HomeNalar PolitikLembaga Survei Seharusnya Tidak Dipercaya?

Lembaga Survei Seharusnya Tidak Dipercaya?

Pengamat politik Rocky Gerung menyentil banyaknya lembaga survei yang disebutnya “tipu-tipu”. Rocky menyebutkan bahwa banyak survei yang hadir jelang pemilu dibiayai secara politik untuk memenangkan kelompok tertentu. Alhasil, hasil survei tersebut pun juga tidak kredibel. Apakah lembaga survei memang tidak bisa dipercaya?


PinterPolitik.com

“I don’t believe in traditional, head-to-head polling.” – Brad Parscale

Lembaga survei kini “diserang” secara menggemparkan. Baru-baru ini, pengamat politik Rocky Gerung menyentil tentang lembaga survei palsu di media sosial. Rocky menyebut bahwa menjamurnya lembaga survei menjelang pemilu tidak bisa dipercaya kredibilitasnya karena dianggap hanya titip-menitip kuesioner kepada responden. Hal ini kemudian membuat hasil survei yang ada tidak mencerminkan fakta di lapangan.

Selain tidak kredibel, Rocky juga menyebut bahwa pendanaan lembaga survei oleh donor asing rawan diintervensi untuk kepentingan golongan tertentu. Rocky menyebut bahwa Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada mulanya didanai oleh World Bank. Menurutnya, pertanggungjawaban dananya justru disalahgunakan dengan menggunakan metode yang tidak ilmiah. Alhasil, Rocky menyimpulkan lembaga survei sekarang sudah saling tipu-menipu.

Menepis kabar tersebut, Saiful Mujani selaku pendiri Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) angkat bicara di media sosial. Mujani menyebut bahwa LSI didanai oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dan lambat laun pendanaannya dilakukan secara swadaya. Mujani juga menegaskan bahwa pendanaan asing tidak bisa mengintervensi kinerja survei karena dijalankan secara profesional dan akuntabel.

Selain Mujani, Burhanuddin Muhtadi selaku Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ikut membalas tudingan Rocky tersebut. Muhtadi menyebut bahwa lembaga survei tidak melakukan penipuan karena dipercaya oleh berbagai pihak. Selain itu, dengan kredibilitas yang sudah dimiliki, Muhtadi menjamin bahwa survei yang berkualitas akan dijadikan rujukan bagi elite politik dalam mempersiapkan pemilu mendatang.

gonjang ganjing integritas lembaga survei

Lembaga Survei “Cerminan” Publik?

Lembaga survei sudah bermunculan sejak era Reformasi. Jajak pendapat atau polling sering dilakukan untuk mengetahui pandangan publik akan satu fenomena, baik ekonomi, sosial, hingga politik. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, mayoritas survei dilakukan untuk mengukur elektabilitas kandidat maupun kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Alhasil, survei kerap ditujukan pada domain politik semata.  

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Pada mulanya, LSI menjadi satu-satunya lembaga survei yang melakukan jajak pendapat kepada masyarakat. Namun setelah itu, nama-nama beken lembaga survei, seperti SMRC maupun Indikator, mulai bermunculan. Penyebaran ini lantas membawa iklim segar terhadap demokrasi dikarenakan survei mempertimbangkan opini publik sebagai pengambilan data dan hasil survei dapat mempengaruhi pemerintah untuk mengambil keputusan.

Hal ini sesuai dengan teori opini publik, di mana David Broughton dalam bukunya Public Opinion and Politics in Britain menyebutkan bahwa opini publik hadir sebagai perwujudan dari kehendak publik ala Rousseau. Opini publik terbentuk melalui pengamatan subjektif terhadap suatu fenomena dan subjektivitas yang terkumpul dalam satu forum praktis membentuk persepsi bersama pada fenomena sosial yang ada, termasuk politik.

Seiring dengan perkembangan media sosial, pola-pola opini publik semakin tersebar dengan cepat melalui cuitan netizen dalam menanggapi dinamika politik. Atas dasar itulah, survei saat ini lebih mudah dilakukan melalui platform media untuk menjaring aspirasi sebanyak mungkin dari masyarakat. Mengenai pemilu, survei dapat memetakan preferensi masyarakat terhadap kontestan pemilu secara cepat berkat himpunan algoritma data yang tersebar di dunia maya.

