HomeNalar PolitikLawan Covid-19, Airlangga Awali Progresivitas

Lawan Covid-19, Airlangga Awali Progresivitas

Pernyataan cukup konstruktif bagi psikis publik disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto kemarin, bahwa aktivitas new normal akan dihentikan jika gelombang kedua Covid-19 terjadi. Hal ini dinilai sebagai indikasi bahwa pemerintah mulai memiliki kematangan dalam hal strategi penanganan pandemi. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Kesan minor dari publik tampaknya masih melekat hingga saat ini karena pada awal pandemi Covid-19, antisipasi penanganan pemerintah Indonesia terkesan tidak serius. Apapun kebijakan yang pemerintah keluarkan seolah keliru di mata publik.

Belum lagi ditambah dengan regulasi yang dinilai kontraproduktif dan menyudutkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, dampak negatif dari akumulasi persepsi minor tersebut nyatanya tidak begitu saja luput dari fokus pemerintah.

Kendati seluruh dunia masih diliputi ketidakpastian mengenai virus yang telah merenggut hampir 400 ribu nyawa, serta ketidakpastian pula di berbagai aspek vital, Indonesia dinilai telah melakukan evaluasi serta mulai menyusun strategi terbaik yang tepat untuk keluar dari dampak pandemi.

Tak hanya pertimbangan ekonomi semata, kali ini prosedur kesehatan ketat tengah dimatangkan pemerintah untuk “menyambut” kembali berbagai aktivitas masyarakat secara gradual dalam tajuk new normal atau normal baru.

Pemerintah sepertinya belajar dari kesalahan lampau saat mulai memperhatikan landasan sains secara serius dalam kebijakannya. Hal ini dapat diterjemahkan dari pernyataan terakhir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto bahwa new normal nantinya akan dihentikan jika ada gelombang Covid-19.

Pesan ini cukup bermakna signifikan ketika seolah berkesinambungan dengan gagasan pemerintah beberapa waktu terakhir yang dinilai cukup baik ketika mengerahkan aparat untuk mendisiplinkan bandel akutnya masyarakat karena abai terhadap protokol kesehatan seperti physical distancing.

Meski pro-kontra adalah keniscayaan, namun perbaikan arah ini yang agaknya masih belum dilihat secara jeli oleh sebagian kalangan dengan tetap mendiskreditkan pemerintah secara membabi buta. Hal ini di satu sisi sangat berpengaruh pada level kepedulian dan kedisiplinan sebagian besar masyarakat lainnya terhadap pentingnya menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

Padahal, kehidupan normal yang diiringi dengan progresivitas ekonomi kemungkinan besar akan tercapai jika masyarakat patuh terhadap protokol tersebut. Oleh karena itu, pernyataan seorang Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnnya pun dinilai sangat logis dan bahkan berusaha meyakinkan publik bahwa pemerintah tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan mereka.

Dan ketika sampai pada perspektif ini, sebuah pertanyaan sesungguhnya belum dapat secara pasti terjawab mengenai apakah saat ini pemerintah, dalam hal ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, benar-benar memiliki skenario terbaik bagi perekonomian Indonesia di era pandemi saat ini.

Refleksi Historis

Martin McKee dalamIf the World Fails to Protect the Economy, Covid-19 Will Damage Health not Just Now But Also in the Future” menyatakan dengan tegas bahwa jika pemerintah di seluruh dunia gagal dalam memproteksi perekonomian, Covid-19 akan memperburuk segalanya, baik pada jangka menengah maupun jangka panjang.

McKee menyoroti secara spesifik bahwa berdasarkan sejarahnya, krisis ekonomi berkonsekuensi besar terhadap sektor kesehatan masyarakat. Dan ketika terjadi pandemi, dua subjek tersebut membentuk lingkaran krisis yang dampaknya dapat menjadi yang tak terbayangkan sebelumnya.

Jika sejenak melintasi waktu ke masa lalu, setiap pandemi dalam sejarah peradaban manusia selalu memiliki implikasi hebat yang merugikan, bahkan ketika interdependensi antarnegara atau bahkan bentuk sebuah entitas negara belum seperti saat ini.

Sebut saja pandemi Black Death yang terjadi pada 14 abad silam. Menelan korban hingga 200 ribu nyawa manusia, pandemi ini mengubah arah sejarah Eropa yang populasinya berkurang hingga setengah dari jumlah sebelumnya.

Banyak orang menderita karena penghasilan mereka sangat kecil dibandingkan dengan keadaan inflasi parah. Hal ini menyebabkan dampak jangka panjang bagi pemulihan ekonomi yang sangat berat dan harus mengorbankan banyak energi, sumber daya, hingga nyawa pada saat itu.

Pembelajaran historis demikian yang tampaknya telah dibaca pemerintah, dalam hal ini Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Ketika melihat lebih jauh ke garis depan pertempuran melawan Covid-19, tenaga kesehatan bahkan mulai kehilangan dukungan moril ketika hak gaji atau insentif mereka ada yang tertunda dan bahkan terpaksa dipotong.

