HomeNalar PolitikListyo Sigit Pasti Jadi Kapolri?

Listyo Sigit Pasti Jadi Kapolri?

Kapolri Idham Azis yang sebentar lagi memasuki masa pensiun telah memicu kemunculan berbagai nama yang digadang-gadang akan menggantikan posisinya di pucuk tertinggi kepemimpinan Polri. Lantas, mungkinkah Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo yang memiliki peluang paling besar sebagai suksesor Idham Azis?


PinterPolitik.com

Saat ini, kita mengenal perbedaan tegas antara tugas TNI dan Polri, kendati keduanya sama-sama menjaga keamanan. Berbeda dengan TNI yang bertugas melindungi negara dari ancaman dari luar, Polri bertugas untuk menjaga keamanan internal dan mengawal tegaknya penerapan Undang-undang (UU). 

Di bawah kepemimpinan Soeharto, dengan gagasan dwifungsi, pemisahan tersebut tidak terjadi karena TNI tidak hanya dapat melakukan intervensi keamanan internal, melainkan juga dapat melakukan intervensi politik. Bertolak dari itu, Presiden BJ Habibie kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2/1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan dari ABRI sebagai langkah awal untuk memisahkan Polri dari TNI.

Namun, baru di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pemisahan tersebut benar-benar terealisasi. Mengacu pada Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dengan Polri dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, Gus Dur merealisasikan pemisahan TNI dengan Polri melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini juga menandai kedudukan Kepolisian RI yang berada langsung di bawah Presiden.

Jacqui Baker dalam tulisannya A Sibling Rivalry menyebut bahwa sejak pemisahan Polri dan TNI, Polri mendadak memiliki wewenang yang besar untuk menangani ancaman-ancaman internal, seperti terorisme, kekerasan komunal dan konflik separatis.

Ini kemudian menandai tonggak sejarah bagaimana vitalnya posisi Polri. Atas konteks tersebut, tidak mengherankan kemudian perdebatan mengenai siapa penerus Idham Azis sebagai Kapolri menjadi perdebatan hangat yang menyita atensi publik. Kendati baru pensiun pada Januari 2021 mendatang, berbagai nama telah tersebar di khalayak sebagai suksesor.

Lantas, dari sekian nama tersebut, mungkinkah Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri adalah yang terdepan sebagai calon Kapolri?

President’s Man

Keppres No. 89 tahun 2000 tidak hanya sekadar mengubah kedudukan Kepolisian, melainkan juga memberi perubahan besar dalam aspek politik. Pasalnya, dengan Polri langsung di bawah Presiden, jabatan Kapolri disebut diisi oleh mereka yang memiliki kedekatan tersendiri dengan pemimpin tertinggi negara.

Konteks tersebut tidaklah bermakna negatif. Melihat sejarahnya, strategi semacam itu memang lumrah dilakukan demi terciptanya kerja sama yang baik. Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Prince yang ditulis pada tahun 1513, telah menyebutkan bahwa kekuasaan dan pengaruh memang lebih mudah dipertahankan apabila pihak terdekat yang ditunjuk sebagai suksesor, pembantu, dan sebagainya.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Meskipun terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik ini nyatanya memang mesti dilakukan karena perumusan kebijakan yang efektif lebih mudah dilakukan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.

Listyo sendiri memiliki sejarah kedekatan panjang dengan Presiden Jokowi. Pada 2010-2012, Listyo menjabat sebagai Kapolrestabes Surakarta. Kala itu, Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo periode kedua. Kedekatan Listyo dan Jokowi khususnya terbangun dalam peristiwa yang mengguncang Solo pada September 2011, yakni bom bunuh diri di halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton, Solo. 

Getirnya, tiga hari kemudian Solo menjadi tuan rumah Asian Parliamentary Assembly atau Majelis Parlemen Asia. Saat itu, Jokowi juga sedang gencar mempromosikan Solo sebagai destinasi wisata. Hebatnya, Listyo berhasil memulihkan kepercayaan wisatawan dan pendatang bahwa Solo aman dari ancaman.

Pada 2012, ketika Jokowi diusung oleh PDIP untuk maju di Pilgub DKI Jakarta dan memenangkannya, Listyo juga ikut pindah ke Ibu Kota Negara dengan menjabat sebagai Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri. Kedekatan tersebut kemudian semakin terlihat pada 2014-2016 ketika Listyo terpilih sebagai ajudan Presiden Jokowi. Menariknya, pihak yang menawari Listyo menjadi ajudan adalah Presiden Jokowi sendiri.

