Site icon PinterPolitik.com

LGBT di Pusaran Politik

Foto: LA Times

Isu LGBT termasuk isu yang penting bagi keterpilihan politisi di seluruh dunia.


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]emua partai politik tiba-tiba ramai menolak LGBT. Klarifikasi secara sporadis ini dilakukan setelah Ketua MPR Zulkifli Hasan menyebut ada lima fraksi di DPR yang menyetujui keberadaan LGBT. DPR saat ini tengah membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dengan LGBT salah satu bahasan utama.

Pembahasan isu LGBT di DPR adalah sebuah pemandangan yang menarik. Untuk pertama kalinya, isu ini masuk ke dalam pembahasan politik praktis. Umumnya isu semacam ini dianggap tabu dan dijauhkan dari dunia politik.

Meski begitu, nampak bahwa isu ini seolah hanya dijadikan komoditas politik semata oleh para politisi di Senayan. Para politisi terlihat hanya ingin menarik simpati publik melalui isu kelompok termarjinalisasi tersebut. Mereka cenderung beramai-ramai ingin menarik simpati publik mayoritas dengan menunjukkan penolakan pada hak dan perilaku LGBT.

Langkah para politisi tampak seperti ingin mengamankan suara mereka di Pemilu nanti. Mereka seperti menjual isu larangan LGBT agar meraup simpati kelompok tertentu di 2019 nanti. Wajarkah hal tersebut dilakukan? Bagaimana praktik seperti ini di seluruh dunia?

Isu LGBT Sebagai Komoditas Politik

Polemik hak-hak kaum LGBT, merupakan salah satu topik yang kerap menjadi ‘jualan’ di berbagai kampanye politik. Pada berbagai pemilu di seluruh dunia, sikap atau pandangan politik suatu partai politik atau kandidat kerap menjadi salah satu penentu sikap para pemilih.

Di negara-negara yang relatif lebih maju, isu ini tergolong lumrah dibicarakan. Akan ada polarisasi jelas dan ekstrem antara partai-partai yang pro hak-hak LGBT dengan partai-partai yang bersikap berlawanan. Perbedaan ideologi yang jelas membuat sikap setiap partai atau kandidat terlihat berbeda secara terang-benderang.

Isu ini di banyak negara memang telah menjadi isu publik yang cukup krusial. Ada beberapa negara yang masyarakatnya memang menghendaki pemberian hak-hak bagi kaum LGBT. Salah satu contoh paling menarik adalah Irlandia. Negara yang bertetangga dengan Inggris ini, melakukan referendum untuk menentukan legalitas pernikahan sesama jenis.

Di Irlandia, penentuan legalisasi pernikahan sesama jenis tidak ditentukan melalui perdebatan di parlemen. Masyarakat menentukan secara langsung hak kaum LGBT ini melalui referendum. Negara ini pun mencatat sejarah sebagai negara pertama yang meloloskan peraturan yang melegalisasi pernikahan sesama jenis melalui popular vote.

Salah satu contoh isu LGBT dalam kampanye, adalah pada gelaran Pemilu di Amerika Serikat (AS). Ada dua partai politik besar di negeri Paman Sam ini yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Kedua partai politik tersebut memiliki sikap jelas dan berbeda mengenai isu LGBT.

Sebagai partai dengan akar konservatisme Amerika, Partai Republik cenderung tidak terlalu berpihak pada kaum LGBT. Ini nampak misalnya pada sikap mereka soal pernikahan sesama jenis. Bagi partai berlogo gajah ini, pernikahan hanya berlaku bagi satu laki-laki dan satu perempuan saja.

Pandangan berbeda ditunjukkan oleh Partai Demokrat. Partai dengan pandangan legislatif ini, cenderung lebih terbuka terhadap isu semacam ini. Mereka misalnya memberikan dukungan untuk melegalisasi pernikahan sesama jenis.

Perbedaan pandangan inilah yang menjadi salah satu isu kunci di Pemilu AS. Perbedaan sikap ini menjadi penentu bagi masyarakat di bilik suara. Adanya perbedaan sikap yang jelas, memudahkan mereka untuk menentukan partai mana yang berhak mereka beri suara.

Menjual Hak-hak Warga Negara

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, bagi partai politik atau politisi, menjual isu LGBT adalah hal yang penting. Isu ini memang telah menjadi kebutuhan publik di seluruh dunia. Bagi kalangan politisi, menunjukkan sikap yang jelas dapat berpengaruh pada keterpilihan mereka.

Dalam beberapa kasus, banyak kandidat dan partai politik memang hanya menjual isu ini untuk mengejar raihan suara di masa pemilihan. Pada kasus tersebut, mereka benar-benar membawa isu ini hanya untuk marketing saja. Ideologi kerapkali absen dalam sikap mereka dalam isu tersebut.

