Blunder politik akibat kritik terhadap pertemuan IMF-World Bank di Bali mungkin saja akan menyebabkan likuifaksi hubungan Demokrat-Gerindra, bahkan secara spesifik antara SBY dan Prabowo.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ertemuan tahunan International Monetary Fund dan World Bank (IMF-World Bank) yang akan dilaksanakan di Bali dalam minggu ini menuai pro kontra dari berbagai pihak. Yang paling kencang menyuarakannya tentu saja kubu calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto.
Melalui Koordinator Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, pertemuan tahunan IMF-World Bank ini dianggap sebagai hal yang memprihatinkan dan memalukan di tengah duka cita akibat bencana di berbagai daerah.
Pernyataan serupa diungkapkan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang juga menjadi tim ekonomi Prabowo-Sandi. Rizal mengkritik anggaran yang dikeluarkan pemerintah terlampau besar untuk menggelar pertemuan tersebut.
Namun, pernyataan tim kampanye Prabowo-Sandi tersebut cukup berpotensi untuk menyulut konflik di tubuh Koalisi Adil Makmur. Mengapa demikian?
Salah Kaprah soal Pertemuan IMF-World Bank
Upaya menggiring opini masyarakat untuk melihat keburukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani isu ekonomi terus dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi. Termasuk menyoal penolakan diselenggarakanya pertemuan rutin 3 tahunan IMF-World Bank tersebut.
Mengkritik pertemuan IMF – Worldbank dengan membabi buta adalah ciri kedunguan. Kritik ini hanya melampiaskan kebencian. Padahal pertemuan ini tdk saja memberikan manfaat yg jauh lebih besar dari Rp1T, tetapi juga reputasi Indonesia di mata investors dan creditors.
— James Simanjuntak (@jamesuaj) May 7, 2018
Namun, terdapat dua hal yang dilupakan kubu Prabowo-Sandi terkait dampak pertemuan IMF-World Bank. Pertama, akan ada peningkatan devisa negara melalui sektor pariwisata, dan yang kedua, akan ada konsekuensi penyelenggaraan pertemuan tersebut dalam panggung politik internasional.
Dalam konteks pariwisata, penelitian The Indonesia Institute menunjukkan bahwa di tengah guncangan ekonomi global serta menguatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah, industri pariwisata menjadi salah satu alternatif untuk menstabilkan nilai tukar mata uang garuda tersebut.
Urgensi mendorong sektor pariwisata di tengah melemahnya nilai rupiah bisa terjadi karena Indonesia memiliki nilai pasar yang tinggi terkait potensi daya tarik alam, budaya serta kearifan lokal.
Hal ini sesuai dengan rencana strategis Kementerian Pariwisata tahun 2015-2019, di mana pemerintah memprioritaskan sekitar 10 destinasi wisata guna mendorong perekonomian. Jumlah tersebut belum termasuk objek wisata alam maupun budaya yang jumlahnya sangat banyak.
Di samping itu, tren permintaan wisatawan asing terhadap produk wisata nasional terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu dan berkontribusi positif terhadap cadangan devisa negara. Sektor ini diperkirakan akan jadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia di 2018, yakni mencapai US$ 20 miliar (Rp 305 triliun) atau naik sekitar 20 persen dari tahun 2017 yang hanya mencapai US$ 16,8 miliar.
Di tengah momentum nilai rupiah yang cenderung melemah, pertemuan IMF-World Bank tentu akan sangat mendongkrak pendapatan di sektor pariwisata. Melalui penyediaan 63 paket wisata, pemerintah berupaya menjaring turis saat pertemuan tersebut.
Hal tersebut didukung oleh hasil studi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang menyebut pertemuan tersebut akan berkontribusi 0,64 persen terhadap pertumbuhan ekonomi di Bali dan membuatnya menjadi 6,54 persen, dengan estimasi jumlah peserta pertemuan itu mencapai 19 ribu orang. Di saat yang sama, juga akan tercipta lapangan kerja sebanyak 32.700 dan menghasilkan Rp1,5 triliun devisa negara.