Pada 2018, karier Listyo semakin mentereng setelah terpilih sebagai Kabareskrim Polri menggantikan Idham Azis yang terpilih menjadi Kapolri. Sebagai Kabareskrim, Listyo baru-baru ini memperlihatkan prestasi gemilang karena berhasil menangkap Djoko Soegiarto Tjandra, tersangka kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang buron sejak 2009 lalu.

Merangkum kedekatannya dengan Presiden Jokowi dan prestasi yang ditunjukkannya, khususnya pada kasus bom Solo dan penangkapan Djoko Tjandra, Listyo tampaknya dapat disebut sebagai president’s man. Ia adalah sosok yang pas untuk menerima kepercayaan Presiden Jokowi jika nantinya ditunjuk sebagai Kapolri.

Faktor Geng Solo?

Aris Santoso dalam tulisannya Jokowi dan Jejaring Perwira Solo menyebutkan bahwa dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan Jokowi memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. 

Aris misalnya mencontohkan dipromosikannya Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), kemudian sebagai Panglima TNI, ditopang berkat hubungan baik keduanya yang terjalin sejak sama-sama berdinas di Solo. Pada periode 2010-2011 ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, Hadi adalah Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo.

Pakar isu keamanan dan militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga menuturkan memang terdapat kecenderungan Presiden Jokowi memilih koleganya yang dulu berdinas di Solo untuk mengisi jabatan di TNI dan Polri.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Namun menurut Fahmi, kecenderungan tersebut tidak menjadi masalah asalkan figur tersebut memenuhi kompetensi yang dibutuhkan. Lanjutnya, pengalaman interaksi dan kerja sama yang sudah  pernah terjalin tentu dapat menjadi referensi kuat dan meyakinkan bagi seorang pemimpin dalam pengelolaan formasi tim dan pembantunya.

Konteks tersebut juga diperkuat oleh psikologis dari mantan Wali Kota Solo tersebut. Sita W. Dewi dan Margareth Aritonang dalam tulisannya Understanding Jokowi’s Inner Circle menyebutkan bahwa Presiden Jokowi adalah sosok yang sulit percaya dengan orang lain.

Sifat tersebut disebut berasal dari pengalaman pahit manis sang presiden selama bertahun-tahun sebagai pengusaha dan politikus. Kemudian, itu juga didukung oleh terbatasnya jumlah pembantu dekat Jokowi selama menjadi Wali Kota dan Gubernur DKI Jakarta.

Jika ini benar, boleh jadi saat ini Presiden Jokowi semakin sulit untuk mempercayai orang lain. Pasalnya, dengan posisinya sebagai orang nomor satu, Ia jelas menjadi pusat perhatian berbagai pihak dengan segala kepentingannya. Oleh karenanya, memberikan posisi kepada orang yang sudah dikenalnya dengan baik, khususnya sewaktu di Solo tentu saja akan menjadi pilihan yang rasional.

Alida Miranda-Wolff dalam tulisannya Why You Can’t Build Trust memberikan penjelasan menarik seputar trust atau kepercayaan. Menurutnya, kepercayaan bukanlah suatu hal yang dapat kita dibangun, melainkan suatu hal yang hadir kepada kita. Artinya, kita tidak dapat membuat diri kita percaya pada orang lain, melainkan orang lain yang harus membuat dirinya layak untuk kita percayai.

Pada konteks Presiden Jokowi, dengan kesadaran banyaknya pihak yang mencari keuntungan karena posisinya sebagai orang nomor satu, itu jelas membuatnya akan sulit percaya kepada orang yang sebelumnya tidak benar-benar dikenalnya. Alhasil, kepercayaan yang dimiliki akan condong mengerucut kepada pihak-pihak yang telah berbagi pengalaman kerja sama dengannya.

Dengan kata lain, faktor hubungan dekat Listyo dengan Presiden Jokowi boleh jadi menjadi faktor penentu sang Kabareskrim ditunjuk sebagai Kapolri untuk menggantikan Idham Azis. Lalu, Listyo yang baru pensiun pada 2027 akan membuatnya memiliki masa jabatannya yang panjang. Ini tentunya bagus dalam rangka mengonsolidasikan Polri.

Apalagi, dengan kebijakan Presiden Jokowi yang saat ini terlihat tidak populis, seperti revisi UU KPK dan UU Ciptaker, sang presiden tentu membutuhkan Kapolri yang sigap dalam menangani situasi.

Pada akhirnya, tentu berbagai penjelasan yang ada hanyalah prediksi. Kita nantikan saja apakah Listyo benar-benar akan menjadi suksesor Idham Azis atau tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...