“Arguing that you don’t care about privacy because you have nothing to hide is no different than you don’t care about free speech because you have nothing to say” – Edward Snowden
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]enyerangan kantor LBH Jakarta tempo lalu menimbulkan kegegeran. Tidak hanya soal isu komunisme yang berhembus pada seminar di tempat tersebut, tetapi juga soal ruang privat yang diinvasi negara. Bagaimana tidak, LBH Jakarta selama ini dianggap ‘suci’ dari aparat. Akan tetapi, sehari jelang kericuhan tersebut, polisi masuk ke kantor LBH, sehingga orang-orang yang hendak masuk ke gedung LBH harus tertahan. Insiden ini merupakan pertama kalinya kantor LBH dimasuki aparat negara sejak beberapa tahun terakhir.
Kondisi ini dapat menjadi sebuah preseden buruk tidak hanya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, tetapi juga menjadi ancaman bagi hak atas ruang privat bagi warga negara. Ruang-ruang yang semula steril dari negara kini mulai diincar. Dalam tataran konsep, negara seharusnya dapat memisahkan hal yang berada di ruang publik dengan apa yang ada di ruang privat. Negara idealnya hanya mengurusi hal yang berada di ruang publik.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa benteng terakhir bagi kebebasan berekspresi telah diinvasi. Keamanan dan ketentraman memang penting diwujudkan oleh negara. Tetapi, negara idealnya tidak menginvasi ruang privat warga negara.
Warga Negara dan Ruang Privat
Secara eksplisit hak atas privasi memang tidak diatur undang-undang. Tetapi secara implisit hal tersebut disebut dalam UUD Pasal 28G ayat 1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Secara umum, hak-hak yang terangkum di dalam hak asasi manusia bersifat saling berkaitan dan bergantung. Dalam hal ini, hak atas privasi berkaitan erat dengan hak atas kebebasan berbicara. Memberikan perlindungan pada hak atas privasi berarti memberikan perlindungan pula pada hak atas kebebasan berbicara. Sebaliknya, jika hak atas privasi diganggu, maka hak atas kebebasan berbicara juga mengalami gangguan.
Dalam invasi terhadap ruang privat warga negara, negara kerap menggunakan dalih keamanan. Negara merasa dapat mengambilalih hak warga negara di kala negara merasa ada yang mengancam ketentraman negara. Negara – dalam hal ini pemerintah – dapat merasa perlu masuk ke tempat-tempat yang semula privat seperti rumah atau tempat ibadah saat keamanan dianggap terganggu. Segala bentuk interaksi yang berada di dalam tempat tersebut kemudian tidak lagi bersifat privat karena diinvasi negara selaku otoritas dalam ruang publik. Dalam kadar tertentu, invasi ruang privat oleh negara dapat pula berbentuk spionase.
Selain kasus masuknya aparat ke gedung milik LBH, dalih keamanan lain yang umumnya digunakan adalah misalnya dalam pengawasan interaksi elektronik warga. Meningkatnya ancaman keamanan akibat paham-paham non-demokrasi membuat negara merasa perlu memata-matai interaksi warga di dalam aplikasi obrolan ataupun pesan elektronik. Tindakan ini merupakan hal yang sesungguhnya tidak lazim dilakukan, apalagi di negara demokrasi. Aktivitas ini dapat dikategorikan sebagai upaya negara untuk memata-matai atau spionase terhadap warga negaranya.
LBH Sebagai Benteng Terakhir
Meski negara berdalih demi keamanan, invasi negara pada ruang privat justru membuat warga negara kehilangan rasa aman. Tempat yang semula aman dan steril dari urusan publik dan campur tangan negara, kini diawasi negara. Dalam kasus LBH tempo lalu, gedung LBH Jakarta adalah rumah terakhir bagi banyak kaum yang tidak diberi ruang, tetapi kasus ini membuat rumah tersebut terganggu.
