Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa tengah didekati berbagai pihak untuk menjadi pasangan di Pilpres 2024. Pertanyaannya, mengapa Khofifah banyak didekati? Mungkinkah pengaruh politik Khofifah dinilai berlebihan?
Ada kehangatan politik yang terjadi di Jawa Timur (Jatim). Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, berbagai elite partai politik mulai mendekati, atau setidaknya memproyeksi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa untuk diusung di Pilpres 2024.
Dalam pantauan, ada Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), hingga Anies Baswedan diketahui tengah melirik Khofifah. Jika berbicara partai, dapat dikatakan PAN merupakan yang paling agresif mendekati sang Gubernur Jatim.
Ini misalnya terlihat dari pernyataan terbuka Ketua DPW PAN Jatim Ahmad Rizki Sadig. “Terutama saat Rakernas PAN Agustus tahun lalu, kami minta Ketua Umum PAN untuk membawa Khofifah Indar Parawansa sebagai calon alternatif dari nama-nama yang selama ini beredar dalam wacana calon presiden. Alhamdulillah, nama beliau kemudian masuk dalam radar DPP PAN,” ungkapnya pada 3 Juni 2022.
Secara kasat mata, diperhitungkannya Khofifah terlihat dari namanya yang berseliweran di berbagai survei elektabilitas. Dalam survei Charta Politika pada Februari 2022, misalnya, meskipun masih kalah dari Ganjar Pranowo, Prabowo, dan Anies, elektabilitas Khofifah masuk lima besar pilihan warga Jatim dengan persentase sebesar 13,1 persen.
Di titik ini pertanyaannya sederhana, dengan elektabilitas yang dapat dikatakan belum begitu menonjol, mengapa Khofifah sudah menjadi rebutan berbagai pihak untuk diusung di Pilpres 2024?
Pentingnya Jawa Timur
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan menggunakan pemikiran salah satu filsuf terbesar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) mengenai das Ding an sich atau the thing-in-itself. Dalam literasi filsafat Barat, Kant adalah filsuf pertama yang membagi realitas menjadi fenomena (phenomenon) dan noumenon (bentuk jamak dari noumena).
Sederhananya, apa yang kita lihat secara kasat mata adalah phenomenon. Kant percaya, di balik phenomenon terdapat noumenon, yakni realias transendental yang melampaui phenomenon. Dalam pembacaan awam, noumenon kerap disebut sebagai realitas yang hakiki.
Filsuf besar Jerman lainnya, Martin Heidegger (1889-1976) kemudian melanjutkan tradisi itu dengan mengembangkan konsep ansichtslosigkeit (point-of-viewness) – dikenal dengan objectivity (objektivitas). Ini adalah pendekatan ontologis yang berusaha mendekati objek atau fakta semurni mungkin.
Mengadopsi konsep noumenon Kant dan objectivity Heidegger, kita akan membagi analisis fenomena politik menjadi dua, yakni (1) analisis faktor permukaan dan (2) analisis faktor esensial.
Pada kasus banyaknya peminat Khofifah, setidaknya ada dua alasan kuat yang dapat dipetakan. Pertama, sang Gubernur Jatim dipercaya dapat mendongkrak keterpilihan. Ini misalnya terlihat dari survei Political Weather Station (PWS) pada April 2022, yang menyebut pasangan Prabowo-Khofifah berpotensi menang di Pilpres 2024 dengan persentase sebesar 45,6 persen.
Kedua, Khofifah dipercaya sebagai representasi pemimpin Nahdlatul Ulama (NU). Selain itu, Ketua DPW PAN Jatim Ahmad Rizki Sadig juga menilai Khofifah sukses memimpin Muslimat NU, organisasi perempuan terbesar di Indonesia.
Nah, dua alasan itu adalah faktor permukaan. Jika dianalisis lebih dalam, faktor esensial sebenarnya adalah posisi Khofifah sebagai Gubernur Jatim. Mengacu pada sistem pemilu yang menerapkan one person, one vote, pemilu berubah menjadi perkara ukuran atau jumlah.
Melihat statistiknya, Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Indonesia dengan 40.665.696 jiwa – hanya kalah dari Jawa Barat dengan populasi sebesar 48.274.162 jiwa.
Seperti yang diketahui, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, mereka yang mengaku NU separuhnya dari Muslim di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 231,06 juta, maka warga NU kira-kira berjumlah 115,53 juta. Ini jelas merupakan angka fantastis, dan sekaligus menjelaskan mengapa massa NU selalu diperebutkan dalam setiap pemilu.
