Banyak pihak menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkontruksi hari libur nasional menjadi sebuah agenda populis. Tentu, tujuan Jokowi adalah untuk meraih simpati rakyat khususnya kalangan pekerja di Indonesia.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erbincangan soal libur di kalangan kaum pekerja memang sudah sangat lazim terjadi. Tak hanya di Indonesia, mungkin hal serupa juga terjadi di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, terlebih pada bulan Juni 2018, mungkin tercatat merupakan bulan yang memberi berkah bagi para pekerja. Kalau mau dihitung-hitung, libur nasional pada tahun ini mencapai 25 hari, itu sudah termasuk penambahan libur Pilkada serentak di beberapa kota besar di Indonesia.
Mercer, firma keuangan yang berbasis di New York merilis hasil penelitian terkait negara-negara yang memiliki hari libur nasional terbanyak. Dari hasil penelitian itu, Indonesia tercatat menjadi salah negara dengan jumlah libur terbanyak di antara beberapa negara lain.
Indonesia, berdasarkan hasil laporan itu, menempati peringkat kelima bersama dengan Malaysia, Spayol, Rusia dan Filipina yang memiliki hari libur nasional sebanyak 14 hari. Kendati demikian, pada tahun 2018 total hari libur nasional di Indonesia melonjak menjadi 25 hari dengan rincian 21 hari libur yang ditetapkan pemerintah di awal tahun, 3 hari cuti tambahan di Hari Raya Idul Fitri, serta 1 hari libur saat Pilkada Serentak. Tentu, jika ada penelitian teranyar, Indonesia pasti bakal bertengger di posisi paling atas.
Frankly, I'm happy coz tomorrow is a Indonesian national off day for National Elections. We should be able to laze at home tomorrow, watching the TV all day to see the quick polls result. how about if today we work half day 🙂 enjoying the blind salary #LiburNasional
— asril (@asriel1606) June 26, 2018
Tapi, tak selamanya libur panjang itu positif. Libur yang panjang tentu punya konsekuensi buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sekiranya, itulah keluhan yang muncul dari kalangan pengusaha di Indonesia.
Pasalnya, dengan produktivitas yang minim, tentu profitabilitas yang didapatkan pengusaha makin kecil. Perusahaan juga terancam membayar denda akibat pemesanan barang mengalami keterlambatan. Selain kena denda, perusahaan juga harus memberikan intensif kepada pekerja yang bekerja pada hari libur nasional.
Tapi, di luar konteks di atas, libur juga dapat dipahami sebagai bagian dari kebijakan populis. Hal itu sengaja diciptakan untuk meraih simpati rakyat, khususnya dari kalangan pekerja.
Dalam konteks global, praktik populisme bukan barang baru. Di Indonesia pun demikian, praktik ini telah lahir sejak lama dan puncaknya terjadi pada Pilpres 2014 yang memunculkan dua tokoh politik: Jokowi dan Prabowo Subianto.
Jalan Politik Populisme
Presiden Jokowi, sejak pertama kali muncul di kancah politik nasional, terbilang aktif menjalankan agenda ini. Mulai dari kemeja kotak-kotak yang sempat dikenakan sebagai simbol politiknya, hingga motor coper yang menjadi andalannya – dibalut dengan jaket denim ala Dilan – yang merepsentasikan jiwa anak muda.
Tak sekedar itu, belum lama ini, Jokowi juga membuat gebrakan baru yang memicu perdebatan di tengah lesunya mata uang garuda, misalnya soal pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) jelang hari Raya Idul Fitri. Praktik ini sebenarnya lekat dengan istilah ‘politik gentong babi’ (pork barel) yang tentu punya tujuan serupa untuk meraih simpati para pekerja baik itu yang muda maupun orang tua.
Kebijakan bapak yang populis akan THR termasuk untuk pensiunan, dll menjadi terhapus akibat ditekennya Perpres ini. Mohon ditinjau ulang Pak @jokowi Jangan sampai ini bikin gaduh di tahun politik
— Nadirsyah Hosen (@na_dirs) May 28, 2018
Tapi, tidak hanya Jokowi, Prabawo juga melakukan hal serupa, misalnya pada masa pra Pilpres 2014, kita seringkali melihat wajah Prabowo yang terpampang di media televisi nasional dari hari ke hari, bulan ke bulan. Prabowo, bahkan sampai getol membuat film yang berjudul “Sang Patriot”. Film itu tentu berusaha untuk menciptakan imaji politik Prabowo sebagai seorang nasionalis pembela tanah air.
Hal itu secara akademis juga dibenarkan oleh Mietzner Marcus dalam buku “Reiventing Asian Populism: Jokow’s Rise, Democracy and Political Contestation in Indonesia” yang menyebutkan bahwa Prabowo sebenarnya mengikuti jejak populisme klasik, misalnya dengan menyerang perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia serta menggambarkan elit politik sebagai kroni dari parasit asing atau memposisikan diri sebagai anti-asing.
