Jelang libur panjang akhir tahun, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Luhut Binsar Pandjaitan menginstruksikan sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta untuk memperketat pembatasan sosial. Langkah ini dinilai tak biasa lantaran sebelum-sebelumnya, pemerintah terkesan lebih fokus memprioritaskan ekonomi ketimbang aspek kesehatan masyarakat. Apa yang bisa dimaknai dari instruksi terbaru Luhut ini?
Setelah memutuskan untuk memangkas cuti bersama akhir tahun, pemerintah melalui Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Luhut Binsar Pandjaitan menginstruksikan sejumlah daerah, khususnya Ibu Kota Jakarta untuk melakukan pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna mencegah terjadinya kenaikan kasus positif Covid-19.
Dalam maklumatnya itu, Luhut mengimbau kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk membatasi jam operasional sejumlah tempat hiburan, memperketat operasional perkantoran, hingga melarang kerumunan. Meski tak sepenuhnya sejalan dengan kemauan Luhut, namun instruksi itu disambut dengan sigap oleh Pemprov DKI Jakarta yang juga sudah menerbitkan sejumlah kebijakan menyambut momen pergantian tahun.
Meski mungkin mengecewakan bagi sejumlah pihak, namun instruksi Luhut sebenarnya wajar-wajar saja. Sebab, dalam beberapa pekan terakhir, kasus positif Covid-19 memang kembali melonjak. Apalagi DKI Jakarta hingga hari ini masih merupakan episentrum Covid-19 nomor wahid di Indonesia.
Namun begitu, bukan substansi dari instruksi Luhut yang sebenarnya menarik untuk didalami. Melainkan kekompakan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta yang justru menjadi perhatian masyarakat.
Bagaimana tidak? Jika kita mengingat rekam jejak penanganan pandemi pemerintah, kebijakan pusat dan daerah, khususnya Pemprov DKI kerap saling bertentangan. Misalnya pada Juni lalu ketika Pemprov DKI menerbitkan aturan pelarangan ojek online mengangkut penumpang, Luhut yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan ad interim menerbitkan aturan yang berkata sebaliknya.
Hal serupa juga terjadi pada momen mudik beberapa waktu lalu. Luhut juga sempat membatalkan kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menyetop operasional bus dari dan ke Jakarta dengan alasan faktor ekonomi.
Lantas untuk momen ini, mengapa pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta bisa langsung seiya-sekata tanpa banyak perdebatan seperti sebelum-sebelumnya?
Luhut-Anies Akhiri Polarisasi?
Carut marutnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan pandemi sebenarnya sudah sering mendapat sorotan dari para pakar kesehatan dan epidemiolog. Sebab kebijakan yang tidak sejalan memang berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat dan menjadi kontraproduktif terhadap penanganan pagebluk.
Seth Soderborg dan Burhanuddin Muhtadi dalam riset mereka yang dimuat di The Conversation menemukan fakta bahwa pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat juga mendorong perbedaan perilaku warga dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Dalam risetnya ini, mereka mengukur sikap partisan publik berdasarkan pilihan responden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Meski Prabowo Subianto sekarang sudah menjadi bagian dari pemerintahan, tetapi basis massa pendukungnya secara umum memiliki sentimen negatif terhadap Joko Widodo (Jokowi).
Pemilih Prabowo yang tinggal di Jakarta cenderung menyokong kebijakan Gubernur Anies Baswedan, yang notabene sekutu Prabowo, yang sejak awal mendorong kebijakan terkait pandemi secara lebih ketat.
Meski kebijakan pemerintahan Jokowi juga tetap menekankan akan pentingnya penerapan protokol kesehatan, namun fakta bahwa pemerintah pusat terkesan sempat menyepelekan ancaman pada masa awal pandemi, dinilai memengaruhi perilaku warga ketika terdapat “konflik” atas kebijakan pandemi, seperti penerapan PSBB.
Lantas jika bertolak dari riset ini, maka bisa jadi upaya koordinasi Luhut dengan Pemprov DKI Jakarta saat ini bisa dipandang sebagai upaya menyingkronkan antara kebijakan pusat dan daerah, dengan begitu, secara tidak langsung, dapat mengakhiri polarisasi yang selama ini mungkin saja masih terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu bisa berdampak positif bagi penanganan pandemi.
Kendati begitu, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai instruksi Luhut tersebut bisa dibilang terlambat. Pasalnya, saat ini kasus Covid-19 sudah terlanjur menyebar ke banyak daerah. Lantas mengapa koordinasi mulus antara pusat dan daerah semacam ini baru terjadi sekarang?
