Site icon PinterPolitik.com

LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?

Presiden Joko Widodo bersama dengan Presiden AS Joe Biden (Foto: Nasional Tempo.co)

Presiden Joko Widodo bersama dengan Presiden AS Joe Biden (Foto: Nasional Tempo.co)

Sebanyak 4.528 prajurit militer gabungan dari Indonesia dan Amerika Serikat (AS) ambil bagian dalam latihan gabungan militer terbesar sepanjang sejarah kedua negara. Beberapa pihak mengaitkan latihan ini sebagai indikasi keberpihakan pemerintahan Jokowi ke AS dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS).


PinterPolitik.com

Program latihan bersama militer bertajuk “Garuda Shield” ini sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kedua negara. Program ini sendiri tercatat telah terselenggara sejak sebelas tahun lalu. Akan tetapi ada yang berbeda dalam penyelengaraan program tersebut pada tahun ini.

Pertama, “Garuda Shield” tahun ini total melibatkan 4.528 prajurit gabungan dari Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang membuat latihan kali ini menjadi latihan militer gabungan terbesar bagi kedua negara sepanjang sejarah.

Kedua, latihan gabungan militer ini berlangsung di tengah-tengah ketegangan antara AS dan Tiongkok – sehubungan dengan peningkatan kehadiran militer Beijing di Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Laporan dari Nikkei Asia menyebut latihan gabungan ini merupakan bagian dari usaha Washington untuk membangun front dengan Jakarta guna menghadapi peningkatan militer Beijing di LTS.

Lantas, apakah pemerintahan Jokowi lebih condong ke AS terkait LTS?

Mendekat ke AS?

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu AS, Antony Blinken memaparkan bahwa Indonesia telah memasuki “era baru” dalam hubungan bilateral dengan AS.

Merujuk pada latihan gabungan militer yang saat ini sedang berlangsung, Retno menyambut baik “keterlibatan” lebih AS di kawasan Asean dan menyatakan harapannya agar Indonesia dapat terus meningkatkan hubungan bilateral dengan Washington di bawah pemerintahan Joe Biden.

Derek Grossman, analis pertahanan senior dari Rand Coorporation US memaparkan bahwa penyelenggaraan latihan militer terbesar antar kedua negara ini jelas merupakan indikasi bahwa AS berupaya meningkatkan kehadirannya di Indonesia untuk melawan pengaruh Tiongkok, terutama dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.

Grossman menambahkan, melihat kondisi ini Beijing akan mengharapkan Jakarta untuk menjaga keseimbangan.

Baca Juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Thucydides

Namun, jika nantinya hubungan AS-Indonesia mulai menambahkan bentuk-bentuk baru kerja sama keamanan, maka Tiongkok mungkin mulai bertanya-tanya, apakah perlu khawatir tentang perubahan status non-blok Indonesia.

Institute for Defence and Strategic Studies (IDSS) menjelaskan bahwa sejak awal Indonesia menjadikan AS sebagai mitra utama dalam hal pertahanan dan keamanan, sementara hubungan dengan Tiongkok lebih cenderung bersifat ekonomis.

Akan tetapi, semakin intensnya hubungan kedua negara di bidang pertahanan ditambah penunjukan Indonesia sebagai koordinator kerja sama Asean-AS, dikabarkan membuat Beijing sedikit khawatir terutama di tengah konflik perebutaan wilayah Laut Tiongkok Selatan.

Dalam konteks ini, keterlibatan AS yang bukan negara pengklaim dalam sengketa LTS, secara teoritis dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi pihak ketiga.

Dalam situasi konflik, pihak yang berkonflik sulit untuk mempercayai pihak lawannya, sehingga proses komunikasi langsung sulit terjadi. Oleh karena itu pihak ketiga diharapkan dapat menjembatani ketidakpercayaan antar pihak dan membuat mereka mampu memasuki proses komunikasi langsung.

Secara teoritis tidak ada kewajiban bahwa pihak ketiga harus netral atau bebas kepentingan dalam berbagai aspek. Bahkan, pihak ketiga dimungkinkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap salah satu pihak ketika terjadi defisiensi kekuatan.

Dalam menjalani peran sebagai “pihak ketiga”, AS dan Indonesia jelas memiliki motif dan tujuan yang berbeda. AS misalnya menggunakan strategi “power projection” dalam menangani konflik sengketa wilayah di LTS.

Mark A. Gunzinger dalam tulisannya yang berjudul Power Projection menjelaskan bahwa power projection (proyeksi kekuatan) merupakan pengaplikasian kekuatan militer oleh otoritas komando nasional untuk mencapai tujuan politik tersembunyi di luar batas wilayah negara tersebut.

Sementara Indonesia, walau bukan pengklaim dalam sengketa wilayah ini, akan tetapi secara tidak langsung tetap memiliki kepentingan.

Hal ini dikarenakan sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia masuk dalam wilayah klaim Beijing di LTS, sehingga menganggap tetap ada potensi ancaman militer yang meluas ke wilayah Indonesia jika konflik ini terus berlangsung.

