Lin Che Wei menjadi nama menarik yang muncul dalam pusaran korupsi ekspor CPO dan produk turunannya termasuk minyak goreng. Dia dianggap memegang peran penting dalam pusaran rasuah. Mengapa demikian?
Kelangkaan serta melambungnya harga minyak goreng beberapa waktu lalu mulai terkuak musababnya. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana menjadi sosok awal terbongkarnya kongkalikong izin ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Penetapannya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 19 April lalu sempat meninggalkan cerita plot twist. Satu bulan sebelum penetapan itu, Wisnu tertangkap kamera membisiki Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi perihal penetapan tersangka mafia minyak goreng saat melakukan rapat dengar pendapat di Komisi VI pada 18 Maret 2022.
Kasus terus bergulir hingga kini dan telah menyeret empat nama tambahan tersangka yang diduga “bermain-main” dengan komoditas yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Tercatat empat nama itu di antaranya Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, serta Lin Che Wei selaku pihak swasta.
Belakangan, meskipun terdengar asing, nama terakhir menjadi sorotan tersendiri saat Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan perannya dalam kasus mafia minyak goreng. Burhanuddin sampai dibuat heran mengapa pihak swasta seperti Lin Che Wei dapat turut mengambil kebijakan bersama Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag. Terutama memutuskan kebijakan dalam menentukan Domestic Market Obligation (DMO).
Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati bersama Wisnu diduga memberikan ruang khusus sedemikian rupa bagi perusahaan yang akan mendapatkan izin ekspor CPO dan turunannya.
Keheranan Kejagung semakin menjadi lantaran status maupun posisi Lin Che Wei di Kemendag tidak diketahui dengan jelas selain berlindung di balik identitas “konsultan”.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Penyidikan pada (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus) Jampidsus Kejagung Supardi kemudian menjelaskan dugaan peran yang dimainkan Lin Che Wei.
Supardi menyebut bahwa selain ikut menentukan kebijakan minyak goreng, pemikiran Lin Che Wei digunakan di Kemendag untuk memberikan rekomendasi terhadap beberapa perusahaan.
Lebih lanjut, Lin Che Wei disebut tidak hanya terlibat kontak dengan Wisnu, tetapi juga menjalin komunikasi dengan beberapa orang lainnya di Kemendag.
Lantas, mengapa Lin Che Wei seolah tampak memiliki kekuatan spesial?
Pemain Ulung di Birokrasi?
Selain bermanuver di Kemendag, Kejagung menemukan bukti bahwa Lin Che Wei juga merupakan konsultan di tiga perusahaan eksportir CPO yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian fasilitas ekspor.
Keheranan Jaksa Agung plus kelihaiannya dalam lakon ekspor CPO secara tidak langsung menguak tendensi bahwa dia bukan orang sembarangan.
Predikat strongman agaknya tidak berlebihan disematkan kepada Lin Che Wei. Dalam kacamata universal, strongman adalah mereka yang dapat mengonsolidasikan pengaruh dengan kapitalisasi kekuatan dan keahlian tertentu yang tidak dimiliki semua orang.
Secara politik, mengambil intisari dari tulisan Bridget Welsh yang berjudul In the shadow of strongmen, “mode kontrol” strongman juga ditandai dengan divide and rule strategy atau strategi memecah dan memerintah.
Jika dimaknai, strategi itu tidak hanya untuk melakukan kontrol melainkan bertujuan pula untuk membentuk reputasi personal serta sebagai senjata saat berhadapan dengan pihak yang dianggap sebagai lawannya.
Terkuaknya peran Lin Che Wei kiranya mempertegas hipotesis bahwa eksistensi strongman tidak hanya relevan dalam dunia sosio-politik, tetapi juga dalam dunia birokrasi pemerintahan.
Rekam jejak Lin Che Wei dalam birokrasi sendiri boleh dikatakan cukup mentereng meskipun tidak banyak diketahui secara luas. Latar belakang pendidikannya adalah gelar strata dua administrasi bisnis (MBA) dari National University of Singapore pada tahun 1994.
Selain dikenal sebagai ekonom, dia juga sempat analis keuangan di sejumlah perusahaan multinasional besar seperti WI Carr, Deutsche Bank Group dan Societe Generale.
Setelah dipercaya menjadi panelis pada debat kandidat jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004, ia kemudian dipercaya menjabat Presiden Direktur Danareksa sejak tahun 2005 hingga pertengahan 2007.
Tidak lama setelahnya, Lin Che Wei mendirikan perusahaan riset yang berfokus pada analisis kebijakan dan analisis industri bernama Independent Research & Advisory Indonesia. Kapasitas dalam perusahaan itulah yang menjadi latar belakangnya diperiksa oleh Kejagung sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Lin Che Wei sendiri memulai “infiltrasi” ke ranah birokrasi pemerintahan sebagai Staf Khusus (Stafsus) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto dan Stafsus Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Aburizal Bakrie pada tahun 2006.
