Wacana duet Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2024 semakin menguat. Namun, pasangan kandidat tersebut tampaknya memiliki celah politik besar untuk dieksploitasi, termasuk dinilai masih belum pantas jika melawan Prabowo Subianto. Benarkah demikian?
Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sebuah foto bersama di antara politisi dianggap memiliki makna tertentu belakangan ini. Satu di antaranya ialah yang bermuara pada wacana duet capres-cawapres Anies Baswedan dan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ya, foto di sebuah acara resepsi pernikahan anak dari Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto memperlihatkan Anies-AHY diapit oleh Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, serta Jusuf Kalla (JK).
Tangkapan gambar itu kemudian secara otomatis masuk ke meja analisis politik yang cukup menarik. Pasalnya, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS telah saling melakukan pertemuan dan santer dikabarkan akan berkoalisi di 2024.
Selain dikarenakan elektabilitasnya, Anies menjadi nama capres teratas berdasarkan pemungutan suara di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem pada Juni lalu.
Bak memastikan keselarasan maksud dan tujuan, Anies sendiri telah menyatakan siap maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024. Dia mengatakan ketiadaan kendaraan politik membuatnya memiliki ruang lebih besar untuk berkomunikasi dengan semua partai politik (parpol).
“Saya siap maju sebagai presiden jika ada partai yang menominasikan saya,” begitu kata Anies seperti dikutip dari Reuters dalam sebuah wawancara di Singapura, 15 September 2022.
Analisis politik kemudian bertebaran yang mana kebanyakan menyambut baik wacana duet Anies-AHY.
Salah satunya dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam.
Umam smencoba menelaah orang-orang kuat yang akan menyokong duet Anies-AHY. Apabila benar-benar terwujud, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK, dan Surya Paloh dinilai akan menjadi backing politik mumpuni bagi pasangan tersebut.
Menurut Umam, SBY memiliki peran sebagai ayah biologis dan ideologis AHY, Jusuf Kalla sebagai mentor politik Anies, sementara Surya Paloh disebutnya sebagai king maker.
Gabungan Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS sendiri juga memenuhi syarat dan cukup kuat untuk bertarung di 2024. Total 28,50 persen suara dan 163 kursi parlemen menjadi bukti sahih kekuatan koalisi di atas kertas.
Akan tetapi, jika telaah kritis dilakukan, duet Anies-AHY kiranya cenderung dilebih-lebihkan atau overrated.
Terlebih, di kubu seberang, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang telah memastikan keikutsertaan di pertarungan tampak masih bukan lawan sepadan bagi keduanya. Benarkah begitu?
SBY-JK-Paloh Tak Solid?
Merespons wacana duet Anies-AHY, Direktur Eksekutif Parameter Indonesia Politik, Adi Prayitno menilai keduanya mewakili wajah oposisi dari partai politik non-pemerintahan.
Dia menambahkan, saat berbicara nama di luar kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang hanya dua figur itu yang paling mungkin dipasangkan.
Cukup banyak analis politik tanah air yang memiliki respons serupa dengan Prayitno, padahal keabsahan realita sesungguhnya mungkin saja tidak demikian. Mengapa?
Beberapa gelombang respons positif terhadap wacana duet Anies-AHY agaknya terbelenggu dalam sebuah bias konfirmasi.
Konsep confirmation bias atau bias konfirmasi dijelaskan oleh Raymond S. Nickerson dalam Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises sebagai kecenderungan untuk menafsirkan informasi yang hanya mendukung keyakinan pribadi yang ia anggap paling benar, bahkan meskipun faktanya kerap berkebalikan.
Dalam konteks ekspektasi terhadap Anies-AHY sebagai antitesis pemerintahan saat ini, nyatanya eksistensi oposisi cenderung begitu lemah dan abu-abu. Ini kemudian meninggalkan dua pertanyaan, yakni apakah Anies-AHY benar-benar representasi oposisi saat ini? Serta apakah keduanya mampu mendobrak dominasi politik kekuasaan yang tengah di atas angin?
Dan Slater dalam Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition menilai kekuatan oposisi dalam demokrasi Indonesia dihalangi oleh pembagian kekuasaan dengan praktik pembentukan koalisi yang sangat fleksibel, di mana partai-partai mengungkapkan kesediaan untuk berbagi kekuasaan eksekutif dengan siapapun.
Secara sederhana, Slater menyebut praktik ini dengan istilah kartelisasi politik ala Indonesia.
Slater menambahkan kata ‘ala Indonesia’ dikarenakan menurutnya, praktik kartelisasi politik tersebut berbeda dengan teori kartelisasi politik yang pernah diungkapkan oleh Richard S Katz dan Peter Mair yang merujuk pada fenomena kartelisasi parpol di Eropa.
Perbedaan tersebut menurut Slater, terjadi lantaran parpol-parpol di Indonesia secara internal tidak disiplin, tidak kooperatif, dan cenderung hanya mengejar patronase.
