Sejak persitiwa penusukan Menko Polhukam Wiranto, Kepolisian sudah menangkap setidaknya 36 terduga teroris di berbagai daerah. Selain menyita berbagai barang bukti, Polri menemukan fenomena baru bahwa kini jaringan teroris di Indonesia sudah semakin “go online” alias menggunakan internet untuk operasinya. Lalu, seperti apa hubungan teroris dengan dunia internet? Apakah Indonesia siap menghadapi terorisme digital ini?
PinterPolitik.com
Fenomena baru ini muncul setelah Polri menemukan bahwa dari 36 terduga teroris yang ditangkap, 90 persennya di-“baiat”, dilantik atau mengucapkan sumpah setia kepada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) secara online.
Tidak hanya dibaiat, Polri juga mengatakan bahwa puluhan terduga teroris ini saling berinteraksi hingga belajar merakit bom secara online.
Temuan ini membuka babak baru jaringan terorisme di Indonesia yang sebelumnya masih menggunakan cara-cara konvensional tatap langsung, seperti melalui forum-forum keagamaan, untuk merekrut anggotanya.
Di level global, dimanfaatkannya internet oleh kelompok teroris sebenarnya bukan hal baru.
Setidaknya sejak tahun 1990-an puluhan kelompok teroris sudah memiliki situsnya masing-masing untuk menyebarkan paham hingga menginstruksikan pengikut-pengikutnya.
Teroris Online
Menurut penelitian Rand Corporation, ada lima dampak internet terhadap penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
Pertama, internet memfasilitasi kelompok-kelompok teroris untuk menyebarkan paham dan jangkauannya karena mampu menghilangkan batasan-batasan fisik ataupun geografis.
Selain itu anonimitas yang ada dalam internet menghilangkan batasan-batasan, seperti gender, nasionalisme, dan personalitas, yang sebelumnya membatasi kelompok individu tertentu untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Kedua, internet membuat individu lebih mudah mengakses konten-konten terorisme yang sebelumnya disensor, sulit didapatkan, ataupun terlarang di dunia fisik. Internet juga memungkinkan orang-orang yang memiliki paham terorisme untuk berkumpul dan saling menguatkan ideologinya.
Ketiga, internet yang dapat diakses secara instan dan berkelanjutan membuat proses teradikalisasinya seseorang menjadi semakin cepat.
Keempat, internet memungkinkan radikalisasi terjadi tanpa adanya kontak fisik ataupun pertemuan secara langsung antar individu.
Kelima, internet meningkatkan peluang terjadinya self-radicalization alias radikalisasi sendiri.
Radikalisasi sendiri ini adalah kondisi di mana seseorang terpengaruh dan mendukung paham-paham radikalisme meskipun orang tersebut tidak pernah sama sekali berinteraksi dengan kelompok teroris.
Jenis radikalisasi ini terjadi ketika seseorang, dengan sengaja ataupun tidak, melihat konten-konten terkait gerakan terorisme dan mempercayainya.
Menurut laporan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), dampak signifikan dari penggunaan internet oleh teroris terhadap Indonesia sudah terjadi pada tahun 2015 dengan munculnya kelompok teroris ISIS.
Ketika itu, ISIS yang menyebarkan propaganda dan terorisnya melalui internet berhasil membuat 541 warga negara Indonesia (WNI) bergabung dengannya, padahal pada saat itu kelompok tersebut hanya aktif di Irak dan Suriah.
Bukti terbaru dari radikalisasi jenis ini terjadi Agustus 2019 kemarin ketika seorang pria berinisial IM melakukan penyerangan di Polsek Wonokromo.
Dalam peristiwa tersebut, Kapolri Tito Karnavian mengatakan bahwa IM teradikalisasi sendiri melalui internet.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menghalau terorisme online ini?
Literasi Digital
Pemerintah sebenarnya tidak berdiam diri.
Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam satu dekade terakhir pemerintah sudah memblokir 11.803 konten radikalisme dan terorisme di internet yang terdiri dari situs hingga akun media sosial.
