Persoalan ekonomi kini menjadi pekerjaan rumah yang tengah dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, di tengah ancaman krisis yang mengancam, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Indonesia masih berada dalam kondisi yang cenderung aman. Bahkan, ekonomi Indonesia adalah salah satu yang terbaik di dunia sepanjang pandemi. Pernyataan ini penting, mengingat banyak masalah yang terjadi di negara ini bersumber dari persoalan ekonomi. Apalagi, krisis ekonomi bisa menjadi masalah serius yang punya dampak multidimensional.
“A strong economy is the source of national strength”.
::Yoshihide Suga, Mantan Perdana Menteri Jepang::
Pasca krisis ekonomi yang menimpa Sri Lanka, banyak negara memang mulai dihantui oleh hitung-hitungan kemungkinan terburuk dari situasi ekonomi global ini. Ini karena efek pandemi Covid-19 yang berlanjut dengan perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina mengganggu rantai produksi, distribusi dan konsumsi, yang ujung akhirnya memperburuk krisis ekonomi yang terjadi di banyak negara.
Negara-negara yang salah menerapkan tata kelola ekonomi jelas mendapatkan efek yang bisa berlipat ganda. Inflasi yang tidak terkendali plus bahaya kelangkaan pangan akibat perang yang mengganggu rantai distribusi bahan makanan seperti gandum, pada akhirnya memang membawa dampak yang signifikan.
Bahkan, Presiden Jokowi menyebut sekitar 60 negara punya potensi ambruk, dengan sekitar 42 di antaranya berpeluang besar ambruk. Tak heran pernyataan Jokowi tersebut sempat melahirkan kecemasan terkait kondisi ekonomi Indonesia.
Terkait hal ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memberikan “angin segar” dengan menyebutkan bahwa di tengah gundah gulana krisis ekonomi yang dialami oleh banyak negara, posisi ekonomi Indonesia masih cenderung kondusif. Bahkan, Luhut menyebut ekonomi Indonesia masih jadi yang terbaik di tengah krisis global.
Nada positif yang disampaikan oleh Luhut memang penting karena masalah ekonomi kerap menjadi awal dari berbagai persoalan lain yang dihadapi oleh sebuah negara. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memang mampu mengendalikan situasi dan persepsi publik terkait ancaman krisis ekonomi yang bisa saja melebar.
Ekonomi adalah kunci – demikian meminjam elaborasi cendekiawan Franz Magnis-Suseno, kala menjelaskan relasi antara berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus macam terorisme, dengan kebutuhan akan kesejahteraan dan penghidupan layak oleh 50 persen masyarakat di kelas terbawah.
Lalu, mengapa relasi ini penting untuk dilihat dan seberapa besar efek dan pemahaman akannya membantu Indonesia menyelesaikan berbagai persoalan di negara ini?
Homo Economicus
Di abad ke-19, John Stuart Mill memperkenalkan istilah the economic man untuk menyebut manusia yang pada hakikatnya menjadi entitas economic being atau makluk ekonomis. Stuart Mill memang memfokuskan argumentasinya pada perilaku manusia yang selalu berusaha mencari keuntungan.
Perilaku mencari “keuntungan yang sebesar-besarnya dari pengeluaran yang sekecil-kecilnya” – yang adalah prinsip ekonomi – memang membuat manusia selalu bertindak dengan cara yang paling rasional berdasarkan hitung-hitungan yang dibuatnya.
Inilah yang di kemudian hari dikenal dengan istilah homo economicus – sebagai pembeda dari istilah homo sapiens misalnya yang merujuk pada manusia yang bijaksana (kata sapiens dalam Bahasa Latin berarti “bijaksana”).
Homo economicus bahkan sering diklasifikasikan sebagai perfect rationality atau rasionalitas sempurna dalam game theory, di mana manusia menggunakan rasionalitasnya untuk menghitung untung rugi dari semua tindakan atau sikap yang diambilnya.
Dengan demikian, konteks ekonomi itu bukan hanya masalah ekonomi praktis saja, melainkan menjadi karakteristik dari manusia itu sendiri. Manusia itu rasional, self-interested, dan berusaha seoptimal mungkin memenuhi kebutuhannya.
Dalam relasinya dengan krisis, ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka lahirlah masalah. Hal yang serupa juga terjadi ketika kebutuhan itu dicapai dengan mengabaikan nilai dan tatanan norma atau moral yang berlaku di masyarakat, maka lahirlah masalah. Masalah-masalah ini akan menjadi makin kompleks ketika urusan ekonomi atau “urusan perut” – demikian terminologi yang umum dipakai – gagal dicegah rembetan atau turunannya ke persoalan sosial-politik yang lain.
