Tinggal selangkah lagi bagi Komjen Listyo Sigit Prabowo untuk menjabat sebagai Kapolri, setelah menjadi calon tunggal yang disodorkan oleh Presiden Jokowi. Lalu, apa kiranya yang melandasi penunjukan itu oleh Kepala Negara, serta apa makna di baliknya?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah menyodorkan nama Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Listyo Sigit Prabowo, sebagai calon tunggal yang diproyeksikan menjadi suksesor Kapolri saat ini, Jenderal Idham Azis.
Komjen Listyo Sigit hanya tinggal menjalani fit and proper test, atau uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI sebelum kemudian dilantik dan mengemban amanat memimpin Korps Bhayangkara.
Terdapat sejumlah catatan menarik yang ditorehkan Komjen Listyo Sigit pasca ditunjuk Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri. Selain menyisihkan nama-nama kolega berpangkat bintang tiga lain, Listyo juga melampaui empat angkatan yang masih aktif di atasnya untuk duduk di posisi itu.
Plus, Listyo juga kemungkinan besar akan menjadi Kapolri termuda mematahkan rekor Tito Karnavian, jika nantinya dilantik pada Februari mendatang.
Di luar itu, penunjukan Listyo tak lantas berjalan begitu saja tanpa diiringi isu tertentu, utamanya mengenai latar belakangnya sebagai nonmuslim. Saat masih mengemuka sebagai spekulasi pada November lalu, isu tersebut mulai mengemuka.
Hal itu setelah Wakil Ketua Umum (Waketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode saat itu, Muhyiddin Junaidi menyebut, seorang pemimpin nonmuslim yang mengendalikan keamanan negara – di mana mayoritas penduduknya muslim – adalah sebuah keanehan dan tugasnya pasti amat berat.
Bak sebuah repetisi, Waketum MUI saat ini, Anwar Abbas pun mengutarakan sorotan yang tampak serupa namun tak sama.
Yakni dengan mengingatkan bahwa penunjukan seseorang menjadi Kapolri sebaiknya jangan hanya dengan pertimbangan kedekatan, loyalitas dan profesionalitas saja, tapi harus lebih luas dari itu.
Salah satu latar belakangnya, Abbas mengacu pada kecenderungan hubungan antara pemerintah dan umat Islam yang agak terganggu. Dengan menimbang bahwa ada sebagian dari mereka yang mungkin melihat bahwa di negeri ini tengah terjadi kriminalisasi terhadap ulama.
Baca juga: HRS di Pusaran Tahta Polri?
Meski saran itu lumrah saja untuk dikemukakan, namun sejumlah pihak di sisi berbeda cukup banyak yang tak mempermasalahkan sama sekali terkait latar belakang Listyo dan percaya bahwa aspek profesionalitas akan selalu dikedepankan.
Bagaimanapun, keputusan telah dibuat dan di samping isu yang mengiringinya, menjadi hal yang menarik pula kiranya untuk mengetahui apakah makna sesungguhnya di balik prerogatif Presiden Jokowi dalam penunjukan Komjen Listyo Sigit untuk menjadi Kapolri?
Paling Ideal Bagi Jokowi?
Pasca reformasi plus pemisahan TNI-Polri, prerogatif Presiden untuk menunjuk Kapolri memang menjadi ihwal yang kemudian menimbulkan tafsir umum, bahwa pucuk pimpinan Bhayangkara disebut akan selalu diisi oleh orang yang memiliki kedekatan dengan Kepala Negara.
Dalam publikasi fenomenalnya yang berjudul Il Prince, Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa kekuasaan dan pengaruh memang akan lebih mudah dipertahankan apabila suksesor, pembantu, dan sebagainya ditunjuk dari mereka yang memiliki koneksi khusus.
Hal tersebut tak lantas selalu bermakna negatif, ketika implementasinya pada beberapa konteks seperti keamanan misalnya, sangat membutuhkan koordinasi cepat yang efektif demi terciptanya stabilitas.
Jika ditelusuri, Presiden Jokowi dan Listyo Sigit sendiri memang memiliki riwayat relasi khusus. Momen pertama bagi kedekatan keduanya tercatat saat Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo, dan Listyo kebetulan dipercaya sebagai Kapolrestabes Surakarta pada medio 2010 hingga 2012.
Kedekatan tersebut kemudian semakin terlihat di kemudian hari saat Jokowi yang telah menjadi RI-1, memilih Listyo Sigit sebagai ajudannya di tahun 2014. Koneksi dan kepercayaan di balik penunjukan Listyo sebagai Kapolri menjadi masuk akal sesuai postulat Machiavelli sebelumnya.
Tentunya hal itu juga didukung oleh kinerja mentereng abituren Akademi Kepolisian tahun 1991 itu dalam setiap posisi yang Ia emban, utamanya ketika menjabat sebagai Kabareskrim saat ini.
Baca juga: Feminis Berani Nyenggol Kapolri?
Sebut saja kasus Djoko Tjandra, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, hingga kasus kebakaran Gedung Kejagung. Belum lagi dalam penanganan kasus korupsi yang tercatat telah merampungkan 485 perkara dan sepanjang 2020 lalu, Bareskrim Polri tercatat berhasil menyelamatkan uang negara sebesar lebih dari Rp310 triliun.
Namun terlepas dari itu, yang menarik adalah, Listyo Sigit masih memiliki waktu hingga tahun 2027 sebelum masa baktinya berakhir di Kepolisian. Sebuah fakta yang tampaknya cukup menyiratkan bahwa Presiden Jokowi menginginkan kerja sama jangka panjang dengan Listyo Sigit di sisa periode keduanya di Istana.