Namun, pemblokiran ini saja tidak cukup mengingat terbatasnya kemampuan pengawasan Kominfo.
Meskipun sejak Desember lalu Kominfo sudah mengoperasikan mesin sensor internet bernama “AIS”, mesin ini hanya bisa mengawasi konten-konten yang terbuka secara publik dan tidak bisa memeriksa percakapan pribadi serta akun yang statusnya “private”.
Pundalam operasinya, AIS hanya “mengais” alias mengumpulkan konten saja, sementara keputusan untuk memblokir konten tetap ada di tim verifikator manusia.
Kalaupun pemerintah bisa mengawasi semua konten di dunia maya, pengawasan massal internet akan menimbulkan polemik mengenai privasi dan kebebasan masyarakat vs kebutuhan pemerintah untuk memburu teroris.
Apalagi, belakangan ini, meskipun belum terkait dengan terorisme, cara pemerintah mengkontrol internet lebih sering menimbulkan respon negatif dari publik, seperti pada kasus pembatasan internet di Papua dan pembatasan media sosial pada kerusuhan 21-22 Mei 2019.
Sebetulnya, ada cara lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu meningkatkan literasi digital masyarakat.
Literiasi digital didefinisikan sebagai “sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat”.
Literasi digital ini memang sudah dijalankan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Namun, program komperhensif-nya baru dimulai pada tahun 2017 dengan nama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), di mana penanganan konten negatif seperti radikalisme juga menjadi salah satu fokus gerakan.
Badan Nasional Penaggulangan Teroris (BNPT) megatakan bahwa literasi digital merupakan cara untuk melindungi masyarakat dari pengaruh penyabaran terorisme secara online.
Literasi digital menjadi penting karena, berdasarkan laporan INFID, kelompok teroris yang beroperasi di Asia juga menyebarkan konten-konten propaganda dan bohong alias hoaks dengan tujuan merah simpati dan dukungan publik.
Upaya pencegahan terorisme melalui literasi digital juga dilakukan oleh negara lain seperti Denmark dan Inggris.
Pemerintah Denmark memiliki program literasi digital dengan tujuan agar masyarakatnya mengetahui teknik propaganda dan narasi kelompok teroris.
Dengan demikian ketika menggunakan internet masyarakat Denmark dapat membedakan mana konten positif dan mana konten negatif buatan teroris.
Sementara Inggris, yang juga memiliki permasalahan dengan terorisme online, menjalankan program literasi digital dan media agar masyarakatnya dapat mengetahui konten-konten berbahaya di internet serta melihat informasi secara kritis.
Pun urgensi akan literasi digital menjadi semakin meningkat dengan kasus radikalisme sendiri yang memperlihatkan bahwa memblokir sumber konten saja tidak cukup, namun masyarakat yang menjadi target konten tersebut juga harus dibekali dengan pemahaman.
Sayangnya, hingga saat ini baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia nampak belum siap untuk mencegah lahirnya gelombang terorisme baru secara online.
Menurut survei yang dilakukan oleh CIGI-Ipsos pada tahun 2016, 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia menerima informasi yang mereka lihat di internet secara mentah-mentah alias tanpa mencari terlebih dahulu kebenarannya.
Hal senada juga diungkapkan Dedy Permadi, Ketua Umum GNLD yang melihat bahwa pembangunan infrastruktur teknologi di Indonesia tidak diimbangi oleh literasi digital.
Kemudian Menkominfo Rudiantara juga mengakui bahwa perlu adanya evaluasi program literasi digital agar dapat berjalan lebih efektif.
Meningkatnya kasus penyebaran paham terorisme secara online dan rendahnya literasi digital masyarakat adalah kombinasi yang sangat membahayakan.
Apalagi saat ini Indonesia sudah menjadi negara dengan pengguna internet terbesar kelima di dunia dan jumlah pengguna internet pun terus bertambah tiap tahunnya. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.