Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Keputusan PDIP mengusung dua kadernya sekaligus untuk bertarung di Pilkada Jawa Tengah 2024, yakni duet Andika Perkasa-Hendrar Prihadi dinilai cukup positif. Terutama, dengan peluangnya yang lebih besar untuk menang saat harus berhadapan jagoan KIM Plus, Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang disebut lebih di atas angin. Mengapa demikian?
Penunjukan Panglima TNI ke-21, Andika Perkasa sebagai calon gubernur Jawa Tengah oleh PDIP untuk bertarung Pilkada 2024 menjadi sebuah manuver yang sangat strategis bagi PDIP. Namun, peluang PDIP untuk membalikkan gempuran Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus memiliki peluang lebih besar di Jawa Tengah dengan keputusan tersebut.
Diduetkan bersama Hendrar Prihadi atau kerap disapa Hendi, mantan Wali Kota Semarang, Andika diharapkan mampu menjaga dominasi PDIP di provinsi yang selama ini dianggap sebagai “kandang banteng.”
Praktis, Andika akan berhadapan dengan kandidat yang kemungkinan besar akan solid diusung KIM Plus, yakni mantan Kapolda Jawa Tengah Ahmad Luthfi yang diduetkan dengan Taj Yasin.
Sempat di atas angin, Ahmad Luthfi kini seolah mendapat lawan sepadan karena dengan langkah PDIP mengusung Andika Perkasa, pemilih di Jawa Tengah memiliki opsi kandidat berlatarbelakang dua institusi berbeda yang sangat menarik dalam dimensi sosial-politik, yakni TNI dan Polri.
Menariknya, angin pun kini tak sepenuhnya berada di KIM Plus dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin karena Andika-Hendi dinilai akan menarik simpati tertentu yang bisa saja berbuah kemenangan dengan momentum sosial-politik yang berkembang saat ini. Mengapa demikian?
Eksperimen “Terpaksa” PDIP di Jateng?
Langkah PDIP untuk mengusung Andika Perkasa merupakan sebuah manuver yang bukan hanya berani tetapi juga sangat taktis. Berkaca pada posisi Jawa Tengah sebagai salah satu basis utama PDIP, keputusan ini menjadi penentu keberlanjutan dominasi partai tersebut.
Sebagai partai politik yang telah cukup mengakar di Jawa Tengah pasca Reformasi, PDIP menyadari bahwa tantangan terbesar mereka tidak hanya datang dari lawan politik di luar partai, tetapi juga dari dalam, yaitu bagaimana memastikan bahwa pemilih tradisional tetap loyal meski dihadapkan pada figur baru.
Manuver ini menunjukkan bahwa PDIP tidak hanya bermain defensif, tetapi juga mengambil langkah ofensif untuk memperkuat posisi mereka.
Hal itu sebagaimana yang disiratkan oleh filsuf Italia, Niccolò Machiavelli dalam Il Principe, bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa atau entitas yang berkuasa harus siap menghadapi segala bentuk tantangan, baik internal maupun eksternal.
Dengan memilih Andika, PDIP tampaknya ingin memastikan bahwa mereka siap untuk segala kemungkinan, termasuk ancaman dari KIM Plus yang belakangan semakin kuat.
Selain itu, langkah PDIP itu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Partai besutan Megawati Soekarnoputri memiliki sejarah yang panjang dalam mengusung purnawirawan TNI, maupun Polri sebagai calon kepala daerah, dan banyak dari mereka yang berhasil menang.
Tercatat, dari sebelas kepala daerah berlatar belakang TNI-Polri yang berhasil meraih kemenangan, lima di antaranya merupakan kader PDIP.
Hal ini menunjukkan bahwa PDIP tidak asing dengan dinamika politik yang melibatkan figur-figur berlatar belakang militer dan kepolisian serta bagaimana memaksimalkan simpati, serta impresi terhadap mereka dalam konteks elektoral.
Pertanyaannya, apakah strategi ini akan berhasil di Jawa Tengah? Dalam bukunya Political Warfare, Paul A. Smith Jr. menjelaskan bahwa dalam konteks politik, rekam jejak keberhasilan masa lalu bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, itu bisa memperkuat legitimasi, tetapi di sisi lain, bisa juga menjadi beban jika kondisi dan konteks berubah.
Jika sebelumnya PDIP berhasil dengan purnawirawan yang mereka usung, bukan berarti situasi kali ini akan sama. Faktor dinamika politik lokal, perubahan preferensi pemilih, dan kekuatan lawan politik menjadi variabel yang harus diperhitungkan.
Langkah ini juga mencerminkan upaya PDIP untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan figur yang memiliki pengalaman militer dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan dinamika politik sipil.
Terlebih, Andika adalah sosok jenderal bintang empat, sekaligus eks Panglima TNI pertama yang bertarung di level daerah.
Secara substansial, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai lumbung suara PDIP, dengan mengusung figur berlatar belakang TNI dengan rekam jejak kepemimpinan nasional bisa menjadi upaya untuk menjaga stabilitas dan kontinuitas kekuasaan di tingkat lokal yang memiliki proyeksi nasional di kemudian hari sebagaimana yang terjadi pada Ganjar Pranowo, eks Gubernur Jawa Tengah yang maju sebagai capres PDIP.
Lalu, sejauh mana peluang Andika dan PDIP untuk memenangkan pertarungan di Jawa Tengah?
“Loreng” Lebih Unggul?
Ahmad Luthfi, sebagai mantan Kapolda Jawa Tengah, tentu memiliki portofolio yang “masih hangat” dengan kondisi serta situasi masyarakat Jawa Tengah.