Di samping itu, dalam konteks politik Internasional, pertemuan tingkat tinggi yang melibatkan banyak pemimpin dunia ini memiliki dampak penting secara politik.
Peter R. Weilemann dari lembaga think tank Jerman Konrad Adenauer Foundation menyebutkan bahwa summit atau konferensi tingkat tinggi yang dihadiri pemimpin-pemimpin tingkat dunia merupakan sebuah proses politik yang berfungsi sebagai instrumen untuk memberikan orientasi baru atau untuk meyakinkan para peserta tentang kesamaan tentang tujuan atau nilai politik. Pertemuan tingkat tinggi juga bertujuan meningkatkan koordinasi di antara bangsa-bangsa.
Melihat adanya ketidakpastian ekonomi global, upaya Indonesia bisa dilihat sebagai salah satu langkah progresif karena dianggap berjasa menyediakan wadah pertukaran gagasan dan ide terkait kebijakan ekonomi dengan para pemimpin dunia.
Pertemuan ini bisa berikan manfaat & peluang bg Indonesia (anggota G-20), langsung-tak langsung, jangka pendek & jangka panjang *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) October 8, 2018
Terlebih, pertemuan ini bisa menjadi momentum untuk semakin menguatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara barat. Pasalnya selama ini Indonesia di bawah Jokowi dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok.
Artinya, pertemuan ini tentu saja punya banyak manfaat bagi Indonesia dan tidak bisa begitu saja dibatalkan seperti yang diributkan oleh kubu Prabowo-Sandi. Di samping memiliki manfaat yang besar, membatalkan pertemuan sebesar ini tentu saja akan membuat nama Indonesia tercoreng, apalagi event ini sudah direncanakan sejak lama.
Gerindra-Demokrat Kurang Mesra?
Selain itu, pertemuan IMF-World Bank ini tidak terlepas dari peran Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014. Inisiasi untuk menjadi tuan rumah pertemuan IMF-World Bank ini muncul di era pemerintahan SBY.
Ini juga merupakan pengejawentahan politik luar negeri SBY yang mengusung prinsip million friends zero enemy kala itu.
Melalui prinsip tersebutlah, akhirnya mata dunia tertuju pada Indonesia sebagai salah satu negara yang patut diperhitungkan di kancah internasional. Dengan citra yang baik di mata internasional, Indonesia akan mendapat keuntungan dalam hubungan multilateral. Apalagi Indonesia saat ini sedang membutuhkan bantuan terkait bencana alam di Sulawesi Tengah.
Negara kita miliki sistem & tatanan yg baik jika ada "perselisihan". Namun, berikan kesempatan kpd negara menjadi tuan rumah yg baik *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) October 8, 2018
Politisasi isu pertemuan IMF-World Bank yang gencar dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi justru berpotensi menjadi bumerang bagi mereka sendiri, meskipun kesemuanya hanyalah strategi politik yang sebenarnya tidak menyentuh akar persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat hari ini. Apalagi, saat ini SBY dan Partai Demokrat adalah bagian dari koalisi Prabowo-Sandi.
Namun, langkah tersebut dapat dikatakan ampuh untuk mempengaruhi psikologis masyarakat di tengah bencana yang sedang dihadapi Indonesia.
Dengan memunculkan empati yang bertubi-tubi melalui narasi anti asing di media massa, maka bukan tidak mungkin isu ini akan mempengaruhi elektabilitas Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.
Lalu, mungkinkah langkah yang diambil tim Prabowo dengan menggunakan pertemuan IMF-World Bank untuk menyerang kebijakan yang telah diambil pemerintahan SBY akan berdampak pada hubungan koalisi Gerindra-Demokrat? Mungkinkah terjadi likuifaksi politik yang berujung pada berkurangnya dukungan Demokrat terhadap kubu Prabowo-Sandi?
Istilah likuifaksi menjadi populer pasca bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Istilah ini merujuk pada fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga kehilangan kepadatan dan kemudian amblas.
