Site icon PinterPolitik.com

Luhut Buat Jokowi Jadi Pahlawan?

Luhut Buat Jokowi Jadi Pahlawan?

Presiden Joko Widodo bersama dengan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani)

Presiden Jokowi membantah secara terbuka usulan Luhut untuk merevisi UU TNI agar perwira TNI dapat masuk dalam kementerian. Apakah ini skenario pewayangan untuk menempatkan Jokowi sebagai pahlawan demokrasi?


PinterPolitik.com

“Every fairy tale needs a good old-fashioned villain.” – Jim Moriarty, film Sherlock episode The Reichenbach Fall

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Luhut Binsar Pandjaitan adalah sosok yang begitu dipercaya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ini jelas terlihat dalam banyaknya tugas dan posisi yang diberikan RI-1 kepada Luhut. Dalam rapat kerja dengan Banggar DPR pada 9 Juni 2022, Luhut menyebut terdapat 27 penugasan khusus yang diberikan Presiden Jokowi terhadap dirinya.

Ihwal ini menjadi perhatian luas masyarakat, termasuk elite politik dan akademisi. Pengamat sosial dari Universitas Jakarta (Unija) Adli Bahrun, bahkan mengibaratkan Luhut sebagai Gajah Mada-nya Jokowi. Hubungan Jokowi-Luhut seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

“Pak Luhut mirip Gajah Mada, lihai hadapi banyak kasus. Kalau turun gunung pasti selesai,” ungkap Adli pada 11 Agustus 2022.

Seperti yang dicatat sejarah, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk pada tahun 1350–1389. Raja yang bergelar Maharaja Sri Rajasanagara itu memiliki Mahapatih Gajah Mada di sisi kanannya. Panglima perang itu sangat diandalkan dan berpengaruh. 

Sedikit membandingkan, jika Gajah Mada menyatukan Nusantara, maka Luhut menyatukan kekuatan politik untuk mendukung Presiden Jokowi.

Ini juga disebutkan Kanupriya Kapoor dalam tulisannya Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff. Menurut Kapoor, Luhut menjadi semacam “bemper” Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan.

Dengan hubungan yang sudah terjalin sejak 2006 (ada versi yang menyebut sejak 2008), menjadi menarik untuk melihat penolakan terbuka Presiden Jokowi terhadap usulan Luhut baru-baru ini. 

Pada 5 Agustus 2022, Luhut mengusulkan revisi Undang-Undang TNI agar perwira TNI bisa ditugaskan di sejumlah kementerian dan lembaga. Enam hari kemudian, atau pada 11 Agustus, Presiden membantah usulan itu secara terbuka dengan menyebutnya belum mendesak.

Lantas, apa yang dapat dimaknai dari penolakan terbuka Presiden Jokowi itu?

Pewayangan Kekuasaan

Fenomena penolakan terbuka Presiden Jokowi terhadap usulan Luhut sangat menarik karena dua hal. 

Pertama, mengacu pada hubungan erat Jokowi-Luhut, kenapa RI-1 menyampaikan penolakan secara terbuka? Bukankah itu akan membuat Luhut semakin menjadi bulan-bulanan kritik berbagai pihak? Kenapa penolakan usulan tidak dilakukan secara tertutup?  

Kedua, kenapa Luhut menyampaikan usulan sensitif itu secara terbuka? Mengutip dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian, rezim Orde Baru telah membuat masyarakat mengalami “surplus kecurigaan” terhadap kekuasaan.

Dengan kata lain, sangat mudah menebak bahwa usulan Luhut itu akan menciptakan persepsi dwifungsi ABRI akan dibangkitkan. Apakah Luhut pura-pura abai terhadap surplus kecurigaan itu?

Dua keanehan itu membuat kita perlu merefleksikan buku Clifford Geertz yang berjudul Negara Teater. Menurut antropolog Amerika Serikat (AS) ini, pertunjukan kekuasaan di Indonesia layaknya teater yang memperlihatkan dan memainkan simbol-simbol. 

Yang menarik, menurut Geertz, rakyat seperti tidak punya pilihan dan kehilangan daya kritis, sehingga larut begitu saja dalam pertunjukan kekuasaan.

Rakyat ibarat wayang yang menemukan dirinya mengisi peran-peran tertentu. Ada yang berkorban demi kebaikan raja (baca: penguasa), ada yang menabuh gendang agar pertunjukan menjadi ramai, dan ada pula yang sadar posisinya hanya sebagai penonton.

Temuan Geertz soal “pewayangan kekuasaan” melahirkan satu interpretasi menarik soal hubungan Luhut dengan Jokowi. Seperti yang disebutkan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa Jokowi Biarkan Luhut Berkuasa?, ada kemungkinan terdapat permainan bad cop/good cop.

Jika diperhatikan, tampilnya Luhut sering kali pada isu-isu yang rentan mendapat sentimen negatif. Sebut saja soal isu penundaan Pemilu 2024 dan penanganan Covid-19. Dua isu itu sangat rentan mendapat amukan sentimen negatif. Dan sekarang ada usulan revisi UU TNI.

Singkatnya, bagaimana jika Luhut memang ditempatkan sebagai bad cop? Dengan demikian, berbagai persoalan yang ada dapat dilimpahkan kepada sosok yang dijuluki “Lord”, hingga “Perdana Menteri” itu.