Inilah mengapa kontrol yang kuat atas ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah menjadi sebuah keharusan agar menjamin kondisi sosial-politik tetap kondusif. Pada titik ini, pernyataan Pak Luhut mendapatkan pembenarannya dalam konteks menjaga agar kepanikan di masyarakat, walaupun mungkin saja kondisi ekonomi nasional Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang benar-benar tidak baik.
Pasalnya, seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith dalam masterpiece-nya yang berjudul The Wealth of Nations, di bawah kebijakan pemerintah dan sistem ekonomi yang tepat, cita-cita kesejahteraan nasional yang melampaui kesempurnaan rasionalitas manusia sebagai homo economicus bisa terlampaui. Ini membantu terciptanya tatanan masyarakat yang berkepribadian dan jauh dari segala macam masalah sosial-politik yang bisa mengancam.
Kesenjangan Ekonomi: Berhenti Memilih Idiot!
Walaupun bangunan optimisme terhadap ekonomi itu penting, namuan penyelesaian masalahnya tak sampai di situ saja. Ada persoalan kesenjangan ekonomi yang harus juga disoroti. Seperti disebutkan oleh Franz Magnis-Suseno dalam salah satu wawancaranya, ada kondisi di Indonesia di mana kekuasaan dan dominasi atas ekonomi yang dipegang oleh hanya segelintir orang saja.
Franz Magnis menyebut soal kelompok 50 persen teratas dari sisi penghasilan yang menjadi bagian dari gerak kesenjangan sosial dengan 50 persen kelas yang ada di bawah. Bahkan, dari kelompok 50 persen terbawah, ada 15 persen yang benar-benar dalam keadaan yang sulit
Namun, jika dikerucutkan menjadi spesifik lagi, angkanya justru menjadi lebih menohok. Pasalnya, lembaga keuangan asal Swiss, Credit Suisse, pernah menyebutkan bahwa 49 persen dari total kekayaan nasional Indonesia dimiliki oleh hanya 1 persen dari populasi negara ini. Yess, hampir separuh kekayaan nasional hanya dimiliki oleh 1 persen dari populasi saja.
Persoalan ini penting untuk disoroti karena dalam kondisi seperti pandemi Covid-19 dan kemudian ada bencana efek lanjutan dari perang, maka kelompok berpenghasilan terendahlah yang akan paling merasakan dampaknya. Jika terus bergejolak masyarakat yang ada di tataran terbawah, maka efek terhadap lahirnya konflik bisa saja terjadi.
Masalah-masalah ini pada akhirnya memang bisa diselesaikan jika ada sistem dan pemerintahan yang benar-benar berjuang untuk kesejahteraan masyarakat banyak seperti yang dibilang oleh Adam Smith. Persoalannya, kondisi politik di Indonesia hari ini masih terjebak pada demokrasi yang sekedar menjadi selebrasi politik semata.
Indonesia belum mampu mengondisikan pemilihan umum yang benar-benar mewujudkan kepemimpinan untuk pembangunan, bukan sekedar kampanye. Pasalnya, baik di level eksekutif maupun legislatif, baik di pusat maupun di daerah, para pemimpin yang ketika dipilih lebih banyak sibuk untuk persiapan bagaimana memenangkan kontestasi selanjutnya.
Meminjam kata-kata penulis asa Amerika Serikat, James Freeman Clarke, mereka adalah pembenaran ungkapan: “A politician thinks of the next election; a statesman of the next generation”. Politisi hanya berpikir untuk Pemilu selanjutnya, sedangkan para negarawan berpikir untuk masa depan generasi selanjutnya. Indonesia jelas kekurangan sosok-sosok yang benar-benar berstatus negarawan sejati.
Ini memang sesuai dengan ulasan Dean Burnett soal Democracy vs Psychology di The Guardian yang menjelaskan alasan mengapa dalam hampir setiap Pemilu, masyarakat memilih para “idiots” sebagai pemimpin mereka. Burnett menyinggung efek macam Dunning-Kruger effect di mana less-intelligent people are usually incredibly confident. Orang-orang dengan tingkat kecerdasan yang kurang, cenderung menjadi sangat percaya diri dan pada akhirnya mereka-mereka inilah yang tampil dalam panggung politik.
Dengan demikian, salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi yang terjadi pada negara adalah berhenti memilih para “idiots” – seperti kata-kata Burnett – yang tidak paham cara menyelesaikan masalah dan lebih sibuk dengan urusan kampanye politik. Jika itu berhasil dilakukan, mungkin pemerintah tak perlu lagi berbohong atau menutup-nutupi kondisi negara yang sesungguhnya. Sebab, masa depan bangsa dan negara memang benar-benar ada di tangan orang-orang yang berkemampuan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)