wewenang Luhut dengan penambahan bidang investasi, memperlihatkan secara jelas bagaimana Presiden Jokowi telah memberikan porsi wewenang yang luas kepada politisi Golkar tersebut.
Konteks bertambahnya wewenang Luhut ini juga yang menjadi sorotan The Jakarta Post dalam tulisan Jokowi Gives Minister Luhut more Powers through New Regulation, yang menilai penambahan bidang investasi terjadi karena vitalnya posisi Luhut dalam memastikan Indonesia menjadi target investasi dari Tiongkok, Amerika Serikat (AS), ataupun Uni Emirat Arab.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dalam blog pribadinya, DI’s Way bahkan menyebutkan bahwa Luhut adalah bumper atau benteng Jokowi untuk menghadapi berbagai tekanan politik.
Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff, juga menyebutkan bahwa Luhut berperan sebagai bumper dari tekanan politik PDIP di tengah memburuknya hubungan Presiden Jokowi dengan partai banteng tersebut.
Tidak hanya sebagai bumper politik, Dahlan juga menyebutkan bahwa Menteri Agama, Fachrul Razi sebenarnya adalah orang Luhut, di mana penunjukannya dapat menghilangkan tekanan dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) kepada Jokowi.
Terang saja, dengan frontal-nya berbagai politikus nasional menyebut Luhut sebagai menteri super ataupun besarnya pengaruh sang jenderal, warganet juga turut memberikan pelabelan serupa. Bahkan lebih kreatif, muncul predikat untuk Luhut sebagai The Real RI-1, Menteri Segala Urusan, hingga menyebutnya dengan sebutan “Lord”.
Di tengah berbagai pelabelan berbagai pihak terhadap dirinya, melalui video di kanal YouTube-nya yang bertajuk “Sore Bersama LBP; Berpikirlah Damai, Untuk Persatuan Dan Kesatuan”, Luhut memberikan bantahan atas pelabelan tersebut.
Menurutnya, ia tidak memiliki kekuasaan ataupun pengaruh sebesar, seperti apa yang banyak pihak tuduhkan terhadap dirinya selama ini.
Akan tetapi, menariknya, di akhir video tersebut, Luhut juga mengakui bahwa ia memiliki peran dalam mendamaikan kisruh pemilihan Ketua Umum Partai Golkar yang melibatkan Menteri Perekonomian, Airlangga Hartarto dengan Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Pun begitu dalam hal rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo beberapa waktu lalu.
Membandingkan kedua pernyataan tersebut, tentunya terdapat kontradiksi. Pasalnya, jika Luhut menyadari dirinya memiliki peran dalam dua peristiwa politik besar semacam itu, bukankah itu menunjukkan sang jenderal sebetulnya memiliki pengaruh yang cukup besar? Lantas, apa hal yang dapat dimaknai dari kontradiksinya pernyataan Luhut tersebut?
Denialisme di Politik
Konteks kontradiksinya pernyataan Luhut dapat kita pahami melalui konsep yang disebut dengan denialisme atau penyangkalan.
Keith Kahn-Harris dalam tulisannya Denialism: What Drives People to Reject the Truth, menyebutkan bahwa penyangkalan adalah hal lumrah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, khususnya jika terdapat motivasi agar suatu hal yang apabila diakui dinilai dapat melahirkan dampak negatif.
Dalam politik, pada level tertentu, menurut Kahn-Harris, penyangkalan justru menciptakan dampak yang berbahaya. Konteks tersebut misalnya dicontohkan dalam kasus adanya penyangkalan terhadap perubahan iklim, di mana itu membuat penanganan atas kondisi tersebut berjalan tidak maksimal.
https://www.instagram.com/p/B8ANv4BDEjk/
Konteks dapat berbahayanya penyangkalan dalam politik juga disoroti oleh beberapa pihak terhadap pemerintah India, khususnya Perdana Menteri India, Narendra Modi karena menyangkal telah rusaknya lingkungan India. Padahal negara tersebut telah kehilangan hutan primer seluas 120 ribu hektar.
