Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terus terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih, di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.
Kepiawaian manuver politik PKB di bawah komando Muhaimin Iskandar (Cak Imin) serta militansi kader serta simpatisan PKS beserta konsistensi ideologis mereka, agaknya akan membuat kedua partai itu menjadi dua kutub bagi pemilih Islam ke depan. Dalam hal ini, menyingkirkan semua parpol Islam pesaing.
Ya, di Pemilihan Legislatif (Pileg) nasional 2024, PKB mendulang prestasi dengan torehan lebih dari 16 juta suara atau 68 kursi parlemen. Padahal di 2019, mereka hanya meraih sekitar 13,5 juta suara dengan 58 kursi di DPR.
Sementara itu, PKS sukses bertengger sebagai parpol berhaluan Islam terkuat kedua dengan meraih 12.781.353 suara atau 53 kursi. Torehan itu meningkat dibanding edisi 2019 di mana PKS mendapat 11.493.663 suara atau 50 kursi parlemen.
Dengan karakteristik PAN yang seakan telah beralih dari haluan dan karakteristik Islam (korelasi dengan Muhammadiyah) ke nasionalis, PKB dan PKS sukses menjadi representasi pemilih Islam dari dua kutub yang berbeda, moderat dan konservatif.
Dapat dikatakan, baik partai besutan Cak Imin maupun Ahmad Syaikhu, sama-sama lolos “seleksi alam” parpol Islam di ajang Pemilu 2024.
Parpol berhaluan Islam lainnya, seperti PPP, Partai Ummat, dan PBB tampak menjadi penggembira karena gagal mendapatkan satu pun kursi di DPR periode 2024-2029. Takdir PPP menjadi yang paling tragis karena untuk pertama kalinya gagal ke parlemen setelah 50 tahun lebih eksis.
Lalu pertanyaannya, mengapa partai Islam menghadapi “seleksi alam” cukup signifikan di 2024? Serta, bagaimana masa depan PKB dan PKS dalam percaturan politik Indonesia ke depan?
“Hukum Alam” Untungkan PKS-PKB?
Secara kasat mata, tersingkirnya beberapa parpol berhaluan Islam di Pemilu 2024 dan hanya menyisakan PKB serta PKS dapat dipetakan, plus memang telah diprediksi sebelumnya. Setidaknya, hal itu dapat dijelaskan berdasarkan empat alasan.
Pertama, kendati mayoritas penduduk beragama Islam, tren kekinian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih tertarik pada lingkaran permainan dan gagasan partai nasionalis dan sekularis besar dalam konteks politik.
Fenomena itu ditambah dengan karakteristik party-id di Indonesia yang begitu lemah, yakni kondisi kedekatan atau interelasi pemilih dengan parpol tertentu, khususnya yang merepresentasikan Islam.
Kedua, kegagalan kaderisasi dan rekrutmen, ditambah inkonsistensi dan kebingungan ideologis dialami oleh sebagian besar parpol berhaluan Islam.
Bahkan, PKS pun dikatakan pernah mengalami hal itu, khususnya terkait dilema ideologi, sebagaimana yang disiratkan Sunny Tanuwidjaja dalam sebuah publikasi berjudul PKS post-Reformasi Indonesia. Sunny mengatakan PKS sempat tampak berusaha mempenetrasi batasan yang selama ini berlaku bagi parpol Islam, yakni sedikit masuk ke spektrum moderat-nasionalis.
Ketiga, keterbatasan logistik penggerak mesin partai di seluruh wilayah menjadi faktor determinan tak terpisahkan dari tersingkirnya parpol seperti PPP, Partai Ummat, dan PBB.
Keempat, konflik internal dan pilihan dilematis dalam berkoalisi jelang dan di Pemilu 2024 menjadi faktor lain, terutama yang spesifik tampak dialami oleh PPP.
Faktor-faktor itu lah yang tampak menjadi latar belakang terjadinya “seleksi alam”, yang mana dalam hal ini dapat dijelaskan melalui Duverger’s law atau hukum Duverger.
Kendati menjadi refleksi sistem politik negara Barat secara umum, Duverger’s law yang berakar dari gagasan ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, kiranya menyiratkan derajat kesamaan yang serupa dengan case nasib parpol-parpol Islam di Indonesia.
Duverger menyatakan bahwa ada dua mekanisme dalam sistem politik yang menyebabkan pemungutan suara dalam ceruk spesifik akan bermuara lebih sedikit partai yang lebih dominan dan mengerucut pada dua entitas saja.
Pertama, partai-partai – dalam hal ini parpol Islam – yang “lebih kecil” tidak diberi atau memiliki cukup insentif untuk mengembangkan diri karena mereka mengalami kesulitan besar dalam memenangkan kursi atau keterwakilan. Hal ini berkorelasi dengan empat alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, para pemilih enggan memilih partai ”lebih kecil” – sekali lagi dalam konteks parpol Islam – yang sebenarnya cukup representatif. Dalam sebagian besar kasus, mereka tidak ingin menyia-nyiakan suara untuk partai yang tidak mungkin memenangkan kontestasi di sistem dengan skala yang lebih besar. Dalam konteks ini, sistem multipartai dan multiideologi.