Sementara, Djani Lucky dan Olle Tornquist dalam buku “Dilemmas of Populist Transaction: What are the prospects now for popular politics in Indonesia” mengatakan praktik populisme Jokowi lebih pada bagaimana memproyeksikan dirinya sebagai kalangan non-elit yang mampu membangun hubungan langsung dengan masyarakat sipil. Hal itu bisa dilihat dari praktik politik blusukan yang melekat pada Jokowi.
Tentu, tujuan akhir dari praktik ini ingin merekonstruksi pemilih, khususnya swing-voter yang belum jelas ke mana arah politiknya.
Kendati demikian, perlu juga menjadi highlight bahwa populisme di banyak negara memang tampil dengan wajah berbeda. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, kebijakan Barack Obama dinilai oleh kelompok Tea Party sebagai bagian dari agenda populis yang hanya menghabiskan uang negara.
Tea Party adalah gerakan politik yang muncul pada tahun 2009 di AS melalui serangkaian protes, baik secara lokal maupun nasional.
Michael Kazin, penulis buku “The Populist Persuasion: An American History” dalam wawancara dengan Kyoto Review menyebutkan gerakan populis di AS berawal dari persepsi bahwa janji-janji politik kaum liberal, seperti mereduksi kemiskinan dan menjadikan Amerika sebagai negara yang lebih baik, nyatanya tidak pernah terwujud.
Kondisi di atas berbeda dengan populisme yang berkembang di Eropa seperti yang dilakukan Marine Le Pen, kandidat Presiden Perancis 2017 dari Partai Front Nasional yang mengkonstruksi politik populisme melalui sentimen anti-minoritas, anti-migran dan anti-Uni Eropa dengan tujuan untuk meraih simpati pemilih.
Nah, di Indonesia, belakangan ini isu mengenai libur nasional juga sempat mengemuka, terutama terkait keputusan pemerintah mengenai libur pada pemilihan kepala daerah di beberapa kota besar di Indonesia yang mendapatkan sedikit kritikan dari kelompok pebisnis.
Lantas, bisakah dikatakan kebijakan libur nasional merupakan bagian dari skema kebijakan populis Jokowi?
Strategi Populisme Jokowi
Fenomena populisme memang berbeda-beda di setiap negara, namun dalam konteks libur nasional di Indonesia rasanya pandangan Kurt Weyland dalam buku “Populism: A Political-Strategic Approach” dapat mempersempit konteks yang dibahas. Menurut Weylend, populisme merupakan strategi politik dimana seseorang pemimpin mencari atau menjalankan kekuasaan pemerintah berdasarkan dukungan langsung, tanpa perantara, tidak terlembaga dan tidak teroganisir.
Berdasarkan pandangan Weylend, kita bisa menilai bahwa kebijakan Jokowi tentang libur nasional secara tak langsung merupakan bagian dari kebijakan populis. Tentu, karena kebijakan tersebut secara langsung berhubungan dengan rakyat itu sendiri, terutama kaum pekerja.
Fakta berikutnya adalah, Jokowi pada dasarnya telah mengabaikan keluhan dari pebisnis yang menyalahkan kebijakan Jokowi karena produktivitas perusahaan menjadi terganggu. Selain itu, kebijakan populis lainnya bisa terlihat dari instruksi presiden tentang dana Program Keluarga Harapan (PHK) yang ditingkatkan menjadi dua kali lipat pada 2019, sementara jumlah penerima PKH juga meningkat menjadi 10 juta penerima.
IPW: Ada 16 Proyek Infrastruktur Jokowi yang Ambruk https://t.co/tJNxozyV4x
— Mas Piyu ?? (@maspiyuuu) April 19, 2018
Dari kebijakan-kebijakan populis itu, dalam paradigma konstruktivisme, Jokowi sebetulnya sedang melakukan kontruksi terhadap kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Jokowi mengonstruksi diri dalam kebijakan politik populisme yang diam-diam sangat menguntungkan pemerintahannya.
Hal itu dijelaskan oleh Peter L. Berger dan Luckmann dalam “The Social Construction of Reality”. Menurut Peter dan Berger, kontruktivisme dapat dilihat sebagai proses kerja kongnitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya.
Konstruktivisme juga bisa diartikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi antara individu dan sekelompok individu dengan menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dialami bersama secara subjektif.
Alhasil, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah Jokowi memang secara sengaja atau tidak telah menerapkan kebijakan populis untuk menciptakan sebuah konstruksi sosial: bahwa dirinya merupakan elit politik yang pro terhadap rakyat. Termasuk di dalamnya adalah hari libur nasional yang sengaja dilakukan menjelang Pilpres 2019.
Tapi, kesimpulan di atas juga sekaligus membuka ruang perbedatan dan tentu menarik untuk ditunggu, bagaimana agenda politik populis ala Jokowi dikemudian hari. (A13)