Luhut Binsar Panjaitan menginisiasi pertemuan dengan Prabowo Subianto. Luhut mengatakan bahwa pertemuan sebagai upaya rekonsiliasi pasca Pilpres 2019. Padahal, dalam alam demokrasi yang matang, seluruh posisi sitegang dan konfliktual adalah hal biasa.
Pinterpolitik.com
[dropcap]L[/dropcap]uhut Binsar Panjaitan mengajak Prabowo Subianto bersua, Minggu 21 April 2019, 4 hari pasca Pilpres. Sayang Prabowo dikabarkan terserang flu, sehingga pertemuan urung terjadi. Senin, Luhut mengatakan di depan pers bahwa pertemuan tersebut beragendakan rekonsiliasi pasca Pilpres. Luhut merasa penting untuk menjalin hubungan pasca kedunya berada di kubu yang berlawanan pada pilpres tahun ini.
Kegentingan pertemuan tersebut nampak terlalu nyata, bahwa ada indikasi serius yang menjadikan Luhut harus bertemu Prabowo di masa penungguan hasil resmi dari KPU pada 22 Mei nanti. Masa yang seharusnya tenang, namun ditakar oleh banyak kalangan sedang tidak aman-aman saja.
Pernyataan Luhut juga mengisyaratkan demikian, dengan menyanjung bahwa Prabowo adalah aset bangsa, sosok pemimpin, bernasionalisme tinggi dan patriotik, berpikir rasional dan diharapkan tidak mendengarkan informasi yang tidak memiliki basis kebenaran. Jelas Luhut memuji dalam upaya untuk menenangkan lawan bicaranya, agar dia tersanjung.
Dua kalimat diakhir menjelaskan kalimat mula-mula, bahwa Prabowo diminta berpikir rasional, sebab mendapatkan informasi yang terdistorsi.
Tentu simpul selanjutnya adalah bahwa orang dekat Prabowo seperti Amien Rais menyerukan adanya people power jika terjadi kecurangan di Pilpres 2019, dan kelompok 02 menuduh demikian.
Dari gejala-gejala yang dilihatnya, Luhut sebagai utusan Jokowi yang juga mengklaim kemenangan sementara merasa bahwa rekonsiliasi ini harus terjadi, pertemuan harus segera agar tensi politik di tingkat elite mencair.
Tentu Luhut mengkalkulasi kekuatan apa yang dimiliki Prabowo, salah satunya pengalaman Gerakan 212 yang melabuhkan pilihannya pada capres penantang.
Sayangnya, pertemuan tersebut belum terlaksana, komentar dari BPN juga masih belum mau menerima kedatangan Luhut. Semua sepakat belum ada urgensi, sedang fokus menghitung suara, mengawal C1.
Upaya pertemuan tersebut tentu nampak baik di permukaan, namun sejatinya tidak mendewasakan politik kita, demokrasi kita menjadi semu dan kekanak-kanakan, seluruh sitegang dimaknai sebagai sesuatu yang buruk. Padahal standar demokrasi adalah justru mampu merangkum seluruh perbedaan dan polarisasi posisi sebagai bagian integral dari politik yang sehat.
Mematangkan Demokrasi Kita
Corak demokrasi yang masih menganggap bahwa konflik sebagai sesuatu yang buruk adalah salah satu ciri dari demokrasi yang disodorkan lewat merebaknya pewacanaan rasionalitas, negara bangsa, beserta liberalisme, dan kapitalisme. Sehingga modelnya akan banyak beririsan dengan ideologi yang turut menggandenya untuk dipasarkan di kancah global.
Corak demokrasi semacam ini yang tidak hanya dipakai di Indonesia, cenderung untuk terus menerus merekonsiliasi seluruh perbedaan yang ada. Padahal, jika kita ingin menilik ke sejarah politik dunia, termasuk nusantara, politik adalah soal konflik.
Jika di zaman monarki, orang akan bertarung secara fisik, dalam sistem demokrasi hal tersebut diganti dengan menggunakan konflik intelektual, sehingga kerugian bisa diminimalisir tidak seperti dahulu.
Demokrasi yang cenderung basa-basi menggerus seluruh suara perbedaan. Perbedaan dalam demokrasi selalu coba disatukan dalam basis demos, sebab memang demokrasi hanya berasaskan pada kesepakatan mayoritas. Namun asumsi demos semata akan menghaslkan satu bentuk tirani mayoritas, dengan demikian demokrasi selalu dibarengi dengan jaminan akan hak hak individu, atau disebut sebagai liberalisme.
Sehingga dalam konstitusi bernegara, ada yang disebut sebagai hak yang bersumber dari konsepsi liberalisme dan konsepsi kewajiban yang berhulu dari demokrasi. Dalam satu bentuk totalitas demokrasi yang selalu senada hanya akan menjadikan sistem menjadi baku, dia mengeras pada sirkulasi yang tidak sehat, dia abai terhadap perbedaan.
Sampai dengan malam ini, Pak @prabowo belum dan tdk memutuskan menerima utusan Pak Jokowi yakni Pak Luhut untuk bertemu beliau di Kertanegara, Pak Prabowo masih Fokus memperjuangkan dan mengawal agar rakyat terus mengawal C1.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) April 20, 2019
Maka perbedaan justru menjadi penting, sebab dia menanggulangi setiap upaya hegemoni dari pihak tertentu, perbedaan adalah upaya penghargaan terhadap setiap satu bagian partikular dari masyarakat, sebab kita tidak menenggelamkannya dalam satu lautan mayoritarianisme.