Oleh karena itu, pemilih cenderung menyalurkan suara ke salah satu dari dua partai besar (berhaluan Islam) yang lebih berpeluang, memenangkan pemilu (setidaknya lolos ambang batas parlemen), dan menyalurkan aspirasi mereka.
Hakikatnya, individu akan lebih mudah menentukan pilihan saat mengerucutkan pilihan kepada dua hal. Baik yang dilakukan melalui metode eliminasi maupun personal representation dan proximity.
Di titik ini, Duverger’s law kemudian tampak relevan dengan “seleksi alam” yang pada Pemilu 2024 memunculkan PKB dan PKS sebagai parpol yang merupakan representasi dan pilihan ceruk suara Islam.
Lantas, dengan karakteristik berbeda sebagai sesama parpol Islam, bagaimana masa depan PKB dan PKS di blantika politik tanah air ke depannya?
Mustahil Jadi Penguasa?
Torehan apik nan kompak PKB dan PKS agaknya memang berlatarbelakang dan didukung oleh kekuatan spesifik masing-masing serta dinamika politik kontemporer yang terjadi.
Bagi PKB, kesuksesan di Pemilu 2024 tak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Cak Imin, plus pencawapresannya mendampingi Anies Baswedan.
Cak Imin dinilai berhasil mempertahankan dan mempertajam dukungan akar rumput Nahdlatul Ulama (NU), serta mereka yang dikategorikan NU struktural maupun kultural. Menariknya, PKB berhasil meraih prestasi itu di tengah intrik Cak Imin dengan elite-elite NU dan Yenny Wahid mengenai arah politik Nahdliyin.
Sekali lagi, walaupun gagal, ekspektasi pemilih NU kiranya telah direngkuh Cak Imin sejak dirinya mendapat kesempatan sebagai kandidat RI-2.
Kontrak sosial-politik Cak Imin dengan NU pun kiranya turut menjadi faktor. Greg Fealy dalam analisisnya yang berjudul Nahdlatul Ulama and the politics trap menyebut menjelang Pemilu 2014, Cak Imin khawatir PKB tak mampu memenuhi ambang batas parlemen 3,5 persen.
Dia kemudian merancang salah satu strategi cukup brilian untuk mengamankan dukungan NU, yakni “mengikat” ormas Islam terbesar di Indonesia itu dengan penyaluran dana dan aset.
Seluruh kader PKB yang duduk di DPR maupun DPRD diinstruksikan untuk memberikan dana rutin kepada NU untuk keperluan administrasi. Selain itu, posisi para kader di legislatif juga disebut-sebut diutilisasi untuk merengkuh dana bagi program sosial dan keagamaan NU.
Bahkan, Cak Imin juga menjamin jika PKB bubar atau dibubarkan, maka semua asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Lalu, bergeser ke sudut lain, yakni PKS. Pada ajang Pemilu 2024, strategi PKS yang telah disusun dan dijalankan sebelumnya tampak cukup berhasil.
Impresi konsistensi PKS di DPR sebagai penyeimbang pemerintah kiranya mempertebal ekspektasi serta militansi kader dan simpatisan selama proses politik 2024.
Tak hanya di level legislatif nasional, PKS pun tampak unggul sebagai representasi pemilih Islam dalam pertarungan DPRD.
Kemenangan di Jakarta menjadi sampel bahwa PKS cukup diminati pemilih Islam perkotaan yang bukan basis NU. Hal ini kiranya juga didukung oleh tren “pemilih hijrah” yang menjadikan PKS sebagai pilihan politik mereka.
PKS pun tampak apik dalam hal rekrutmen kader, bahkan sejak 2020 silam. Tokoh daerah yang potensial dan relevan dengan nilai-nilai PKS turut berkontribusi bagi torehan suara PKS, salah satunya adalah Gamal Albinsaid di Jawa Timur yang sukses melenggang ke DPR di debut politiknya.
Akhirnya, Pemilu 2024 tampak membentuk pola dan takdir partai berhaluan Islam di Indonesia ke depan. PKB dan PKS kemungkinan besar akan menjadi dua representasi ceruk suara Islam dengan karakteristik masing-masing yang berhasil lolos “seleksi alam” dan akan terus bertahan mewarnai perpolitikan tanah air.
Kini, tantangan besar bagi keduanya adalah keluar dari middle party trap atau jebakan partai tengah yang selama ini menggelayuti parpol berhaluan Islam. Menarik untuk ditunggu kiprah dan langkah politik PKB dan PKS berikutnya. (J61)