Dalam konteks politik Indonesia saat ini, bisa jadi blunder politik akibat kritik terhadap pertemuan IMF-World Bank mungkin saja akan menyebabkan likuifaksi hubungan Demokrat-Gerindra, bahkan secara personal antara SBY dan Prabowo. Serangan yang dilontarkan Dahnil dan Rizal Ramli misalnya, justru akan menyasar SBY yang saat itu memperjuangkan Indonesia menjadi tuan rumah event ini.
Di samping itu, hal ini berpotensi menyulut ketidaksolidan yang terlihat dari perbedaan pandangan anggota koalisi dan berpotensi memunculkan konflik internal.
Fenomena ini sesuai dengan istilah Michael Laver yang digunakan dalam tulisannya Models of Government Formation yang menjelaskan mengapa partai-partai politik melakukan koalisi, yaitu karena adanya motif office seeking dan policy seeking .
Kemudian, William Riker dalam bukunya The Theory of Political Coalitions menjelaskan bahwa office seeking adalah upaya koalisi partai politik yang didorong oleh hasrat untuk mendapat kekuasaan baik di ranah eksekutif maupun legislatif yang bersifat cair dan tidak permanen – seringkali juga cenderung rapuh.
Sementara Robert Axelrod dalam tulisannya Conflict of Interest menjelaskan bahwa motif policy seeking adalah kesamaan tujuan koalisi untuk memperoleh kekuasaan, akan tetapi dalam derajat tertentu juga mempertimbangkan tercapainya tujuan yang lebih esensial, yaitu tercapainya cita-cita yang lebih ideal dalam bentuk kebijakan (policy).
Hubungan Demokrat-Gerindra atau SBY-Prabowo, yang selama ini hanya ditopang oleh kesamaan kepentingan elektoral, menyebabkan koalisi ini terkesan rapuh dan cenderung office seeking. Bisa saja Demokrat akan mengambil sikap terhadap kritik ini karena dianggap sebagai serangan politik yang akan merugikan SBY – tokoh politik yang sangat menjunjung citranya.
Apalagi, serangan Dahnil dan Rizal Ramli terhadap kebijakan yang diambil SBY terkait pertemuan IMF-World Bank mencerminkan bahwa koalisi ini tidak memiliki visi misi yang sepaham terkait kebijakan-kebijakan politik tertentu.
Dalam konteks tersebut, menurut profesor emeritus Ilmu Politik dan Sosiologi dari Cornell University, Sidney Tarrow, setidaknya ada empat hal yang mendasari sebuah koalisi terbentuk.
Pertama, seluruh anggota koalisi harus memiliki kerangka isu yang membuat mereka memiliki satu kepentingan. Kritik politik kubu Prabowo ini adalah cerminan ketidaksepahaman kepentingan dalam Koalisi Adil dan Makmur.
Kedua, setiap anggota koalisi harus memiliki kredibilitas dalam komitmen untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Sayangnya, tidak adanya kajian yang mendalam terkait isu yang akan dibawa ke ruang publik menunjukkan kredibilitas yang buruk dari para jubir Prabowo-Sandi dalam kritiknya terhadap pertemuan IMF-World Bank.
Ketiga, koalisi harus memiliki mekanisme untuk meredam perbedaan orientasi, taktik, budaya organisasi dan ideologi. Faktanya, kasus ini justru menunjukkan tidak bekerjanya mekanisme meredam perbedaan orientasi dan taktik dalam sebuah koalisi.
Dan keempat, memiliki komitmen berbagi di antara anggota koalisi. Poin keempat ini pun masih perlu diperdebatkan kebenaranya, apalagi di tengah simpang siur kabar belum bergeraknya tim kampanye Prabowo-Sandi terkait persoalan dana yang belum dicairkan.
Artinya, tidak terpenuhinya empat prinsip yang disebutkan Tarrow menunjukkan bahwa Koalisi Adil Makmur masih perlu berbenah lagi. Ketidaksolidan koalisi ini tentu saja akan berbahaya untuk elektabilitas Prabowo di Pilpres 2019.
Melihat kemungkinan ketegangan yang terjadi antara Demokrat dan Gerindra, mungkinkah blunder politik ini akan menguntungkan kubu Jokowi-Ma’ruf Amin? Menarik untuk di tunggu. (M39)