Pada negara-negara yang mengalami kebangkitan ideologi kanan jauh, isu pelarangan LGBT adalah hal yang jamak dibawa pada saat kampanye. Hal ini bahkan berlaku pada negara yang sudah mengakui hak-hak kaum termarjinalisasi tersebut.

Meski begitu, kerapkali ada paradoks pada sikap partai berhaluan ultra-nasionalis tersebut. Dukungan masyarakat yang tinggi pada perlindungan hak-hak LGBT membuat mereka harus bersikap berlawanan dengan ideologi mereka. Ini menjadi penanda bahwa isu LGBT menjadi bahan marketing semata.

Marine Le Pen (Foto: Business Insider)

Di negara yang dianggap berpikiran terbuka seperti Prancis, isu pelarangan pernikahan sesama jenis termasuk salah satu bahan kampanye. Salah satu kandidat presiden yang menggunakannya adalah Marine Le Pen. Politisi asal Barisan Nasional ini berkampanye akan menghentikan legalitas pernikahan di negeri asal Menara Eiffel tersebut.

Meski begitu, ia justru mengakui hak-hak kaum LGBT yang lain. Pada kampanyenya, ia berjanji akan melindungi hak-hak kaum tersebut dari ancaman kaum Muslim.

Ia menyadari bahwa menolak sepenuhnya hak-hak kaum LGBT akan berdampak pada keterpilihannya. Hal ini terutama karena ia ternyata mendapat dukungan signfikan di kalangan kaum tersebut. Berdasarkan survei, laki-laki gay Prancis justru memberikan dukungan signifikan bagi politisi kanan jauh tersebut.

Pandangan berlawanan terjadi di negara Timur seperti Indonesia. Jika di Eropa mendukung hak LGBT dapat berbuah suara, di negara seperti Indonesia justru bisa berbuah sebaliknya. Ini membuat strategi pemasaran parpol di Indonesia berbeda dengan parpol Eropa.

Ada indikasi bahwa isu LGBT juga menjadi bahan marketing politik di Indonesia, ini nampak dari klarifikasi terburu-buru para politisi saat pembahasan RKUHP. Mereka ramai-ramai menunjukkan sikap anti pada komunitas LGBT.

Sikap partai politik di Indonesia cenderung tidak menunjukkan perbedaan yang besar terhadap isu seperti ini. Tidak ada sikap yang didasari ideologi untuk memberikan pernyataan pada kasus seperti ini. Semua partai politik cenderung kompak untuk menolak memberikan pengakuan pada hak-hak kaum minoritas ini.

Sikap tersebut dapat dipahami karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Apalagi secara spesifik, sentimen politik identitas yang mengarah kepada Islam radikal saat ini tengah menanjak popularitasnya. Kelompok Islam radikal tentu sudah memiliki sikap jelas dan terang: menolak LGBT.

Menanjaknya politik identitas, sepertinya dimanfaatkan oleh partai politik. Untuk meraup simpati dari golongan ini, mereka harus menunjukkannya melalui sikap maupun pernyataan. Demi mendongkrak suara di 2019, mereka serta merta pun mendukung pelarangan LGBT.

Mau tidak mau, narasi ini harus digunakan oleh semua partai politik karena akan sangat berisiko jika bersikap sebaliknya. Hal menarik lain, misalnya pada kasus partai politik yang dianggap progresif: PDIP. Partai berlogo banteng ini secara mengejutkan menyatakan bahwa mereka menolak LGBT.

Jika partai yang dianggap progresif saja menolak LGBT, maka dapat disimpulkan bahwa isu ini dijadikan komoditas politik hanya demi kebutuhan elektoral semata. Para politisi ini enggan menunjukkan sikap berbeda karena khawatir diterjang oleh kelompok yang menggunakan politik identitas.

Jika pelarangan LGBT dalam RKUHP kemudian lolos tanpa perdebatan berbasis substansi, maka ada potensi bahaya di dalamnya. Kualitas kebijakan yang dibuat berpotensi tidak maksimal. Apalagi ada kemungkinan kriminalisasi jika para politisi ini asal melarang, demi menarik simpati kelompok Islam.

Membawa isu ini ke ranah politik dan dilakukan secara konstitusional adalah hal yang wajar terjadi di seluruh dunia. Meski demikian, akan sangat baik jika para politisi Senayan ini memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai isu ini lebih dahulu.

Mengapa? Karena parawakil rakyat ini duduk di DPR untuk mewakili seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai kebijakan yang diambil hanya memenuhi nafsu elektoral semata. Ada potensi kriminalisasi warga negara jika salah perhitungan dalam pengambilan kebijakan. Para politisi juga seharusnya berhati-hati dalam bersikap dan berpendapat, agar tidak salah mengirim orang ke jeruji besi. (H33)

Exit mobile version