Selain itu, dukungan dari Koalisi Indonesia Maju yang merupakan koalisi besar, menambah kekuatan politiknya. Di atas kertas, Ahmad Luthfi tampak unggul, terutama karena kedekatannya dengan masyarakat setempat dan pengetahuannya yang relevan tentang kondisi sosial-politik di Jawa Tengah.
Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward L. Glaeser dalam Triumph of the City, politik lokal tidak hanya ditentukan oleh kekuatan institusional atau portofolio kandidat, tetapi juga oleh kemampuan untuk memahami dan merespon kebutuhan serta keinginan masyarakat.
Meskipun Ahmad Luthfi memiliki rekam jejak yang solid, ia harus menghadapi tantangan yang lebih besar ketika berhadapan dengan figur seperti Andika Perkasa, yang memiliki daya tarik dan karisma tersendiri.
Dalam kontestasi antara dua figur dari institusi yang berbeda, yakni TNI Polri, dan tanpa berusaha membenturkan dua institusi tersebut di ranah politik praktis, variabel psikologi kolektif masyarakat selama ini terhadap reputasi masing-masing kiranya tak bisa dikesampingkan dari meja analisis.
Persepsi masyarakat terhadap institusi militer dan kepolisian dalam dimensi tertentu memiliki perbedaan yang signifikan.
Di Indonesia sendiri, militer sering kali dipandang sebagai institusi yang lebih terhormat dan dipercaya dibandingkan kepolisian. Publik pun dapat dengan mudah menemukan pemberitaan mengenai hal itu di laman pencarian ponsel pintar mereka.
Persepsi ini tentu dapat memberikan keuntungan bagi Andika Perkasa dan PDIP yang berlatar belakang TNI dalam kontestasi ini.
Selain itu, status sosial yang melekat pada Andika sebagai mantan Panglima TNI dan menantu dari sosok eks Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono, agaknya dapat memberikan keuntungan psikologis.
Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi hierarki dan status, sosok dengan latar belakang militer cenderung mendapatkan respek yang lebih besar. Ini terutama berlaku di Jawa Tengah, di mana budaya Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kultural turut mempengaruhi preferensi politik masyarakat.
Dan Andika, dengan karismanya, kemungkinan besar dapat memanfaatkan ini untuk meraih dukungan yang lebih luas.
Selain faktor psikologi kolektif, Andika Perkasa juga memiliki keunggulan dalam hal loyalitas teritorial. Sebagai mantan Panglima TNI, ia masih mungkin memiliki jaringan dan loyalis di tingkat teritorial yang kuat, terutama di kalangan masyarakat yang memiliki kedekatan dengan institusi militer.
Jejaring ini bisa menjadi modal penting dalam mobilisasi dukungan, terutama di daerah-daerah pedesaan yang masih sangat menghargai keberadaan dan peran militer dalam menjaga stabilitas keamanan.
Lebih dari itu, Andika dikenal memiliki kemampuan komunikasi sosial dan komunikasi politik yang baik. Kemampuan ini sangat krusial dalam kampanye politik, di mana pemahaman terhadap aspirasi masyarakat serta kemampuan untuk menyampaikan pesan politik dengan tepat dapat menjadi penentu kemenangan.
Sebagai figur yang “ramah dan bersahabat,” Andika memiliki modal sosial yang besar untuk menarik simpati dan dukungan, terutama dari pemilih yang mengutamakan personalitas dalam memilih pemimpin.
Lalu, bergeser ke pertarungan cawagub. Meskipun Taj Yasin yang mendampingi Ahmad Luthfi adalah seorang tokoh agama yang karismatik dan memiliki basis dukungan kuat, terutama dari kalangan Nahdliyin, peran Hendrar Prihadi tetap tidak bisa diremehkan.
Sebagai mantan Wali Kota Semarang, Hendrar memiliki rekam jejak yang positif dalam memimpin kota besar di Jawa Tengah dan dikenal dekat dengan masyarakat perkotaan. Popularitas dan pengalamannya dalam pemerintahan lokal bisa menjadi faktor penentu dalam mengimbangi pengaruh Taj Yasin.
Lebih jauh, kemampuan Hendrar Prihadi dalam mengelola isu-isu lokal dan membangun hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk pengusaha dan kelompok muda, memberikan nilai tambah yang signifikan.
Hal itu, tentu akan menjadi kunci dalam memenangkan hati pemilih perkotaan yang cenderung lebih pragmatis dan fokus pada rekam jejak kepemimpinan.
Sebagai konklusi, Pilkada Jawa Tengah 2024 bisa menjadi salah satu pertarungan paling menarik dalam sejarah politik Indonesia, terutama dengan hadirnya dua kandidat yang berlatar belakang TNI dan Polri.
PDIP, dengan mengusung Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi, telah mengambil langkah yang sangat strategis dalam menjaga dominasi mereka di Jawa Tengah, meskipun ini berarti menghadapi lawan yang tangguh seperti Ahmad Luthfi.
Keberhasilan atau kegagalan strategi PDIP ini akan sangat bergantung pada kemampuan Andika dan Hendrar dalam mengelola dinamika politik lokal, memanfaatkan kepercayaan dan loyalitas masyarakat terhadap TNI, serta mengoptimalkan komunikasi politik yang efektif.
Di sisi lain, Ahmad Luthfi dan Taj Yasin, dengan dukungan KIM Plus, akan berusaha memanfaatkan keunggulan institusional dan kedekatan mereka dengan masyarakat lokal untuk merebut kemenangan.
Dalam kontestasi ini, faktor psikologi kolektif dan status sosial, serta kemampuan personal dalam komunikasi politik, akan menjadi penentu siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Satu hal yang pasti, Pilkada Jawa Tengah 2024 bukan hanya sekadar perebutan kursi gubernur, tetapi juga pertaruhan besar bagi PDIP dan masa depan relevansi dan eksistensi mereka ke depan. (J61)