Sejumlah pihak menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan cuti bersama akhir tahun ini. Mereka khawatir libur yang terlalu panjang berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Lantas, setelah kurang lebih delapan bulan dilanda pandemi, mengapa pembatasan sosial masih kerap menjadi persoalan?
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, libur panjang akhir tahun menyambut Hari Raya Natal dan Tahun Baru Masehi akan jatuh pada tanggal 24-31 Desember 2020. Ini belum ditambah libur panjang akhir pekan yang jatuh pada 1-3 Januari 2021. Jika tetap diberlakukan sesuai rencana, maka masyarakat akan menikmati hari libur sebanyak 11 hari penuh.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian meminta pemerintah mengkaji ulang penetapan libur panjang tersebut. Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Daeng Faqih khawatir bahwa libur yang terlalu panjang itu akan memicu mobilitas tinggi, yang di saat bersamaan membuat masyarakat abai pada protokol kesehatan seperti memakai masker-menjaga jarak-mencuci tangan (3M).
Kekhawatiran ini memang beralasan jika kita berkaca pada peningkatan tajam kasus positif Covid-19 pasca libur panjang, misalnya yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Peningkatan kasus kala itu bahkan sampai memaksa Pemprov DKI Jakarta untuk menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat di awal September 2020.
Pun begitu pasca libur cuti bersama akhir Oktober lalu. Meski sekilas tak separah seperti yang terjadi pada September lalu, namun penambahan kasus pada 13 November yang sempat mencapai 5.444 kasus menandakan bahwa grafik Covid-19 di Indonesia memang masih jauh dari kata melandai. Indikasi tersebut juga dapat dilihat dari jumlah pasien yang dirawat di Wisma Atlet, Kemayoran Jakarta yang disebut terus bertambah.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengaku pihaknya masih terus memantau tren penambahan kasus positif dalam beberapa waktu ke depan. Jika terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, Ia menyebut Satgas bisa saja merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperpendek atau bahkan meniadakan cuti bersama sama sekali.
Tren penambahan kasus positif saban libur panjang ini kemudian menimbulkan pertanyaan terkait implementasi terhadap adaptasi kebiasaan baru (new normal) yang selama ini digaungkan pemerintah. Lantas, pertanyaannya mengapa selama kurang lebih delapan bulan dilanda pandemi, masyarakat sepertinya belum juga mampu beradaptasi dengan keadaan ini?
Faktor Budaya
Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Irwan Abdullah memandang bahwa implementasi new normal merupakan sebuah pernyataan kebudayaan. Artinya, adanya Covid-19 ini menghadirkan sebuah pertanyaan besar apakah kebudayaan kita cukup elastis dalam mendampingi masyarakat untuk masuk ke era new normal.
Dalam konteks budaya ini, Angelika Fortuna dalam tulisannya yang berjudul Budaya Guyub dan Budaya Mudik Selama Pandemi mengatakan bahwa budaya kolektif masyarakat Indonesia terhadap pandemi membawa dilema tersendiri dalam pencegahan persebaran Covid-19, khususnya terhadap berbagai implementasi kebijakan yang memperketat aturan berkumpul dan bermobilitas.
Kendati demikian, Angelika mengatakan bahwa perkembangan budaya bukanlah sesuatu yang sifatnya given atau natural, melainkan seiring berjalannya waktu, ada usaha untuk memproduksi budaya tersebut. Jika dibawa ke konteks budaya guyub, kongkow, gotong-royong, maka sebetulnya budaya ini merupakan hasil dari kebiasaan yang diproduksi di masa lampau hingga dimaknai oleh kebiasaan masyarakat sampai sekarang ini.
Konteks budaya guyub tersebut bisa juga dikaji melalui konsep solidaritas sosial yang pernah dikemukakan seorang pakar sosiologi asal Prancis, Emile Durkheim. Dalam pemikirannya itu, Ia menyebut bahwa sistem keguyuban masyarakat lahir dari berbagai kompleksitas, seperti populasi yang lebih banyak, pembagian sistem kerja yang lebih rumit, dan sebagainya.
Kesadaran ini kemudian disebut Durkheim sebagai solidaritas organik yang membentuk karakter indentitas suatu masyarakat yang intensitasnya bisa berbeda-beda karena terbentuk dari fungsionalitas yang sangat beragam dalam konteks kota/wilayah tersebut.
Singkatnya bisa dibilang budaya guyub, yang telah terkonstruksi sebagai karakter identitas masyarakat Indonesia, mungkin saja menjadi salah satu penyebab mengapa hingga saat ini publik sulit untuk sepenuhnya berkomitmen melaksanakan adaptasi kebiasaan baru atau new normal, terutama yang berkaitan dengan menjaga jarak (physical distancing). Inilah mengapa sebabnya libur panjang yang membuka peluang meningkatnya mobilitas masyarakat selalu diikuti oleh peningkatan kasus positif Covid-19.