Penyangkalan terhadap perubahan iklim ataupun kerusakan lingkungan, tentunya menyimpan motivasi agar kondisi tidak menyenangkan tersebut tidak diketahui oleh banyak pihak. Akan tetapi, dengan adanya berbagai fakta yang justru menunjukkan tepisan atas penyangkalan yang dilakukan, penyangkalan tersebut justru menjadi “bumerang” tersendiri, misalnya dalam konteks menurunkan citra pihak terkait.
Pada konteks Luhut, kita mungkin dapat memahami bahwa penyangkalan yang dilakukannya dimotivasi agar berbagai pihak tidak memandang Jokowi sebagai presiden yang justru memiliki pengaruh yang lebih kecil dari menterinya.
Motivasi Luhut tersebut terbaca dalam pernyataannya yang kerap menyebutkan agar awak media tidak memberitakan informasi yang buruk karena itu dapat menciptakan keresahan di tengah masyarakat.
Menautkan pada pernyataan tersebut, kita tentu dapat memahami bahwa jika Luhut tidak melakukan penyangkalan, berbagai media massa akan membuat berita yang menyebutkan lemahnya pengaruh presiden, di mana itu dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap presiden.
Luhut Sang Konsekuensialis?
Kendati terdapat penyangkalan dari Luhut, seperti halnya penyangkalan yang terjadi dalam perubahan iklim ataupun kerusakan lingkungan, nyatanya penyangkalan sang jenderal justru berbenturan dengan berbagai temuan ataupun testimoni berbagai pihak.
Akibatnya, penyangkalan tersebut, bukannya memberikan kejelasan di tengah masyarakat, namun justru melahirkan kebisingan politik tersendiri. Tak ayal, atas hal tersebut, diktum politisi selalu berbohong semakin memupuk di benak masyarakat.
Akan tetapi, level penyangkalan dalam politik yang justru melahirkan dampak negatif seperti dalam tulisan Kahn-Harris sepertinya tidak terjadi pada kasus penyangkalan Luhut. Pasalnya, jika sang jenderal katakanlah mengakui bahwa ia memiliki kekuasaan ataupun pengaruh yang begitu besar, itu akan menciptakan backlash – reaksi negatif – kepada pemerintah, khususnya kepada wibawa Jokowi sebagai presiden.
https://www.instagram.com/p/B73GGnsn5H9/
Dengan demikian, dengan melakukan penyangkalan, di mana itu hanya sekedar menciptakan kebisingan politik, itu tentu tidak memberikan dampak negatif sebesar jika penyangkalan tidak dilakukan.
Konteks tersebut juga menunjukkan bahwa Luhut telah memenuhi teori konsekuensialisme karena menitikberatkan penilaiannya pada konsekuensi. Konsekuensialisme sendiri adalah pandangan filosofis yang memberi afirmasi bahwa pilihan yang menitikberatkan penilaiannya pada hasil akhir atau konsekuensi adalah suatu tindakan yang bermoral.
Kuatnya indikasi Luhut yang menganut konsekuensialisme terlihat jelas dalam berbagai pernyataannya yang menyebutkan awak media seharusnya memberitakan informasi yang baik agar tidak tercipta keresahan di tengah masyarakat. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut ingin menegaskan bahwa “tidak masalah” awak media tidak memberikan kondisi yang sebenarnya asalkan tidak beredar informasi yang memicu keresahan masyarakat.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat memahami penyangkalan yang dilakukan oleh Luhut diperuntukkan agar tidak terjadi backlash di tengah masyarakat, khususnya terhadap Presiden Jokowi. Kendati demikian, Luhut sepertinya juga harus mulai untuk menjaga citra di hadapan publik agar asumsi-asumsi yang menyebutkan dirinya terlalu berkuasa tidak menjadi “bola liar” yang terus berputar. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.