Hal ini tentu berbahaya bagi keseluruhan pertempuran melawan pandemi. Dalam hal ini untuk memperbaiki celah tersebut, penerimaan negara untuk menyuplai dukungan moril bagi tenaga kesehatan hanya dapat secara aman diwujudkan ketika bergeraknya sektor perekonomian bermuara pada sirkulasi uang dan pajak.

Itu baru upaya menutup satu lubang dan belum termasuk isu perekonomian mikro dan makro yang tak kalah peliknya seperti terhentinya usaha kecil dan menengah atau UMKM, isu pengangguran, hingga waktu yang hampir habis bagi nafas beberapa pelaku indusri untuk bertahan.

Pembacan situasi seperti ini tentu hanya dapat secara komprehensif dilakukan oleh Airlangga yang memiliki kemampuan, kewenangan, dan sumber daya relevan untuk membawa Indonesia menjauh dari potensi kengerian krisis multi aspek yang parah dengan menyesuaikan semaksimal mungkin agenda new normal.

Kemudian secara politis, Airlangga juga dinilai tau betul bahwa perjalanan pemerintah hingga 2024 masih cukup panjang. Jika persoalan dampak pandemi bagi perekonomian tidak secara serius segera ditangani dengan baik, tentu tidak hanya mendeligitimasi banyak pihak di pemerintah, namun juga termasuk sosok Airlangga sendiri.

Selain berkaca pada relevansi aspek historis, Airlangga juga dinilai memberikan gestur progresivitas tersendiri dengan turut mempertimbangkan prioritas kesehatan dalam penanganan dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.

Anti Anti-Sains Club

Banyak negara di dunia saat ini mulai melonggarkan lockdown yang telah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Salah satunya adalah Jerman, di mana negara ini cukup baik dalam penanganan pandemi Covid-19 meskipun tempo hari terjadi demonstrasi sejumlah orang yang menuntut lockdown segera dicabut.

Tak lama berselang setelah demonstrasi, pemerintah Jerman kemudian membuka aktivitas meskipun masih serba terbatas. Liga sepak bola Jerman atau Bundesliga misalnya, telah melanjutkan kompetisi musim ini kendati dengan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini menggambarkan bahwa Jerman sangat memperhatikan aspek kesehatan yang simultan dengan upaya bangkit dari kemunduran ekonomi akibat lockdown.

Akomodasi dan perpaduan aspek politik, ekonomi, dan kesehatan di tengah pandemi seperti yang dilakukan pemerintah Jerman dinilai cukup baik sejauh ini. Hal in pula yang disoroti Rudolf Virchow dalamReport on the Typhus Epidemic in Upper Silesia”.

Virchow menekankan bahwa politik dan aspek sains, termasuk kesehatan, selalu terkait erat dan akan selalu demikian adanya. Hal ini juga selaras dengan kutipan lain dalam tulisan McKee bahwa ketika suara para ilmuwan dan profesional di bidang kesehatan didengar saat ini, pandemi Covid-19 dapat menjadi titik balik dalam mengembalikan kepercayaan kepada sains dan pemerintah, serta menyatukan orang-orang.

Ketika konteks ini diproyeksikan pada aspek politik, ekonomi, dan kesehatan di Indonesia saat ini, Menko Perekonomian sejatinya memang memiliki peran vital. Apa yang dikemukakan oleh Virchow dan McKee di atas dinilai diartikulasikan dengan baik oleh Airlangga Hartarto bercermin pada komitmennya untuk menghentikan seluruh aktivitas new normal, termasuk yang terkait perekonomian, jika gelombang kedua Covid-19 datang nantinya.

Hal ini cukup penting dalam menunjukkan bahwa pemerintah telah berbenah dengan tidak lagi anti-sains akan prediksi empirik mengenai pandemi Covid-19, yang sebelumnya jamak ditunjukkan di awal pandemi dan justru mendegradasi kepercayaan publik, bahkan efeknya masih terasa hingga kini.

Oleh karena itu, berbagai upaya penyesuaian kebijakan satu dan lainnya yang belakangan ini dilakukan pemerintah menyongsong new normal dinilai cukup positif. Dan semestinya publik juga harus segera menyadari ini untuk kemudian berkolaborasi demi kepentingan bersama.

Pun berbagai langkah progresif yang ditempuh oleh Airlangga sebagai panglima melawan perang Covid-19 dalam aspek ekonomi saat ini, menjadi sangat menentukan bagi upaya Indonesia untuk menghindari dampak permanen aspek perekonomian dan kesehatan serta ancaman krisis berkepanjangan.

Bagaimanapun, langkah pertama rakyat Indonesia ke era new normal nantinya harus benar-benar berlandaskan protokol kesehatan yang ada mengingat pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir.

Pemerintah telah berbenah, dan saat ini giliran kesadaran seluruh masyrakatlah yang menentukan hasil akhir peperangan republik ini melawan jangkitan Covid-19. Kesadaran itulah yang harus kita utamakan bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?