Posisi tersebut kemungkinan besar ditunaikannya dengan lihai serta berhasil menanamkan pengaruh tertentu hingga membawanya menjadi penasihat kebijakan Menko Perekonomian pada tahun 2014 sampai 2019. Selanjutnya, pada tahun 2016 hingga 2019, dia juga mengemban peran yang sama bagi Menteri PPN/Bappenas dan Menteri ATR/BPN.
Teranyar, dia juga menjabat sebagai penasihat kebijakan di era Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meskipun telah diklarifikasi secara langsung oleh Ketua Umum Golkar itu bahwa Lin Che Wei sudah diberhentikan.
Sebagai penasihat kebijakan Kemenko Perekonomian, Lin Che Wei sendiri ikut terlibat dalam formulasi sejumlah kebijakan, yakni pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dan pembentukan Industri Biodiesel berbasis Kelapa Sawit.
Secara tidak langsung, bukan tidak mungkin sederet pengalaman dan kepercayaan yang diembannya itu membuatnya menjadi seorang strongman dalam birokrasi pemerintahan.
Apalagi, reputasinya di awal terbentuk setelah gigih mengungkap kasus Bank Lippo pada tahun 2003. Sebuah kegigihan yang jika dirunut kepada rekam jejaknya hingga kini memunculkan interpretasi bahwa dia saat itu mengimplementasikan divide and rule strategy seorang strongman, yakni dengan “menjatuhkan” pihak lain.
Tanpa melakukan generalisasi, keberadaan strongman dalam konotasi negatif di birokrasi pemerintahan kiranya bukan hal yang tabu ketika kondisi birokrasi itu sendiri jamak disebut tak sesuai hakikatnya.
Hal itu sebagaimana dijelaskan Stein Kristiansen dan Muhid Ramli dalam Buying an income: the market for civil service positions in Indonesia yang mengatakan bahwa birokrasi di tanah air secara luas telah dipandang menghasilkan dan dihasilkan oleh kebijakan yang korup, tidak efisien, serta tidak mampu atau tidak mau diatur oleh pemerintah yang demokratis.
Signifikansi peran Lin Che Wei seperti yang telah dijabarkan di atas kiranya memang membuatnya menjadi sosok ideal tindak pemufakatan jahat yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan reputasi tersebut. Apakah itu?
Representasi Korupsi Autogenik?
Syarat utama efektivitas birokrasi pemerintahan adalah terbebas dari praktik korupsi. Namun, banyaknya aktor dalam interaksi birokrasi pemerintah, baik antar-instansi maupun dengan pihak swasta membuat kondisi ideal tersebut nyaris mustahil untuk terwujud.
Dalam banyak kasus, skandal rasuah terjadi dalam birokrasi karena ada pihak-pihak yang menginginkan privilese dan mendapatkan keuntungan lebih dari subjek lainnya.
Hal tersebut terjadi ketika subjek-subjek tersebut saling bersaing untuk terlibat dalam birokrasi itu sendiri, tentunya dengan harapan mendapat giliran baru atau tetap terlibat dalam perputaran benefit yang ada. Inilah yang kemudian menyebabkan terdapat beberapa tipe korupsi seperti yang dijelaskan Syed Hussein Alatas dalam publikasinya The Sociology of Corruption.
Jika merefleksikannya pada skandal minyak goreng, Lin Che Wei dapat dikatakan menjadi pivot penting. Sebuah tipologi sekaligus perspektif yang disebut Syed Hussein sebagai korupsi autogenik, yakni tipe rasuah yang dilakukan seorang individu dengan bermodalkan pengetahuan atau pemahamannya atas sesuatu yang secara spesifik ia ketahui dan kuasai.
Lin Che Wei sendiri memiliki kekuatan untuk menjembatani pengusaha dan penguasa dengan bekal pengalamannya malang melintang sebagai penasihat pihak swasta serta penyelenggara negara. Kekuatan yang didapat dengan modal spesifik dan tidak dimiliki banyak orang.
Lantas, apa maknanya?
Jika dianalisis, korupsi autogenik Lin Che Wei membuktikan bahwa kongkalikong dalam alur birokrasi dalam pemerintahan, khususnya untuk menelurkan sebuah kebijakan, sesungguhnya cukup rumit dan membutuhkan orang dengan kemampuan khusus untuk menyederhanakannya.
Persis sebagaimana yang diidentifikasi oleh Hendi Yogi Prabowo dan Kathie Cooper dalam jurnal yang berjudul Re-understanding corruption in the Indonesian public sector through three behavioral lenses.
Hendi dan Cooper menyatakan bahwa korupsi dalam birokrasi di Indonesia adalah hasil dari proses pengambilan keputusan kumulatif oleh para aktor dengan tingkat signifikansi berbeda.
Oleh karena itu, penetapan Lin Che Wei sebagai tersangka oleh Kejagung diharapkan tidak hanya sebatas ekspose kasus korupsi biasa saja.
Lebih dari itu, pemahaman publik diharapkan juga lebih luas bahwa dalam kasus korupsi tertentu ada aktor prominen dengan pengaruh luar biasa yang bekerja dalam bayang-bayang. (J61)