Dan menjadi lumrah pula pada akhirnya dengan track record serta relasi yang ada di antara keduanya, stabilitas yang berkesinambungan dalam sejumlah konteks menjadi ihwal yang agaknya ingin direngkuh oleh Presiden Jokowi di balik penunjukan Listyo Sigit sebagai Kapolri.
Lepas dari Pengaruh BG?
Desas-desus yang ada sebelum bursa pencalonan Kapolri, menyatakan terdapat sejumlah “geng” yang akan menjadi suksesor Idham Azis sebagai Kapolri. Mulai dari geng Solo, geng Pejaten, geng Makassar, dan geng Independen.
Listyo sendiri disebut tergolong ke dalam geng Solo dan sempat dikatakan akan mendapat saingat kuat dari “geng” Pejaten atau yang memiliki kedekatan dengan Budi Gunawan (BG), di mana sebelumnya disebut cukup berpengaruh dalam dinamika di tubuh Kepolisian.
Karena jika merujuk pada Jacqui Baker dalam Jokowi’s police go unpoliced, Presiden Jokowi sebelumnya dikatakan memiliki ruang yang sedikit dalam penunjukan pimpinan Kepolisian akibat harus berkompromi dengan mitra politiknya.
Salah satunya, Baker mencontohkan intrik saat Budi Gunawan nyaris menjadi Kapolri pada awal 2015 silam, di mana faktor Megawati Soekarnoputri disebut sangat menentukan.
Oleh karena itu, penunjukan Listyo Sigit oleh Presiden Jokowi tampaknya membuka ruang tafsir tersendiri bagi sejumlah kemungkinan. Seperti apakah hal itu mengindikasikan telah menghilangnya pengaruh Budi Gunawan, hingga apakah Jokowi kini telah dapat terlepas sepenuhnya dari kemungkinan intervensi Megawati dalam keputusan strategis.
Yang jelas, kecenderungan independensi yang berlandaskan profesionalisme dan telah diperlihatkan Presiden Jokowi atas penunjukan Listyo Sigit sebagai Kapolri, telah menjadi secercah harapan yang lebih luas bagi progresivitas institusi Kepolisian ke depannya. Lantas dengan hal itu, akankah kolaborasi Presiden Jokowi dan Listyo Sigit tak akan menemui tantangan berarti?
Baca juga: Mengapa Polri Bangkitkan PAM Swakarsa?
Punya Tantangan Khusus
Kendati memiliki prospek yang positif seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, sejumlah tantangan agaknya akan menjadi aral yang harus dilalui dengan strategi khusus, terutama oleh Presiden Jokowi sebagai empunya kendali.
Karena menurut Made Supriatma dalam The Indonesian police’s dual function under Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu selama ini telah memperkuat posisi politik Kepolisian.
Supriatma menyebut bahwa saat ini ada tendensi tertentu yang melihat Kepolisian sebagai kekuatan keamanan dan politik, yang secara aktif memaksimalkan instrumen hukum terhadap lawan pemerintah, membungkam kritik, hingga merepresi mereka yang berlawanan dengan kekuasaan Presiden.
Tendensi inilah yang agaknya harus sangat dicermati oleh Presiden Jokowi. Terlebih hingga kini, masih terdapat segelintir pihak yang membawa narasi identitas di balik penunjukan Listyo Sigit yang berlatar belakang nonmuslim.
Meskipun mayoritas pihak di tanah air tentu menginginkan kesejukan dan toleransi antar elemen bangsa, terkadang tetap saja ada segelintir pihak yang memperkeruh, utamanya ketika berhadapan dengan kepentingan politik dan tujuan kekuasaan.
Hal ini disiratkan Adri Wanto dan Leonard C. Sebastian dalam tulisannya di East Asia Forum yang berjudul Identity politics aren’t going anywhere in Indonesia.
Wanto dan Sebastian mengatakan bahwa konsekuensi penggunaan agama untuk kepentingan kampanye, paling tidak sejak Pemilu 2014, membuat politik identitas agama akan tetap ada. Yang kemudian membuat narasi sentimen berbasis agama pun dapat dengan mudah tersemai.
Inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi Presiden Jokowi dengan eksistensi Listyo Sigit sebagai Kapolri. Utamanya jika pada kontestasi elektoral yang cukup hangat, yakni Pilkada DKI Jakarta 2022 maupun Pilpres 2024, narasi identitas dinilai masih akan menjadi komoditas yang mengemuka.
Listyo memang memiliki riwayat apik saat berhasil meredam narasi semacam itu di tengah hangat dan meluasnya sentimen kasus Ahok dengan langkah brilian. Yakni dengan merangkul para ulama secara inklusif ketika menjabat sebagai Kapolda Banten pada akhir 2016 hingga 2018 silam.
Namun andai narasi terulang dan kiranya berpotensi tak terbendung, Presiden Jokowi bukan tidak mungkin akan memindah tugaskan Listyo pada posisi tertentu sebelum masa purnanya, seperti apa yang terjadi pada Tito Karnavian.
Bagaimanapun, penjabaran di atas masih merupakan interpretasi semata. Namun yang jelas, penunjukan Listyo Sigit sebagai Kapolri memang diharapkan dapat membawa harapan baru bagi strategi penegakan hukum di Indonesia.
Dapat membawa inklusivitas, toleransi, serta menjamin keadilan tanpa pandang bulu menjadi ekspektasi terbesar yang kiranya akan ada di pundak Listyo Sigit kelak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Listyo Sigit Pasti Jadi Kapolri?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.