Perbedaan-perbedaan ini jika dibundel akan berbentuk paket yang disebut sebagai pluralisme, atau perbedaan-perbedaan banyak yang disatukan, dalam kosakata budaya kita menyebutnya multikulturalisme.
Pluralitas ini penting, sebab dia menjadikan politik menjadi kaya. Politik tidak dikontrol oleh satu jenis kekuatan semata, selalu ada upaya penilikan pada partikularitas lain tatkala akan dilakukan pengambilan keputusan politik.
Perbedaan muncul tidak sebab karena memang secara asali semua manusia pada galibnya seluruh dan seutuhnya berbeda, namun ada asumsi bahwa warna pikiran yang dijadikan sebagai satu tumpu pengambilan posisi politiknya juga berbeda.
Dan dari sanalah pentingnya perbedaan, dia menjebol ruang-ruang kebuntuan dari kemanunggalan rasionalitas politik, perbedaan memberikan arah baru bagi pikiran-pikiran alternatif, semakin banyak pikiran semakin baik.
Perbedaan pikiran ini dalam bentuk skema pemerintahan akan melahirkan oposisi. Oposisi di Indonesia dihindari, hal tersebut dianggap sebagai sebuah ketidakpatutan berpolitik, sebab semua liku politik harus diandaikan sebagai yang penuh dengan tindak etis, tindak anggah-ungguh.
Demokrasi yang semu, politik yang berdasar pada malu-malu tapi mau justru akan berbuah pada tingkah kemunafikan. Posisi politik harus lugas, kritik harus selalu dilancarkan dengan demikian akan tercipta iklim sehat bagi politik bernegara kita.
Menjadi oposisi wajib untuk selalu sinis terhadap pemerintah. Pemerintah tidak perlu dipuji, sebab dia memang diandaikan untuk selalu bertindak baik bagi masyarakat. Pemerintahlah yang harus dikontrol, dan membebaskan seluruh masyarakat, bukan sebaliknya. Oposisi berguna sebagai polar dialektik atas satu barometer keadilan yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga akan tercipta satu sintesa konsep keadilan yang menyeluruh.
Jika lembaga negara tidak berjalan dengan baik, tidak mampu mendengar suara dari masyarakat, maka demonstrasi menjadi hal yang lazim terjadi. Demonstrasi adalah upaya untuk mengungkapkan suara terdalam dari masyarakat sebab tidak sampai ke telinga pemerintah.
Untuk itu demonstrasi diatur di dalam konstitusi, sebab dia diperbolehkan. Demokrasi yang dikekang oleh satu kekuatan yang totaliter akan mencoba mengendalikan semuanya, termasuk mengendalikan opini publik, dengan demikian demo adalah sebuah ancaman. Padahal jikapun terjadi people power hal tersebut lumrah dan baik bagi iklim pluralitas demokrasi.
Seluruh konsepsi demokrasi yang antagonis ini dikemukakan oleh Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, filsuf teori politik. Laclau (1990) melihat bahwa seluruh heterogenis harus bisa diekuivalensikan dengan masyarakat, dia harus menjadi yang publik.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mouffe (1997) bahwa substansi dari demokrasi adalah pada pluralitas, sebab pada dasarnya setiap manusia tidak pernah sama dan sempurna strukturnya.
Luhut Binsar Panjaitan mengajak makan jejepangan dengan Prabowo Subianto, taktik politik? Share on XMenyikapi Perbedaan
Tentu kita semua paham pada apa yang digusarkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Jokowi sendiri sudah mengisyaratkan soal ketakutan perpecahan bangsa. Hal yang paling mencolok nampak adalah adanya indikasi akan terjadi pengerahan massa untuk merespons kecurangan yang dituduhkan pendukung Prabowo-Sandi.
Sejarah dunia membuktikan bahwa seluruh gerakan masif di belahan manapun disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat, adanya ketidakadilan, merajanya kedzaliman, sebab pemerintahan yang lalim.
Sebaliknya, pengorganisasian massa hanya demi kepentingan pragmatis segelintir golongan tidak akan berbuah pada satu hasil demonstrasi yang optimal, sebab dia tidak bergerak secara organik.
Maka dengan pertimbangan tersebut nampaknya bahwa memang langkah-langkah yang dilakukan oleh Prabowo adalah haknya yang perlu dihargai, dengan tetap yakin bahwa dia berbeda dengan pertimbangan pikirannya.
Dengan demikian, pengerasan justru akan menjadikan kritik semakin tajam, menyayat setiap nadi pemerintah, agar pemerintah tidak semena-mena dengan kekuasaan eksesif yang mereka miliki.
Di sisi yang lain, perbedaan ini idealnya tidak dijadikan sebagai upaya untuk mewajarkan konflik dengan eskalasi yang tinggi bahkan hingga setara perang. Para elite yang terlibat idealnya tidak memanfaatkan perbedaan menjadi hal tersebut hanya demi mendapatkan kuasa.
Tidak perlu ditakutkan jika nanti terjadi demonstrasi besar-besaran jika memang kubu pemerintah tidak melakukan kecurangan, karena kebenaran akan selalu menang. Jika di level ini kita mampu bertahan, maka akan menunjukkan level demokrasi kita yang semakin matang, demokrasi yang tidak terjebak dalam sistem semu, namun demokrasi yang murni. (N45)