Dengan pemetaan tersebut, maka politisi menjadikan survei sebagai rujukan untuk strategi pemenangan mereka. Hal inilah yang kemudian membuat lembaga survei seolah menjadi “peramal pemilu”, di mana Robert Northcott dalam artikelnya Opinion Polling and Election Predictions menyebut bahwa pemetaan politik dari survei dapat memprediksi peluang terpilihnya kandidat. Pemetaan ini membuat hasil pemilu “seolah” bisa ditebak sebelumnya.

Namun demikian, dengan sifatnya yang terkesan prediktif, survei juga rawan mengidapi bias partisan. Survei yang mengambil sampel secara representatif dinilai rawan dimanipulasi untuk mendukung pihak tertentu. Selain itu, dengan penerapan proporsional terbuka, ada kekhawatiran bahwa banyak survei “kerap” dibayar oleh kandidat untuk memenangkan mereka secara instan dan metode yang digunakan kurang ilmiah.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan. Apakah lembaga survei di Indonesia benar-benar netral?

infografis haruskah kita percaya lembaga survei

Quo Vadis Lembaga Survei?

Netralitas lembaga survei menjadi pertanyaan besar akhir-akhir ini. Hal ini diungkapkan Hamdi Muluk dari Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi), di mana Muluk menyebutkan ada 42 lembaga survei “abal-abal” yang muncul menjelang Pemilu 2024. Survei abal-abal dipesan dengan menaikkan margin elektabilitas kandidat lebih tinggi dari yang seharusnya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Michael Genovese dalam bukunya Polls and Politics: The Dilemma of Democracymenyebutkan bahwa survei memang dibutuhkan untuk menjaring opini publik dalam demokrasi. Akan tetapi, di tengah pasar elektoral yang semakin ketat, lembaga survei rawan melanggar prosedur untuk memenuhi permintaan kliennya. Alhasil, survei abal-abal akan memperkeruh persepsi masyarakat akan integritas lembaga survei.

Permasalahan selanjutnya mengarah pada polarisasi lembaga survei di tengah pemilu. Polarisasi ini bermula dengan perdebatan mengenai posisi lembaga survei sebagai lembaga riset atau konsultan politik. Lambat laun, perdebatan ini meruncing pada persaingan lembaga survei untuk menghitung keterpilihan kandidat secara akurat. Alhasil, dilema antara profesionalitas atau partisan mulai menguat sejak Pilpres 2014 dan 2019.

Dirk Tomsa dalam artikelnya Public Opinion Polling and Post-truth Politics in Indonesia menyebut bias partisan lembaga survei pada kedua kontestan Pilpres 2014 menjadi akar permasalahannya. Di satu sisi, Saiful Mujani menyatakan keengganannya untuk memilih Prabowo di media sosial. Di sisi lain, kubu Prabowo juga membayar Rob Allyn beserta lembaga survei lainnya untuk merilis kemenangan palsunya di media massa yang berpihak padanya.

Kedua hal ini membuat perseteruan antara kubu Jokowi dan Prabowo kembali meruncing. Permasalahannya ialah, perseteruan yang terjadi tidak hanya pada tataran survei, namun keberpihakan media mainstream pada masing-masing kubu membuat hasil survei kian bias. Media massa kerap dicurigai menyampaikan berita yang condong terhadap kandidat atau pihak tertentu.

Selain itu, dengan fenomena post-truth politics yang mendorong ketidakpercayaan publik pada informasi yang akurat, maka pekerjaan lembaga survei semakin berat untuk melakukan survei opini publik secara profesional.

Well, sebagai penutup, lembaga survei kini menghadapi dilema menjelang Pemilu 2024. Di satu sisi, ia harus mempertahankan kredibilitasnya untuk menjaring opini publik. Akan tetapi, kemunculan survei abal-abal maupun bias partisan kembali menyulitkan lembaga survei untuk melaksanakan tugasnya sebagai punggawa opini publik. (D90)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Reshuffle Jokowi Menguntungkan Prabowo?

Pergantian (reshuffle) kabinet telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beberapa nama seperti Budi Arie Setiadi, Nezar Patria, hingga Djan Faridz resmi menduduki posisi kabinet....

Golkar Sedang “Didesak” Mempercepat Langkah?

Beredar kabar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar akan diselenggarakan. Agenda itudigaungkan dan bertujuan menggantikan Airlangga Hartarto dari posisinya sebagai Ketua Umum (Ketum)...

Gamal Mustahil Kalahkan Kaesang?

Kaesang Pangarep disebut-sebut siap untuk menjadi Wali Kota Depok selanjutnya. Menghadapi langkah Kaesang yang tampak “cukup berani” ini, PKS menyiapkan tiga nama untuk menghadapi...