Terjebak Optimism Bias?
Michael Marshall dalam tulisannya yang berjudul Why We Find It Difficult to Recognise a Crisis? menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa suatu negara mengalami dampak pandemi lebih buruk dari negara lainnya dikarenakan pemerintahnya terlambat merespons krisis. Namun Ia menyebut keterlambatan respons ini mungkin disebabkan oleh sifat alamiah manusia.
Mengutip studi yang dilakukan psikolog Neil Weinstein yang diterbitkan pada tahun 1980, Marshall menduga respons lambat manusia terhadap suatu krisis disebabkan oleh fenomena yang disebut optimism bias atau bias optimisme. Fenomena ini terjadi ketika manusia memiliki rasa optimisme yang tidak realistis terhadap masa depannya sendiri.
Tali Sharot dari University College of London kemudian menyebut bahwa akar dari munculnya bias optimisme semacam ini disebabkan oleh cara manusia dalam mempelajari informasi baru.
Dalam sebuah penelitian yang Ia lakukan pada tahun 2011, timnya menemukan fakta bahwa manusia akan lebih cepat memperbarui keyakinan mereka jika menerima informasi yang sesuai harapan, dibandingkan dengan informasi yang lebih buruk dari yang diharapkan.
Dalam konteks Covid-19, Ia mengatakan jika para ahli menyebut bahwa lockdown dapat meredakan pandemi dalam dua minggu, maka orang-orang akan lebih cepat memproses informasi tersebut. Namun pada kenyataannya, hingga hari ini, tak satupun pihak yang mampu memberi kepastian kapan pandemi akan berakhir. Ini lah yang Ia yakini menjadi penyebab mengapa sejumlah negara terlambat dalam merespons krisis.
Kembali ke persoalan utama, sekali pun dinilai terlambat, namun instruksi yang dikeluarkan Luhut ini mengindikasikan bahwa pemerintah akhirnya telah menyadari untuk mulai membenahi penanganan pandemi Covid-19 khususnya dalam konteks koordinasi antara pusat dan daerah. Maka pertanyaan selanjutnya, faktor apa yang membangkitkan kesadaran ini?
Sinyal Kegentingan?
Di luar asumsi tersebut, sayangnya terdapat indikasi lain yang dapat dilihat dari instruksi Luhut jelang masa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) kali ini. Pasalnya, instruksi ini dikeluarkan bersamaan dengan semakin meningkatnya jumlah angka positif Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir.
Dugaan kegentingan terbaca dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 dalam beberapa hari terakhir. Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito bahkan sempat menyebut kasus aktif per 13 Desember 2020 mencapai 15,08 persen, lebih tinggi dari rekor pada bulan lalu.
Tak hanya dari dalam negeri, sinyal bahwa kasus Covid-19 di Indonesia masih dalam tahap yang mengkhawatirkan nyatanya juga menjadi sorotan dunia internasional. Baru-baru ini, otoritas Taiwan mengumumkan memberlakukan larangan masuk bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke negaranya untuk waktu yang belum ditentukan akibat kasus Covid-19 di Indonesia yang masih tinggi.
Selain mempersoalkan tingginya penambahan kasus harian, Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan, Chen Shih-chung, juga meragukan kredibilitas testing Covid-19 Indonesia. Ini menyusul banyaknya TKI yang ditemukan positif Covid-19 kendati telah mengantongi hasil tes negatif dari Indonesia.
Atas rentetan peristiwa ini, tidak heran jika kemudian terdapat spekulasi yang menyebut bahwa penegasan Luhut untuk memperketat PSBB jelang libur akhir tahun merupakan tindakan darurat yang diambil pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19 semakin memburuk. Apalagi, jika belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, libur panjang kerap menimbulkan lonjakan kasus yang cukup signifikan.
Di titik ini, setidaknya instruksi tegas Luhut terkait pengetatan PSBB jelang libur akhir tahun berimplikasi pada dua kesimpulan. Pertama, langkah ini bisa dianggap sebagai upaya perbaikan koordinasi antara pusat dan daerah terkait penanganan pandemi. Kedua, di saat yang sama, penegasan Luhut ini juga bisa dianggap sebagai sinyal bahwa penanganan Covid-19 hingga hari ini masih belum juga mengalami kemajuan.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap bahwa konteks perbaikan koordinasi ini akan konsisten dilakukan, dan tak hanya terjadi pada momen libur akhir tahun ini saja. Jangan sampai penanganan pandemi Covid-19 terus terhambat hanya karena tarik menarik antar pemerintah pusat dan daerah yang berpotensi membingungkan masyarakat. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.