Kuatnya pengaruh budaya dalam konteks penanganan pandemi nyatanya tak hanya dialami Indonesia, melainkan juga negara tetangga Thailand, namun dalam konteks yang positif.
Tak dapat dipungkiri, penanganan pandemi yang dilakukan negeri Gajah Putih itu memang patut diacungi jempol. Kendati menjadi negara pertama di luar Tiongkok yang melaporkan kasus Covid-19, namun Thailand mampu mengontrol laju penularan dengan baik.
Sejak pandemi melanda, Thailand tercatat hanya memiliki 4.000 kasus dengan 60 kematian. Padahal jumlah penduduknya mencapai 70 juta jiwa.Baca Juga :Ketika Luhut Tolak Anies
Kesuksesan Thailand ini pun menjadi perbincangan di dunia internasional. Banyak ilmuwan dan pakar kesehatan yang berusaha mencari tahu faktor apa yang membuat negara di hulu Sungai Mekong ini berhasil menekan laju penyebaran Covid-19.
Hannah Beech dalam tulisannya di The New York Times menyebut bahwa prinsip social distancing yang bisa dibilang ‘melekat’ dalam budaya masyarakat Thailand kemungkinan membantu negara ini dalam penanganan pandemi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Thailand untuk penanganan pandemi Covid-19, Dr. Taweesin Visanuyothin pun mengafirmasi hal tersebut. Menurutnya, kultur masyarakat Thailand yang terbiasa tak melakukan kontak fisik saat menyapa atau bergaul sedikit banyak berkontribusi menahan laju penyebaran Covid-19.
Berangkat dari kasus Indonesia dan Thailand ini, maka bisa dikatakan budaya memang merupakan salah satu faktor determinan dalam menentukan sukses tidaknya penanganan pandemi Covid-19. Lalu jika memang faktor budaya sangat berpengaruh pada penanganan pandemi, apakah ini artinya Indonesia tak akan mampu mengikuti kesuksesan Thailand lantaran memiliki perbedaan karakteristik budaya?
Belajar dari Thailand
Pandemi Covid-19 merupakan krisis multi-dimensi yang menyentuh banyak aspek. Sehingga budaya bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan penanganan pandemi di Thailand maupun gagalnya implementasi adaptasi menuju new normal di Indonesia.
Kavi Chongkittavorn dalam tulisannya di Bangkok Post memaparkan sejumlah ‘rahasia’ kesuksesan penanganan pandemi Covid-19 di Thailand, di antaranya penanggulangan pandemi yang merata di semua wilayah, menerapkan kewaspadaan menyeluruh, kualitas kepemimpinan yang tegas dan konsisten, memaksimalkan keterlibatan tenaga ahli dan profesional, hingga komunikasi publik pemerintah yang mumpuni.
Selain itu, Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus juga mengatakan bahwa komitmen Thailand untuk berinvestasi di bidang infrastruktur kesehatan seperti membangun jaringan lebih dari satu juta sukarelawan kesehatan hingga ke desa-desa juga berkontribusi terhadap keberhasilannya dalam mengatasi pandemi meski tanpa vaksin. Ia kemudian meminta semua negara mencontoh Thailand dalam konteks investasi di pelayanan kesehatan.
Berkaca dari hal tersebut, maka setidaknya ada sejumlah faktor yang masih harus dibenahi oleh pemerintah guna memperbaiki kualitas penanganan pandemi di samping faktor budaya.
Pertama, terkait kualitas penanganan pandemi yang belum merata di semua wilayah. Hal ini terbukti dari kapasitas tracing dan testing yang timpang antar daerah.
Kedua, ketegasan dan konsistensi pemerintah dalam penegakan aturan penanganan pandemi pun masih juga perlu banyak perbaikan. Ini terlihat dari kasus kerumunan massa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mencuat belakangan dikarenakan adanya ketidakonsistenan pemerintah dalam penegakan protokol kesehatan.
Ketiga, buruknya pola komunikasi publik, di mana pejabat-pejabat negara kerap memberikan pernyataan yang saling bertolak belakang, atau tidak sejalan dengan pendapat para pakar di bidang kesehatan berpotensi membingungkan masyarakat.
Keempat, persoalan anggaran di mana serapan sektor pelayanan kesehatan masih jauh dari kata memuaskan.
Berangkat dari sini, maka bisa dikatakan selain persoalan budaya, konteks penanganan pandemi di Indonesia memang masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang lebih fundamental untuk dibenahi. Tanpa adanya pembenahan sektor-sektor tersebut, maka sepertinya implementasi dari adaptasi kebiasaan baru masyarakat hanya akan menjadi angan-angan pemerintah yang sulit terwujud.
Perlu disadari bahwa kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat memang dibutuhkan untuk menghadapi pagebluk yang tengah melanda dunia saat ini. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.