Sebagai bayaran atas peran itu, Luhut diberikan berbagai penugasan, posisi, dan pengaruh oleh Presiden Jokowi.

Ada dua kajian penting untuk menguatkan interpretasi adanya permainan bad cop/good cop

Pertama, berbagai pihak menyebut Presiden Jokowi seperti “Raja Jawa”. Mengutip buku Benedict R. Anderson yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, pemimpin yang menjalankan politik ala Jawa biasanya akan bertumpu pada upaya pemusatan kekuatan, yakni mengumpulkan kekuatan (power) pada dirinya.

Nah, jika Jokowi adalah Raja Jawa, bukankah aneh jika mantan Wali Kota Solo itu membiarkan Luhut terlihat lebih bersinar dan lebih berpengaruh dari dirinya? 

Kedua, konsep dramaturgi dari sosiolog Erving Goffman sangat penting untuk dijadikan pegangan. Menurut Goffman, sekelumit aktivitas sosial, termasuk politik, layaknya pertunjukan drama atau teater. Terdapat panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). 

Sama seperti di teater, panggung belakang adalah skrip yang telah disetujui. Sementara, panggung depan adalah pertunjukan yang memang sengaja disuguhkan untuk menghibur penonton. Dalam konteks politik, panggung depan-panggung belakang ini merupakan aktivitas harian.

Jokowi adalah Pahlawan

Setelah memahami pewayangan kekuasaan, permainan bad cop/good cop, dan dramaturgi politik, kita akan sampai pada satu kesimpulan penting. Penolakan terbuka RI-1 terhadap usulan Luhut adalah cara untuk menempatkan Presiden Jokowi sebagai pahlawan, tepatnya pahlawan demokrasi.

Mengutip teori semiotika pragmatis dari filsuf Charles Sanders Peirce, akan tercipta dua tingkat penafsiran publik terhadap penolakan terbuka Presiden Jokowi terhadap Luhut. Pada tingkat pertama, publik akan menafsirkan Luhut tidak dapat mendikte Jokowi. 

Kemudian pada tingkat kedua, publik akan menafsirkan Presiden Jokowi menolak potensi kebangkitan dwifungsi ABRI. Terlebih lagi, Luhut dapat dikatakan sebagai “orang Orde Baru”. Luhut adalah salah satu sosok yang dibina langsung oleh Jenderal TNI Benny Moerdani.

Melihat polanya, penempatan Presiden Jokowi sebagai pahlawan sudah terjadi beberapa kali. Pada isu peraturan baru Jaminan Hari Tua (JHT) yang menggemparkan publik pada Februari kemarin, misalnya, seperti pahlawan di film-film, Presiden Jokowi tampil di akhir untuk merevisi aturan itu.

Sedikit mengingatkan, itu menjadi polemik karena Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah menerbitkan aturan agar JHT baru bisa dicairkan ketika sudah berusia 56 tahun.

Tampilnya Presiden Jokowi untuk merevisi aturan bahkan telah ditebak oleh Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo. Simpulan itu ditariknya dengan bertolak pada fenomena serupa pada 2015 lalu, ketika Menaker Hanif Dhakiri menetapkan ketentuan bahwa JHT baru bisa cair jika peserta telah terdaftar selama 10 tahun.

Aturan itu mendapat protes keras masyarakat, dan tidak berselang lama, Presiden Jokowi meminta Menaker Hanif untuk merevisinya.

“Kalau publik enggak ribut, ya kebijakannya terus. Kalau publik ribut, kritik, Pak Jokowi tampil sebagai hero (pahlawan). Menurut saya, itu salah satu strategi yang luar biasa dari Pak Jokowi,” ungkapnya pada 14 Februari.

Tidak hanya Kunto Adi Wibowo, rekan Presiden Jokowi di PDIP juga memberikan pujian terhadap kemampuan mantan Wali Kota Solo itu dalam memainkan politik simbol.

Dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, politisi senior PDIP Panda Nababan menceritakan kisah menarik ketika Jokowi mampir ke rumahnya di Medan. Saat itu Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. 

Ketika sarapan sebelum berangkat ke bandara untuk bertolak ke Jakarta, Panda menawarkan Jokowi untuk berganti pakaian karena kemeja putihnya sudah lusuh. Namun, secara halus Jokowi menolak.

Seperti yang mudah ditebak, ketika sampai di bandara, Jokowi yang begitu populer dikerubungi masyarakat yang ingin berfoto bersama. Di sana, Panda kemudian paham kenapa Jokowi menolak mengganti pakaian. Citra Jokowi yang merakyat terpampang jelas dengan kemeja putih lusuh dan rambutnya yang awut-awutan.

Ketika akan menaiki pesawat, barulah Jokowi mencuci muka dan berganti pakaian. Menurut Panda, itu adalah pelajaran baginya bahwa politisi perlu merencanakan penampilannya.

Singkatnya, jika interpretasi dalam tulisan ini tepat, penolakan terbuka Presiden Jokowi terhadap usulan Luhut merevisi UU TNI adalah pewayangan kekuasaan untuk menempatkan RI-1 sebagai pahlawan demokrasi. 

Seperti pernyataan Jim Moriarty di awal tulisan, setiap cerita membutuhkan penjahat yang hebat. Tanpa penjahat, pahlawan tidak akan pernah ada. (R53)

Exit mobile version