Namun, terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, pada intinya, kartelisasi politik merupakan pembentukan koalisi besar demi menghalangi kompetisi atau lahirnya kompetitor.
Tendensi itu kiranya makin kentara terlihat sejak Prabowo Subianto dirangkul Jokowi ke kekuasaan. Tidak melulu suaranya redup di tengah kekuatan politik kekuasaan yang begitu kuat, Partai Demokrat dan PKS agaknya tidak jarang turut larut dalam irama politik kubu rival sebagai bentuk hakikat dari oportunisme politik.
Bahkan, salah satu penyokong potensial wacana duet Anies-AHY, yakni Partai NasDem, masih menopang politik kekuasaan saat ini. Terlepas dari intrik dengan PDIP yang bisa saja bagian dari dramaturgi daya tawar politik.
Selain itu, tidak ada jaminan pula bahwa mentor kuat di balik Anies-AHY (SBY, JK, dan Paloh) punya soliditas yang benar-benar seirama. Adagium “tidak ada kawan maupun lawan abadi” kiranya dapat menjadi refleksi.
Apalagi jika konsesi kekuasaan harus dibagi secara tepat jika berhasil menang di akhir laga, yang mana dalam politik hal itu kerap kali tidak berjalan mulus.
Dalam skenario Anies-AHY, Partai NasDem sebagai parpol pemegang persentase terbesar namun tak memiliki kader dalam usungan duet capres-cawapres, bisa saja menimbulkan gejolak pembagian konsesi. Terutama saat kubu SBY dan JK punya klaim lebih dalam peran sebagai mentor politik langsung Anies dan AHY.
Variabel lain terkait potensi masuknya PKS dalam koalisi penyokong Anies-AHY juga bisa saja menjadi bumerang. Itu dikarenakan, karakteristik konservatif PKS boleh jadi akan memantik antipati pemilih akibat dampak minor polarisasi di Pilpres 2019.
Selain itu, Anies-AHY kemungkinan masih belum cukup kuat untuk melawan Prabowo di Pilpres 2024 karena memiliki celah inheren. Apakah itu?
Prabowo vs SBY-JK?
Ya, kalkulasi komprehensif mengenai calon lawan Anies-AHY di Pilpres 2024 menjadi satu hal yang wajib dilakukan. Satu yang telah memastikan diri adalah Prabowo Subianto yang sejauh ini kuat dugaan akan diusung koalisi Partai Gerindra dan PKB, belum termasuk parpol lain.
Jefferson Ng dalam How Indonesia’s Defense Ministry Has Changed Under Prabowo Subianto menyiratkan bagaimana kuatnya posisi politik Prabowo saat ini. Setelah diajak masuk kabinet dan menempati posisi strategis di bidang pertahanan, Ng menilai kapabilitas politik dan pemerintahan Prabowo semakin sempurna.
Tiga variabel kunci, yakni sumber daya pribadi, jaringan internal-eksternal, dan koneksi eksekutif telah diakuisisi oleh mantan Panglima Kostrad itu.
Dan, memang, tidak berlebihan kiranya jika mengatakan Prabowo sebagai legenda hidup militer paling dihormati dan politisi paling berpengaruh saat ini di Indonesia.
Kekuatan Prabowo jamak dinilai hampir mustahil untuk dikalahkan jika mendapat sokongan politik PDIP di Pilpres 2024 mendatang.
Sebagai lawan yang sangat tangguh, Prabowo juga merupakan aktor politik yang tak membutuhkan mentor seperti SBY, JK, dan Paloh. Dengan kata lain, Prabowo tampak bukanlah boneka politik.
Hal itu juga yang membuat Anies-AHY memiliki celah.
Ya, preseden minor Presiden Jokowi yang hanya dianggap “boneka politik” PDIP dan Megawati Soekarnoputri kiranya bisa saja menimpa duet Anies-AHY.
Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan konsep puppet leader atau pemimpin boneka memiliki dua elemen fundamental.
Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Selama ini string-pullers kerap disebut sebagai oligarki.
SBY-JK, plus Paloh, bisa saja menjadi penarik tali semacam ini di balik duet Anies-AHY.
Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi tersebut jika nantinya terpilih.
Kecenderungan itu kiranya dapat diamati dari bagaimana tindak-tanduk kompromi politik Presiden Jokowi untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.
Di titik ini, persoalan ke depan kiranya bukan lagi soal Anies-AHY, tetapi lebih seperti kilas balik di tahun 2004 saat SBY-JK berduet.
Namun, impresi negatif puppet leader kiranya justru mungkin saja berbalik dan akan menyulitkan Prabowo.
Prabowo yang seolah akan berhadapan dengan “reinkarnasi” SBY-JK, plus Paloh, boleh jadi akan kerepotan jika kubu Anies-AHY benar-benar memiliki strategi jitu membendung segala kesaktian sang legenda Kopassus itu.
Oleh karena itu, akan sangat menarik kiranya untuk menantikan Pilpres 2024 jika Prabowo nantinya akan benar-benar berhadapan dengan duet Anies-AHY. (J61)