Update situasi di depan Gedung YLBHI/LBH Jakarta. Para lansia masih belum diperbolehkan masuk oleh aparat kepolisian pic.twitter.com/w4OTuKLfMy
— LBH JAKARTA (@LBH_Jakarta) September 16, 2017
LBH kerap menjadi benteng terakhir saat diskusi sebuah isu yang dianggap sensitif mendapatkan ancaman gangguan. Pada saat Belok Kiri Festival 2016 silam, penyelenggara acara sempat diancam oleh sekelompok orang. Namun, acara tetap dapat berlangsung karena lokasi pelaksanaan berpindah dari Taman Ismail Marzuki (TIM) ke kantor LBH. Hal yang serupa terjadi ketika Lokakarya 65 mengalami gangguan yang mirip. Pemindahan lokasi dari Wisma Samadi Klender ke LBH membuat acara tetap dapat dihelat. Kini saat acara diselenggarakan di benteng terakhir, benteng tersebut justru diinvasi oleh aparat dengan beragam dalih terkait masalah kemanan.
Kejadian di LBH tempo lalu menimbulkan sebuah konstruksi pemikiran bahwa kini tidak ada lagi tempat yang aman dari intervensi negara. Kini warga negara tidak dapat berkumpul, berserikat, dan berdiskusi tentang suatu topik tertentu karena negara selalu mengawasi dan jika perlu akan mengambilalih. Tidak ada lagi ruang bagi warga negara untuk dapat berbicara dengan rasa aman dan jauh dari rasa takut.
Jika tempat yang sakral seperti gedung LBH saja kini dinodai, maka sulit bagi warga negara dapat menemukan tempat yang benar-benar privat. Rasa aman di “rumah sendiri” yang semula ada, kini berada dalam ancaman serius karena negara turut campur di dalamnya. Tidak ada lagi pembicaraan yang aman karena negara terus meneropong aktivitas warganya. Tidak ada lagi ruang untuk bebas berekspresi dengan aman karena semua ruang sudah masuk ke dalam genggaman negara.
Sebagaimana disebut sebelumnya, menghalangi hak warga negara untuk mendapat privasi juga berarti mengganggu hak kebebasan berbicara. Menghalangi orang untuk masuk ke LBH berarti mengganggu kebebasan warga negara untuk berbicara. Kondisi ini dapat menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Tagar #daruratdemokrasi yang didengungkan oleh para penggiat HAM dan demokrasi seolah mendapat pembenaran melalui tindakan negara pada peristiwa tersebut.
Di Indonesia, batasan antara ruang privat dan ruang publik cenderung tidak jelas. Hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul dan berdiskusi seringkali terganggu karena tidak ada batasan itu. Padahal hal ini mutlak diperlukan dalam sebuah negara demokrasi. Hal ini tentu menjadi kemunduran bagi demokrasi karena itu artinya tidak ada bedanya dengan zaman Orde Baru.
Pemerintah dan aparat seharusnya mengetahui batasan kapan harus melakukan perlindungan terhadap negara dan kapan melakukan perlindungan terhadap warganya. Di dalam invasi ruang privat di LBH negara mengalami kerancuan dalam menjaga keamanan dan memberikan perlindungan. Negara harus memperhatikan bahwa ada hak-hak privasi warga negara yang harus dilindungi terlebih dahulu sebelum menjaga keamanan secara umum. Meski hak atas privasi tidak termasuk non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi), pelaksanaannya harus tetap dijunjung tinggi dan tidak dapat serta-merta dikurangi sesuai kondisi di lapangan.
Invasi negara terhadap kantor LBH ini bisa menjadi awal dari langkah berbahaya negara. Negara dapat kembali sewaktu-waktu mengambil tempat yang semula suci dan privat dengan beragam dalih terutama keamanan. Jika terus dilakukan, rezim saat ini tidak berbeda dengan Orde Baru yang kerap menginvasi ruang-ruang diskusi. Diskusi ilmiah di universitas bisa saja tiba-tiba dihentikan oleh letusan senjata aparat. Siraman rohani di rumah-rumah ibadah bisa saja harus berhenti saat sepatu lars melewati batas suci rumah ibadah. Akan sangat baik jika mendahulukan aspek privasi dalam melakukan tindakan keamanan. Jika negara memilih menyerang ruang privat, maka alih-alih rasa aman yang dirasakan warga, rasa takut justru yang akan dirasakan mereka.