Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengumumkan bahwa Tesla yang dipimpin oleh Elon Musk telah membeli produk nikel Indonesia. Namun, informasi lain mengungkapkan bahwa Tesla justru membeli nikel dari dua perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Indonesia.
Pada September 2021 lalu, sebuah film menarik yang memiliki tema politik dirilis dan tayang di banyak negara, termasuk Indonesia. Judul film yang dibintangi oleh Timothée Chalamet dan Zendaya berjudul Dune (2021) ini berangkat dari kisah dalam novel yang berjudul sama karya Frank Herbert yang terbit pada tahun 1965 silam.
Mengapa film ini bisa dibilang memiliki tema politik? Gambaran permainan politik ini sangat terlihat dari perebutan kekuasaan dari keluarga-keluarga bangsawan – seperti antara keluarga Harkonnen dan keluarga Atreides.
Tidak hanya perebutan kekuasaan atas posisi dan kewenangan politik saja, Atreides dan Harkonnen juga bersaing untuk memperebutkan sumber daya alam yang hanya ada di Arrakis, yakni “rempah-rempah” atau “spice”. Mineral tersebut menjadi berharga karena hanya bisa didapatkan dari planet Arrakis.
Perebutan kekuasaan atas kewenangan terhadap sumber daya alam seperti ini setidaknya menggambarkan realitas politik di dunia nyata. Contoh historis yang paling mirip bisa dibilang adalah kolonisasi yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di segala penjuru dunia – mulai dari Afrika, Amerika, hingga Asia.
Tidak dapat dipungkiri, perebutan akses terhadap sumber daya alam juga terjadi di antara bangsa-bangsa Eropa sendiri. Kepulauan Maluku yang dijuluki sebagai Kepulauan Rempah (Spice Islands) oleh bangsa-bangsa Eropa, misalnya, menjadi salah satu wilayah di bumi Asia yang diperebutkan karena sumber daya alam yang dimilikinya.
Perebutan untuk penguasaan sumber daya rempah-rempah di Maluku terjadi pada abad ke-16 dan abad ke-17 antara Belanda dan Portugis. Bahkan, persaingan sempat berujung pada peperangan sekitar tahun 1600-an – juga melibatkan kerajaan setempat seperti Kesultanan Ternate.
Namun, siapa sangka bila persoalan sumber daya ini masih terjadi di masa kontemporer seperti sekarang. Perusahaan mobil listrik dari Amerika Serikat (AS) yang bernama Tesla, misalnya, mencari sumber-sumber mineral di luar AS untuk dijadikan baterai litium – salah satunya adalah nikel yang dimiliki oleh Indonesia.
Tentu saja, seperti Atreides yang bekerja dengan warga setempat Fremen, Tesla pun perlu bekerja sama dengan pemerintah setempat, yakni pemerintah Indonesia. Namun, hal demikian tidak terjadi.
Pasalnya, meski Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan bahwa Tesla telah membeli produk-produk nikel Indonesia, sumber informasi lain mengatakan bahwa Tesla yang dipimpin oleh Elon Musk justru membeli nikel Indonesia bukan dari perusahaan Indonesia, melainkan dari dua perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Bukan tidak mungkin, akhirnya sejumlah pertanyaan muncul. Mungkinkah ini bentuk perebutan sumber daya baru layaknya kolonisasi atau penjajahan di masa lalu? Mengapa bisa saja informasi ini menggambarkan adanya “Dune” baru di Indonesia kala era kontemporer?
Koneksi Luhut, Tesla, dan Tiongkok
Salah satu faktor yang bisa jadi menyebabkan hal demikian terjadi adalah bagaimana sejarah perusahaan-perusahaan asal Tiongkok tersebut bisa masuk dan beroperasi di Indonesia. Pasalnya, Luhut merupakan salah satu figur di pemerintahan Jokowi yang paling getol dalam mendorong hilirisasi nikel.
Luhut bisa dibilang menjadi salah satu pemimpin diplomatik yang berpengaruh dalam politik luar negeri Indonesia. Mengacu pada tulisan Noto Suoneto berjudul How Prabowo Subianto Has Helped Shape Indonesia’s Foreign Policy, sang Menko Marves memiliki peran besar dalam diplomasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.
Dengan peran Luhut yang besar dalam diplomasi ekonomi Indonesia, menjadi menarik pula untuk diamati tipe kepemimpinan diplomatik seperti apa yang dijalankan oleh mantan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tersebut. Bukan tidak mungkin, ini juga berkaitan dengan hubungan diplomatik yang dibangun dalam kebijakan diplomasi ekonominya.
Negara mana lagi yang seakan-akan mendapatkan perlakuan khusus dari diplomasi ekonomi Luhut bila bukan Tiongkok? Dalam banyak pertemuan tingkat tinggi dengan Tiongkok, Menko Marves selalu hadir.