Kemudian, ini yang paling menarik, Jatim merupakan provinsi yang menjadi konsentrasi massa NU. Mengutip NU Online, jumlah warga NU Jatim mencapai 24.487.914 jiwa, sekitar 60 persen penduduk Jawa Timur.
Pentingnya massa NU Jatim dapat dilihat dari perolehan suara PKB pada Pemilu 2019. Di Jatim, partai lebah memperoleh 4.198.551 suara. Menariknya, jumlah ini merupakan sepertiga dari total suara PKB yang mencapai 13.570.097 suara. Coba bayangkan, sepertiga suara PKB disumbang hanya oleh satu provinsi.
Konteks pentingnya posisi Jatim juga disebutkan oleh peneliti PWS Mohammad Tidzi. Menurutnya, tingginya persentase survei kemenangan Prabowo-Khofifah, menunjukkan pasangan ini menguasai Jawa Barat dan Jawa Timur – dua provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia.
Survei Charta Politika pada Februari 2022 juga menunjukkan elektabilitas Khofifah merupakan yang paling tinggi di Jatim dengan persentase sebesar 41,7 persen. Peringkat kedua, yakni Tri Rismaharini jauh tertinggal dengan 14,9 persen.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan, banyaknya peminat terhadap Khofifah karena sosoknya dipercaya sebagai magnet suara di Jawa Timur, khususnya NU Jatim.
Namun, kembali mengadopsi konsep Kant dan Heidegger, khususnya objectivity, benarkah Khofifah merupakan magnet suara Jawa Timur, khususnya NU Jatim?
Dinilai Berlebihan?
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) sekaligus anggota tim Litbang PinterPolitik Khairul Fahmi, mengajukan pernyataan menarik terkait Khofifah. Menurutnya, persepsi sang Gubernur Jatim sebagai magnet suara, khususnya magnet massa NU Jatim harus diuji secara serius.
Pasalnya, apa pun alasannya, sebelum terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur pada 2018, Khofifah menelan kekalahan sebanyak dua kali pada Pilgub Jatim 2008 dan 2013. Khofifah harus mengakui keunggulan Soekarwo – akrab dipanggil Pakde Karwo.
Yang menarik adalah, meskipun menggandeng wakil dari NU, harus dicatat bahwa Pakde Karwo bukan kader NU. Fakta ini menjadi afirmasi atas simpulan artikel PinterPolitik yang berjudul Apakah NU Penentu Pilpres?.
Sedikit mengulang, NU merupakan organisasi bottom-up yang tidak bersifat hierarkis atau mengikuti komando terpusat seperti di militer atau partai politik. Mengutip tulisan Wasisto Raharjo Jati yang berjudul Ulama dan Pesantren dalam Dinamika Politik dan Kultur Nahdlatul Ulama, budaya bottom-up itu merupakan implikasi dari sejarah NU yang lahir dari rahim pesantren dan masyarakat pedesaan.
Dalam politik, seperti yang disebutkan Menko Polhukam Mahfud MD, warga NU tidak pernah diwajibkan memilih sosok atau partai tertentu. Massa NU bersifat cair, mereka bebas memilih siapa pun.
Dengan kata lain, untuk mendapatkan suara NU, caranya bukan dengan menarik satu sosok sentral, melainkan dengan melakukan pendekatan ke pesantren-pesantren NU dan mendekati kiai-kiai NU yang menjadi tokoh di daerah. Sebagai organisasi pesantren, warga NU lebih mendengar kiainya di daerah daripada komando pusat.
Artinya apa? Merupakan sebuah kekeliruan bernalar (fallacy) jika menyebutkan Khofifah merupakan magnet suara NU Jatim. Mungkin benar Khofifah adalah kader NU dan memimpin Muslimat NU, namun bukan berarti ia merupakan simpul utama NU Jawa Timur.
Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, menyebut fallacy itu dengan fundamental attribution error, yakni kesalahan penalaran yang terjadi ketika peran suatu faktor dinilai berlebihan.
Well, sebagai penutup, dapat dikatakan upaya masif berbagai pihak mendekati Khofifah sebagai pasangan di Pilpres 2024 bertolak dari asumsi bahwa sosoknya merupakan magnet suara warga Jawa Timur, khususnya NU Jatim. Namun, seperti yang telah diulas, asumsi itu tampaknya perlu diuji secara serius. (R53)