Dengan posisi seperti ini, Indonesia dikabarkan lebih memilih untuk berperan menjadi pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Peluang ini tidak akan diperoleh jika Indonesia ikut menyatakan klaim di wilayah tersebut.

Peran yang dilakukan Indonesia secara teoritis menjalankan apa yang disebut Bleddyn Bowen sebagai “deterrence strategy”, yaitu upaya persuasi untuk mencegah pihak musuh melakukan suatu tindakan tertentu yang dapat merugikan negara.

Walaupun memiliki peran dan tujuan yang berbeda, akan tetapi kedua negara dinilai saling membutuhkan satu sama lain dalam upaya penyelesaian konflik ini.

Zack Cooper, peneliti senior di American Enterprise Institute, sekaligus mantan anggota Dewan Keamanan Nasional memaparkan, bagi AS keberadaan Indonesia sangatlah strategis dalam isu ini, terutama dari segi teritorial dan pengaruh besar yang dimiliki di kawasan Asean.

Baca Juga: Perang Dunia III, Biden Lawan Tiongkok-Rusia?

Berbagai pihak menyatakan semakin meruncingnya konflik di Laut Tiongkok Selatan tidak menutup kemungkinan akan adanya bentrokan yang dapat memaksa negara-negara untuk memihak.

Lalu. dalam konflik ini tepatkah strategi pemerintahan Jokowi yang cenderung “mendekat” dengan AS?

Langkah Tepat

Beberapa saat terakhir, konflik yang terjadi di LTS kembali memanas setelah Amerika Serikat mengerahkan kapal perang dan kapal induk memasuki perairan dekat Taiwan.

Armada kapal induk USS Theodore Roosevelt pekan lalu dikabarkan berlayar di Laut Tiongkok Selatan untuk menggelar latihan militer sebagai bagian dari operasi kebebasan bernavigasi. Tak hanya itu, AS kembali mengirim kapal perang USS John S. McCain, yang berlayar dan transit di Selat Taiwan yang menjadi wilayah sensitif bagi Beijing dan Taipei.

Tiongkok menyebut latihan rutin AS sebagai sebuah upaya “unjuk kekuatan”. Tak lama dari itu, Beijing mengumumkan akan melakukan latihan militer serupa di Laut Tiongkok Selatan.

Seperti yang dikatakan di atas, meruncingnya konflik di LTS tidak menutup kemungkinan akan adanya bentrokan yang dapat memaksa negara-negara untuk memihak.

IDSS juga memaparkan bahwa Indonesia sejak awal telah menjadikan AS sebagai mitra utama dalam hal pertahanan dan keamanan, dalam konflik ini cenderung mendekat ke AS.

Kecenderungan itu sekiranya dapat dimengerti. Pasalnya, jika dianalisis dari segi kekuatan militer, AS jauh lebih superior dari Tiongkok.

Data yang dirilis Global Fire Power yang bertajuk 2021 Military Strength Ranking mencatat AS berada di peringkat pertama. Sementara kemampuan pertahanan Tiongkok membuntut di urutan ketiga dari 139 negara.

Masih dalam rilis yang sama, dari segi anggaran militer AS juga lebih unggul. Mereka mempunyai anggaran pertahanan sebesar US$740 miliar, sedangkan Beijing mengalokasikan biaya pertahanan hanya sebesar US$178 miliar.

Begitu pula dalam perbandingan alutsista militer yang dimiliki, AS masih unggul jauh dari Tiongkok.

Satu-satunya indikator militer yang menjadi keunggulan Tiongkok atas AS adalah terkait jumlah personel militernya. Tiongkok memiliki 2,1 juta personel aktif dengan 510 ribu tentara cadangan. Sementara AS hanya memiliki 1,4 juta tentara aktif dengan tambahan 845 ribu pasukan cadangan.

Oriana Skylar Mastro, pakar kebijakan keamanan Tiongkok dari Universitas Stanford memaparkan, secara umum kemampuan militer Tiongkok masih jauh di bawah AS. Militer Beijing dianggap belum memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni. Seperti yang diketahui mereka telah absen perang selama 40 tahun terakhir.

Dari semua data terkait perbandingan kekuatan militer antara AS–Tiongkok, keputusan Indonesia untuk meningkatkan hubungan diplomatik di bidang pertahanan dengan AS merupakan langkah yang tepat.

Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana memaparkan bahwa dari perspektif Tiongkok, keberpihakan Indonesia terhadap AS dalam konflik ini diyakini tidak akan memengaruhi hubungan bilateral antara Beijing dan Jakarta.

Hal ini justru akan menjadi cambuk bagi Tiongkok untuk meningkatkan diplomasi di bidang lain, seperti perdagangan dan ekonomi untuk mengimbangi posisi AS di Indonesia.

Jika demikian, jelas kondisi ini sangat baik bagi Indonesia karena berpotensi mendapat keuntungan dari dua sisi, yaitu pertahanan dan ekonomi.

Well, pada akhirnya dalam konflik ini keberpihakan pemerintahan Jokowi kepada AS sebagai salah satu negara yang mempunyai kemampuan militer terbaik bisa dianggap sebagai langkah yang bijak untuk meminimalisir segala risiko terburuk yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan. (A72)

Exit mobile version