Bahkan, Luhut sering menyebut Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok Wang Yi sebagai sahabatnya. Sang Menko Marves juga pernah menyebutkan bahwa kebangkitan ekonomi Tiongkok adalah sesuatu yang tidak terhindarkan (inevitable) bagi Indonesia.
Dua perusahaan Tiongkok yang disebut menjadi mitra bagi Tesla untuk pengadaan nikel juga merupakan investor yang mana Luhut bisa saja mengambil peran agar perusahaan-perusahaan itu bisa masuk ke Indonesia.
Zhejiang Huayou Cobalt, misalnya, merupakan salah satu investor Tiongkok yang menanamkan modalnya untuk smelter nikel di Indonesia. Berdasarkan laporan Media Nikel Indonesia, Huayou merupakan salah satu perusahaan investor yang melaporkan langsung komitmen investasinya kepada sang Menko Marves saat berkunjung ke Tiongkok.
Menariknya, bukan hanya Luhut yang dinilai memiliki kedekatan hubungan dengan Tiongkok, melainkan juga Tesla dan BlackRock – salah satu pemegang saham besar di Tesla. Elon Musk, misalnya, seakan-akan menjadi contoh lambang kesuksesan di Tiongkok.
Tesla juga menjadi salah satu perusahaan pertama yang berbisnis di Tiongkok tanpa harus disyaratkan untuk menggandeng perusahaan lokal. BlackRock sendiri juga memiliki investasi di Tiongkok dengan nilai hingga USD1,03 miliar (sekitar Rp14,4 triliun).
Terbangunnya relasi antara Tiongkok, Tesla, dan Luhut ini bukan tidak mungkin akhirnya menciptakan kondisi yang membuat kesepakatan-kesepakatan – yang mana bisa jadi tidak menguntungkan Indonesia – menjadi mungkin.
Maka dari itu, sejumlah pertanyaan lanjutan pun muncul. Bagaimana dampaknya kepada Indonesia? Mengapa situasi seperti ini mulanya bisa tercipta?
Penjajahan Baru Untungkan Siapa?
Informasi mengenai kesepakatan pembelian nikel Indonesia oleh Tesla yang justru dilakukan dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok ini bukan tidak mungkin malah menciptakan kondisi penjajahan baru. Boleh jadi, eksploitasi sumber daya alam yang justru lebih banyak menguntungkan pihak asing adalah bentuk neo-kolonialisme.
Istilah neo-kolonialisme sendiri dimunculkan oleh Presiden pertama Ghana Kwame Nkrumah akibat konteks kontrol negara-negara Eropa terhadap benua Afrika yang masih kuat meskipun negara-negara dunia ketiga tersebut mulai merdeka.
Pola ini dapat dijelaskan melalui teori ketergantungan (depencency theory). Dengan struktur ekonomi yang terbangun antar-negara, negara-negara miskin dan berkembang (periphery dan semi-periphery) akan tetap bergantung kepada negara-negara maju (core).
Investasi yang tidak menciptakan transfer teknologi, misalnya, akan membuat negara miskin dan berkembang tetap tidak memiliki penguasaan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi mereka. Hal inilah yang menjadi miris bila dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam kesepakatan pembelian nikel Tesla dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Padahal, pemerintahan Jokowi mendorong adanya hilirisasi nikel dengan alasan penambahan nilai pada nikel dan transfer teknologi. Namun, dengan minimnya keterlibatan entitas lokal atau nasional, bukan tidak mungkin dua hal ini malah tidak terwujud.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Luhut dan pemerintahan Jokowi pada umumnya hanya menguntungkan pihak asing – dan mungkin segelintir elite lokal. Dan, bila ini benar terjadi, ini menjadi apa yang disebut oleh Raymond E. Crist dalam tulisannya berjudul The Pattern of Neocolonialism sebagai salah satu pola neo-kolonialisme, yakni plutokrasi.
Plutokrasi sendiri merupakan istilah yang menggambarkan bagaimana sebuah negara justru didominasi oleh orang-orang kaya yang lebih mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri – bukan untuk kepentingan masyarakat sepenuhnya. Dan, bila ini benar terjadi di Indonesia, ini menjadi persoalan yang harusnya menjadi perhatian kita bersama.
Alhasil, Indonesia bisa saja hanya menjadi “Dune” baru seperti yang ada dalam film yang dibintangi Timothée Chalamet dan Zendaya. Apalah daya yang dimiliki warga lokal seperti Fremen yang hanya bisa melihat mineral di tanahnya dieksploitasi oleh para penguasa besar yang hanya berorientasi pada profit. (A43)